Islam Nusantara sebagai varian dari interpretasi Islam yang
menggabungkan nilai-nilai ajaran agama Islam dengan budaya lokal mendapat ruang
lebih dan simpati masyarakat Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari kecenderungan
umat Islam di Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan kearifan
lokal. Seperti kita ketahui bersama bahwa dalam sejarah penyebaran Islam oleh
wali songo, jalan hikmah ditempuh demi mengurangi resistensi masyarakat yang
saat itu masih sangat kental dengan budaya Hindu dan Budha.
Pasca dibentuknya jaringan ulama nusantara di Mekkah yang
dipelopori oleh Syekh Yusuf al-Makasari pada abad ke 16 M, kemudian dikuatkan
oleh Syekh Khatib al-Mingkabawi (Minangkabau) dan Syekh Khatib al-Sambasi
(Sambas) menjadikan kiprah ulama nusantara semakin menjulang tinggi di bidang
ilmu pengetahuan dan pemikiran Islam. Pada tulisan ini penulis tidak akan
membahas satu persatu biografi ulama-ulama Nusantara yang ada, namun penulis
akan fokus pada salah satu ulama yang berpengaruh di beberapa bidang disiplin
pengetahuan Islam seperti, ilmu al-Qur’an, hadits, fiqih, dan ushul fiqih,
yaitu KH. Mahfudz Termas atau Syekh Mahfudz Termas.
Kecendrungan penulis dalam mengulas biografi Syekh Mahfudz Termas,
berdasar pada dua alasan, yang pertama adalah alasan internal yaitu Islam
Nusantara. Alasan kedua adalah alasan eksternal yaitu kepakaran beliau dalam
bidang ilmu fiqih, sehingga menurut pandangan penulis, nama besar KH. Mahfudz
Termas layak disejajarakan dengan Ibnu Hajar al-Haitami yang notebene anak
ideologis dari Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari yang tidak lain Mujtahid Fatwa
Madzhab Syafii. Pandangan di atas bukan tanpa berdasar pada rujukan ilmiah dan
argumentasi logis, banyak rujukan-rujukan yang melarbelakangi penulis, salah
satunya adalah karya fenomenal beliau yang berjudul “Hasyiah al-Tirmisi
al-Musammah al-Manhal al-Amim bi Hasyiah al-Manhaj al-Qawim wa Mauhibah dzi
al-fadl ala Syarhil Allamah Ibni Hajar al-Haitami”.
KH. Mahfudz Termas yang mempunyai nama lengkap al-Imam al-Allamah
al-faqih al-Ushuli al-Muhaddits al-Muqri Muhammad Mahfudz bin Abdullah bin Abd.
Mannan al-Termasi al-Jawi al-Indonesi lahir di salah satu desa yang
bernama Termas, Pacitan, Jawa Timur, Indonesia pada 12 J. Tsani 1285 H. Pada
saat KH. Mahfudz Termas dilahirkan, beliau hanya dapat melihat sang bunda,
karena ayahandanya, Syekh Abdullah tidak berada di sampingnya lantaran sedang
berada di Makkah. Walaupun begitu, KH. Mahfudz Termas kecil tumbuh berkembang
di bawah bimbingan ibu dan bibinya dalam lingkungan agamis. Berkat bimbingan
sang ibu yang begitu peduli akan pendidikan anaknya tersebut tidak mengherankan
jika dalam usia yang masih sangt belia, KH. Mahfudz Termas dengan mudah
menghafal al-Qur’an. Tidak hanya itu, berkat ketekunannya dalam belajar, dalam
masa yang relatif singkat, dasar-dasar ilmu agama ia pelajari dari beberapa
guru sekitar tempat tinggalnya dapat dikuasainya dengan baik.
Pada tahun 1291 H. KH. Mahfudz Termas pergi ke Mekkah dan belajar
beberapa disiplin ilmu pengetahuan kepada para masyayikh, namun hal itu tidak
berlangsung lama, karena beberapa tahun kemudian beliau kembali lagi ke tanah
Jawa dan berguru kepada KH. Shaleh Darat di Semarang. Menurut data sejarah,
saat belajar ke KH. Shaleh Darat terebut, KH. Mahfudz Termas satu halaqah
bersama salah seorang pahlawan nasional, yakni R.A Kartini dan beberapa tokoh
lainnya.
