KAIDAH FIQH
التَّابِعُ تَابِعٌ
(Uji Aplikasi Kaidah Dalam Masalah Praktek Jual Beli Pohon Tanpa Tanah dan Penanggung Jawab Bencana Lumpur Lapindo)
Oleh: Moh. Dliya'ul Chaq
artikel telah ditampilkan oleh penulis yang sama di http://fiqhrealitas.blogspot.com/2012/04/kaidah-fiqh-pengikut-harus-mengikuti.html
Oleh: Moh. Dliya'ul Chaq
artikel telah ditampilkan oleh penulis yang sama di http://fiqhrealitas.blogspot.com/2012/04/kaidah-fiqh-pengikut-harus-mengikuti.html
A. Pendahuluan
Formulasi fiqh
yang telah terkodifikasi pada era klasik merupakan hasil komunikasi
antara teks wahyu dengan keadaan yang melingkupi mujtahid pada masa itu,
oleh karena itu sangat mungkin jika materi fiqh klasik dinilai tidak sesuai dengan kondisi kekinian. Namun pendekatan fiqh dengan adanya komunikasi antara teks dengan keadaan menjadikan fiqh bersifat reseptif, humanis dan aplikatif. Pendekatan fiqh selama ini sangat beragam, diantaranya adalah melalui pendekatan us}u>l al-fiqh dan kaidah fiqh. Kedua pendekatan tersebut dinilai masih mampu merumuskan fiqh yang sesuai dengan kondisi kekinian karena melalui pendekatan deduktif dan induktif.
Pendekatan fiqh yang bersifat induktif dirasa lebih mampu menyelesaikan problematika sosial kekinian dengan meciptakan rumusan fiqh yang aplikatif, bukan normatif. Pendekatan semacam ini dapat terwakili oleh pendekatan kaidah fiqh, mengingat kaidah fiqh merupakan kesimpulan esensi wahyu yang mengadung maqa>s}id al-shar’ yang terumuskan melalui istiqra>’.[1]
Dengan asumsi di atas, makalah ini mencoba dengan pendekatan kaidah fiqh التَّابِعُ تَابِعٌ untuk menyelesaikan permasalahan:
1. Jual beli pohon (yang menancap di tanah, bukan bibit pohon) tanpa tanahnya yang biasa dilakukan di masyarakat.
2. Lumpur Lapindo
di Sidoarjo mengenai siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas
bencana tersebut mengingat bencana itu telah merenggut sandang, pangan
dan papan mayarakat sekitar.
B. Dasar Kaidah
Dari beberapa literature klasik tentang kaidah التَّابِعُ تَابِعٌ, tidak ditemukan nas} al-Qur’an maupun hadith yang secara jelas dijadikan sebagai dasar kaidah ini. Namun ulama’ kontemporer mencoba mencarikan teks nas}
wahyu yang memiliki esensi yang sama dengan kaidah ini yang dapat
dijadikan dasar kaidah. Abd al-Lat}i>f ibnu Muhammad al-Hasan dalam
tulisannya yang berjudul Dira>sa>t fi al-Shari>’ah wa al-Aqi>dah min al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah dalam majalah al-Baya>n mencoba untuk memberikan teks nas} yang dapat dijadikan dasar kaidah ini.[2] Menurutnya, kaidah ini berdasar pada hadith:
حدثنا
عبد الله بن يوسف أخبرنا مالك عن نافع عن عبد الله ابن عمر رضي الله عنهما
: أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن بيع حبل الحبلة وكان بيعا
يتبايعه أهل الجاهلية وكان الرجل يبتاع الجزور إلى أن تنتج الناقة ثم تنتج
التي في بطنها[3]
Pada dasarnya kaidah ini tanpa didasarkan pada nas}
telah dapat difahami akal bahwa sesuatu yang mengikuti merupakan
kesatuan dari yang diikuti, oleh karenanya tidak patut berdiri sendiri
dari segi hukumnya.
Selain itu, jika dilihat dari sifat aghlabiyyah dalam kaidah fiqh yang terbentuk dari istiqra’ atas kesamaan pelaksanaan fiqh aghlabiyyah yang telah ada,[4] maka hal ini menunjukan bahwa dasar hukum pelaksanaan fiqh tersebut (khususnya mengenai furu’ kaidah ini) dapat dijadikan dasar kaidah ini.
C. Makna Ijma>li dan Kaidah Turunan
Secara sederhana makna kaidah التَّابِعُ تَابِعٌ adalah segala sesuatu yang berstatus sebagai pengikut (ta>bi’) secara hukum harus mengikuti pada sesuatu yang diikuti (matbu>’).
Mengenai makna yang dikehendaki dalam kaidah ini tentang sesuatu yang mengikuti (ta>bi’), perlu kiranya identifikasi sesuatu yang dianggap sebagai ta>bi’:
a. Menurut al-Zarqa>, ta>bi’ merupakan sifat dan bagian (juz’) dari matbu>’ yang tidak dapat dipisahkan.[5]
b. Menurut al-Zarkashi, ta>bi’ diidentifikasi sebagai sesuatu yang sambung (ittas}a>l) yang sangat sulit untuk dipisahkan dengan matbu>’.[6]
Dengan demikian, makna yang dikehendaki mengenai ta>bi’
adalah sesuatu yang tersambung dan menjadi bagian dengan sesuatu yang
diikuti dan sulit untuk dipisahkan. Misalnya, janin yang ada dalam
kandungan merupakan sesuatu yang tersambung dan menjadi bagian dari
induknya. Oleh karenanya hukum penyembelihan janin (hewan) yang masih
dalam kandungan mengikuti hukum penyembelihan induknya.[7] Begitu juga pohon merupakan sesuatu yang tersambung dan menjadi bagian dari tanah.[8] Menurut al-Zarkashi, ta>bi’ dapat diidentifikasi sebagai sesuatu terpisah (infis