Setelah dirasa cukup belajar kepada KH. Shaleh Darat, KH. Mahfudz
Termas kembali lagi ke Mekkah. Di sinilah kemudian beliau memantapkan
pengembaraan intelektualnya dengan berguru kepada beberapa ulama terkemuka,
seperti Syekh Abu Bakar Syatha al-Dhimyathi. Dalam pandangan penulis, dari
Syekh Abu Bakar Syata al-Dhimyathi inilah ideologi KH. Mahfudz Termas
dibentuk. Karena bila dilihat dari corak pemikiran beliau tentang fiqih, maka
Syekh Abu Bakar Syata merupakan ulama fiqih syafii yang sangat disegani.
Karya-karya besarnya banyak dikaji di beberapa pesantren dan perguruan tinggi
Islam di Indonesia. Adapun karya yang dimaksud adalah I’anatut Thalibin Syarah
Fathul Mu’in.
Rupanya rasa dahaga KH. Mahfudz Termas akan ilmu pengetahun tidak
hanya dalam wilayah fiqih saja. Dari sekian banyak karya-karya yang telah
ditelurkan dalam bentuk kitab dan buku, kesemuanya bervariasi dan terdiri dari
berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Salah satu ilmu yang beliau tekuni
adalah ilmu hadits. Hal itulah yang kemudian melatarbelakangi kesungguhan KH.
Mahfudz Termas dalam menghimpun beberapa transmisi sanad.
KH. Mahfudz Termas Sebagai Pioner Ilmu Sanad
Penulis mengambil kesimpulan walau masih dalam konteks aksiomatis
bahwa pioner ilmu transmisi sanad adalah KH. Mahfudz Termas. Alasan penulis
berdasar pada penelitian pada salah satu karya yang secara khusus beliau tulis
dalam mengurai transmisi sanad, yaitu “Kifayah al-Mustafidz lima Ala Min
al-Asanid”. Karya KH. Mahfudz Termas tersebut kemudian dita’liq (diberi
catatan) oleh Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, yang mana usaha dalam
melestarikan ilmu sanad yang digagas oleh KH. Mahfudz Termas selanjutnya
diteruskan oleh Syekh Yasin al-Fadani itu sendiri. Kesungguhan KH. Mahfudz
Termas dalam mempelajari ilmu hadits ini dengan mempelajari prinsip-prinsipnya
kepada beberapa guru-guru yang terkenal dan memang ekspert di dalamnya. Sebut
saja semisal al-Muhaddits Sayyid Husein bin Muhammad al-Habsy dan Syakh
Muhammad Said Babashil.
Dalam hierarki ilmu al-Qur’an, disiplin ilmu Qiraah menjadi bagian
yang sangat fundamental, mengingat ada beberapa macam bentuk bacaan berdasar
varian yang juga berbeda. Di bidang ilmu Qiraah ini, KH. Mahfudz Termas belajar
kepada Syekh Muhammad al-Syirbini, serta mendapat ijazah sanad dalam empat
belas macam qiraah yang ada dan masyhur di kalangan umat Islam. Dengan
demikian, Berkat ketekunannya dalam belajar ilmu agama, kemudian nama besar KH.
Mahfudz Termas muncul ke permukaan dan disegani oleh para ulama haramain dari
berbagai madzhab. Tidak hanya itu, kepakaran beliau dalam beberapa disiplin
ilmu pengetahuan, menjadikannya sebagai mutafannin, yaitu menguasai dan menjadi
pakar di berbagai macam ilmu. Menurut pandangan penulis, setidaknya ada empat
disiplin ilmu yang dikuasai oleh syekh mahfudz, yaitu Ushul Fiqih, Fiqih,
Hadits dan Ilmu Qiraah.
Keberhasilan KH Mahfudz Termas menjadi ulama besar yang disegani
tidak lepas dari peran para guru yang membimbingnya di berbagai macam aspek.
Bimbingan yang diterima dari sang guru tidak hanya dalam ranah intelektual
saja, kecerdasan emosional, dan spritualnya pun menjadi bagian dari bimbingan
yang setiap hari beliau terima di masa belajarnya. Di sini penulis ingin
menguraikan secara singkat beberapa guru-guru KH. Mahfudz Termas yang penulis
kutip dari karyanya yang berjudul “Kifayatul Mustafidz lima ala min al-Asanid”.
Adapun guru-guru beliau adalah (1) Syekh Musthafa bin Muhammad bin
Sulaiman al-Afifi. Dari beliau Syekh Mahfudz termas mempelajari kitab “Syarah
al-Mahalli ala Jam’il Jawami” dan kitab “Mughni al-Labib an Kutub al-A’arib”.
kemudian (2) Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha al-Dhimyathi. Kepada beliau
inilah Syekh Mahfudz mempelajari kitab “Hasyiah al-Syarqawi ala al-Tahrir” dan
“Hasyiah Syinwani”. Catatan dari penulis terkait kitab Hasyiah al-Syinwani di
sini lebih ke ilmu gramatikal bahasa Arab, mengingat transmisi sanad dalam
bidang gramatikal bahasa Arab, KH. Mahfudz Termas banyak meriwayatkannya dari
jalur Syekh Abu Bakar al-Syinwani.
Sebenarnya guru KH. Mahfudz Termas sangat banyak dan kalau
dihitung berdasar periwayatan sanad keilmuan yang beliau tulis di dalam
Kifayatul Mustafidz, maka jumlahnya mencapai ratusan orang, di antaranya adalah
Syekh Umar Barakat, Syekh Muhammad al-Minsyawi, Sayyid Ahmad al-Zawawi, Syekh
Muhammad al-Syirbini, Syekh Amin Ridwan al-Madani, dan lain sebagainya.
Sedangkan guru KH. Mahfudz Termas yang lain dan berasal dari Indonesia adalah
(1) Syekh Abdullah bin Abdul Mannan al-Tirmisi yang tidak lain ayah kandung
beliau, dan (2) Syekh Shaleh Darat al-Samarani.
Sebagai seorang ulama yang berasal dari Indonesia serta mumpuni di
berbagai disiplin ilmu agama, nama besar KH. Mahfudz Termas kemudian didengar oleh
para pemuda Islam yang saat itu memang ingin belajar agama ke Mekkah. Rupanya
angin segar ini tidak disia-siakan oleh santri di Indonesia untuk belajar
kepada beliau. Tidak sedikit murid KH. Mahfudz yang nantinya menjadi tokoh di
berbagai bidang. Bahkan kalau boleh dikata, transmisi sanad keilmuan organisasi
besar seperti Nahdlatul Ulama bermuara pada pada sosok KH. Mahfudz Termas ini.
Di antara murid-murid beliau yang berasal dari Indonesia adalah (1) Syekh
Arsyad al-Banjari, (2) Syekh Baqir bin Muhammad Nur al-Jogjawi, (3) Syaikh
Muhammad Hasyim Asy’ari al-Jumbani, (4) Syaikh Ihsan al-Jampesi, (5) Syaikh
Abd. Muhith bin Ya’qub al-Surbawi (Surabaya), (6) Syaikh Baidhawi al-Lasemi,
(7) Syaikh Abd. Wahhab bin Hasbullah al-Jumbani, dan lain sebagainya.
Aktivitas KH. Mahfudz Termas tidak hanya mengasuh dan membimbing
para murid yang belajar kepadanya. Kemasyhuran beliau sebagai ulama yang
produktif dalam melahirkan karya juga bukan kabar angin. Tidak sedikit
karya-karya besar dan monumental lahir dari buah pikirannya yang hampir
mencapai ratusan buah. Namun dalam tulisan ini, penulis hanya menulis karya
yang sudah ditahqiq dan diterbitkan serta menjadi diktat di berbagai madrasah,
pondok pesantren atau universitas-universitas Islam, baik di Indonesia atau di
Negara-negara Islam lainnya. Di antara karya karya KH. Mahfudz termas adalah :
(1) Is’af al-Mathali’ bi Syarhi al-Badri al-Lami’ Nadzmu Jam’I al-Jawami’, (2)
al-Badru al-Munir fi Qira’ati al-Imam Ibni Katsir, (3) Bughyah al-Atqiya’ (4)
Bughyah al-Adzkiya fi al-Bahtsi an Karaamah al-Auliya, (5) Mauhibah dzi
al-fadhl Hasyiah Ala Syarhi Mukhtashar Bafadhal, dan lain sebagainya.
KH. Mahfudz Termas Sebagai Neo Ibnu Hajar al-Haitami
Sub judul di atas bukan langkah seorang marketing untuk menarik
simpati dan minat pembaca sebanyak-banyaknya, walaupun memang harus diakui
bahwa salah satu tujuan daripada tulisan adalah untuk dibaca. Alasan penulis
memilih sub judul di atas adalah karena ada semacam keterkaitan batin antara
KH. Mahfudz Termas dengan Ibnu Hajar al-Haitami. Keterkaitan tersebut hampir
menyerupai keterikatan antara Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli
walaupun mereka berdua hidup di tempat dan di waktu yang berbeda. Inilah salah
satu alasan mengapa penulis memberikan nama pada sub judul di atas dengan KH.
Mahfudz Termas merupakan neo Ibnu Hajar al-Haitami ala Islam Nusantara.
Jika mengkaji beberapa karya KH. Mahfudz Termas yang mempunyai
hubungan erat dengan Ibnu Hajar al-Haitami, maka yang karya yang tepat untuk
dijadikan fokus utama adalah Mauhibah dzi al-fadhl Hasyiah Ala Syarhi
Mukhtashar Bafadhal yang tidak lain Syarah yang diulas oleh Ibnu Hajar, lalu
diulas lagi secara luas dan lebih detail oleh KH Mahfudz Termas, dalam konteks
kenusantaraan. Masyarakat Indonesia yang dalam pandangan fiqih mengikuti
madzhab Syafii, menjadikan semua rujukan masalah keagamaan bersandar pada Kutub
al-Syafiiyah.
Tidak semua kitab fiqih Syafii tersebut berhasil menjadi jawaban
permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia. Artinya adalah paradigma fiqih
yang ada pada saat itu masih dalam konteks Timur Tengah sentris, dan tidak
mengglobal sampai pada Asia Tenggara, terlebih Indonesia. Berangkat dari
fenomena tersebut KH. Mahfudz Termas mencoba memperluas lagi ulasan Ibnu hajar
al-Haitami dalam konteks kenusantaraan dan keindonesiaan.
Dalam pandangan penulis, kitab Mauhibah dzi al-fadhl Hasyiah Ala
Syarhi Mukhtashar Bafadhal yang ditulis oleh KH. Mahfudz Termas merupakan salah
satu ulasan tentang fiqih Imam Syafii yang paling detail, luas dan
komprehensif. Dengan kata lain, nuansa fiqih di dalamnya tidak an sich terhadap
teks-teks, namun disesuaikan dengan dinamika sosial yang ada pada masyarakat
Indonesia. Hal ini juga diamini oleh sang pentahqiq, yaitu Dr. Muhammad
Abdurrahman al-Ahdal dalam muqaddimahnya di kitab tersebut.
Kitab setebal 6 jilid ini bukan hanya mengulas berbagai macam
problematia umat berdasar ruang lingkup fiqih, namun juga mengulas
beberapa term yang dianggap penting dan itu dibutuhkan dalam mengurai
istilah kontemporer dalam konteks kebahasaan. Dengan merujuk kepada beberapa
kamus besar seperti Muktar al-Shihhah karya Syekh Muhammad bin Abu Bakar Abdul
Qadir al-Razi, Tahdzib al-Lughah karya Syekh Abu Mansur Muhammad bin Ahmad
al-Azhari, dan al-Qamus al-Muhith karya Syekh Muhammad bin Ya’qub
al-Fairuzzabadi, menjadkan kitab Hasyiah Tirmisi ini kaya akan defenisi
Istilah, sehingga pembahasannya pun tidak keluar dari konteks yang telah
digariskan pada awal bab dari masing-masing bab.
Yang menarik pada kitab ini adalah kemampuan KH. Mahfudz Termas
dalam mengambil istinbat secara kontekstual dari berbagai pendapat para ulama
sebelumnya setelah melakukan uji pendapat dan perbandingan di antara pendapat
para mujtahid fatwa semisal IbnuHajar al-Haitami yang dlama hal ini lebih
kontekstual daripada Imam Syihabuddin al-Ramli yang dalam banyak pandangannya
selalu tekstual dan terkesan kaku. Tidak hanya itu, kemampuan KH. Mahfudz
Termas dalam mengurai hadits dalam konteks fiqih dan kemudian mengambil
istinbat dari pendapat ulama yang rajih, menjadikan kitab ini sehaluan dalam
konteks dinamika sosial dan jauh dari kesan kaku dan konservatif pada nash.
Dengan demikian, tidak salah kiranya jika dalam konteks dinamika
fiqih, Syekh Mahfudz Termas dianggap sebagai Neo Ibnu Hajar al-Haitami dalam
konteks Islam Nusantara. Anggapan berdasar pada setiap pengamalan syariah
berdiri dan konsisten atas dua metode yaitu tekstual dan kontekstual.
Kontekstualisasi atas teks yang ada pada al-Qur’an, al-Hadits atau bahkan
al-Ijma’ adalah keniscayaan, hal itu sesuai dengan kaidah ushul fiqih yang
menyatakan: al-Hukmu Yaduuru ma’al Illah Wujuudan wa ‘Adaman”, artinya adalah
suatu hukum berlaku dan diterapkan berdasar pada illah/Causa yang ada. Inilah
kemudian yang melatar-belakangi KH. Mahfudz Termas untuk melakukan aktualisasi
atas nilai-nilai Islam yang Shalihun Fi Kulli Makan Wa Zaman.
Berbicara fiqih, berkaitan erat dengan dinamika sosial suatu
masyarakat pada bangsa dan Negara manapun. Nilai-nilai luhur Islam yang
ajarannya menembus ruang dan waktu menjadikannya selalu relevan dalam setiap
problematika yang ada, baik pada masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang.
Syekh Mahfudz Termas salah seorang ulama Nusanntara yang secara khusus membahas
problematika sosial kenusaantaraan menawarkan fiqih yang dinamis yang tidak melabrak
budaya. karyanya “Mauhibah dzi al-fadhl Hasyiah Ala Syarhi Mukhtashar Bafadhal”
adalah bukti kongkret betapa beliau di samping seorang ulama yang kaya akan
khazanah keilmuan juga mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi sehingga dengan
demikian beliau mendapat julukan Ibnu Hajar al-Haitami fi Zamanihi. Wallahu
a’lam.
Sumber : http://www.muslimedianews.com/2016/04/kh-mahfudz-termas-ibnu-hajar-al-haitami.html#ixzz4rnL272lK
dalam artikel lain:
Selain membangun pesantren, ulama memiliki hubungan kuat dalam
bidang spiritual maupun intelektual. Mereka mendefinisikan diri sebagai bagian
dari komunitas ulama yang memiliki sanad bersambung kepada ulama-ulama
Nusantara di Mekah. Salah satu ulama Nusantara yang berpengaruh adalah Syekh
Mahfuzh Al-Termasi.
Ia adalah Ulama yang mempunyai pengaruh besar dalam khazanah
keilmuan Timur Tengah dan Nusantara. Sanad keilmuan dan jaringan guru-murid
dari Syekh mahfuzh berperan penting dalam memperkuat konsolidasi ulama-ulama
Nusantara.
Karena itu Islam Nusantara Center (INC) mengangkat “Syekh Mahfuzh
al-Termasi” sebagai tema dari kajian sejarah (Sabtu 25/02) bersama Zainul Milal
Bizawie. Membaca kembali Sanad dan Jejaring Syekh Mahfuz Tremas serta
pengaruhnya bagi perjuangan bangsa Indonesia.
Gus Milal Bizawie yang konsen dalam sejarah, menempatkan Syekh
Mahfuz Tremas sebagai tokoh yang memiliki peran strategis, selain ulama besar
lainnya seperti Syekh Nawawi Banten. Ia sebagai guru utama dalam
komunitas al Jawi di Mekah, menjadi salah satu ulama paling penting
yang berperan dalam proses transmisi Islam dan ketersambungan sanad ke
Nusantara.
Beberapa murid Syekh Mahfuzh yang populer antara lain Kh. Dalhar
Watucongol, Kh. R. Maskumambang Surabaya, Kh. As’ad Syamsul Arifin Situbondo,
Kiai Abbas dan Kh Anas Cirebon, Raden Dahlan As Samarani Semarang, Kiai
Muhammad Dimyati Tremas, Kiai Khalil Lasem,, Kiai Muhammad Faqih bin Abdi al
Jabbar al Maskumambang, Kiai Baidhawi Lasem, Kiai Abdul Mihaimin bin Abdul Aziz
Lasem, Kiai Nawawi Pasuruan, Kiai Abdul Muhith Sidoharjo, Sykeh Ihsan Dahlan
Jampes Kediri, Syekh Muhammad Yasin Padang. Yang terakhir ini merupakan guru
besar hadits dan ushul fiqih di perguruan Dal al-Ulum Mekah.
Penulis Masterpiece Islam Nusantara ini juga menyebutkan
bahwa salah satu murid dari Syekh Mahfuzh adalah adik kandungnya sendiri yang
kemudian menjadi menantu dari Kh Sholeh Darat. “Syekh Ahmad Dahlan yang
merupakan adik sekaligus muridnya dianjurkan belajar lagi ke KH. Sholeh Darat,
hingga diangkat menjadi menantu. Dan nantinya putranya yang bernama Abdul Hadi
merantau menyebarkan Islam ke Jembrana Bali.” jelasnya.
Hal itu menandakan bahwa selain sanad keilmuan yang melahirkan
tokoh dan ulama besar, sanad secara nasab juga tercatat nama-nama besar.
Ayahnya bernama Syekh Abdullah yang melahir ulama besar selain Syekh Mahfuz.
Milal menjelaskan “Syekh Abdullah ini punya putra bernama Syekh Mahfuzh, Syekh
Ahmad Dahlan dan ada dua lagi yang jadi ulama besar. Pertam adalah Syekh
Dimyati yang menggantikan di Tremas”
Ia melanjutkan “terakhir yang jarang disebut adalah Syekh
Abdurrozaq yang bergelut di dunia tariqat. Beliau adalah salah mursyid di
tariqat syadziliyyah”.
“Sanad guru-murid tersebut yang memperkuat jejaring. Syekh Mahfuz
yang melanjutkan perjuangannya Syekh Nawawi Banten dilanjutkan oleh Syekh
Khotib as-Sambasy sampai kembali ke kakeknya, Syekh Abdul Manan” jelas Milal.
Syekh Abdul Manan Dipomenggolo adalah kakek dari Syekh Mahfuzh. Ia
juga seorang ulama besar di Tremas Pacitan. Beliaulah yang mendirikan Pesantren
Tremas. Syekh Abdul Manan adalah santri dari Pesantren Tegalsari Ponorogo,
Pesantren besar di Jawa. Milal mengatakan “Jadi pada awal abad 1, pesantren
terbesar di Jawa adalah Pesantren Tegalsari sebelum ada Tebu ireng dan Tambak
Beras. Di Tegalsari juga, Pangeran Diponegoro pernah nyantri”
“Banyak santri dari pesantren ini, Pakubuwono, ronggowarsito.
Mungkin Syekh Abdul Manan ini nyantrinya berbarengan dengan Ronggowarsito”
lanjurnya.
Tidak ada keterputusan antara sanad keilmuan, sanad perjuangan/
harakah dan sanad teriqoh dan menciptakan kekuatan besar. “Sehingga Ketika Mbah
Hasyim Asyari mendirikan Nahdlatul Ulama dan akhirnya membuat keputusan
Resolusi Jihad, semua ulama langsung nyambung dan solid dalam melawan penjajah
di tanah air”, pungkas Milal.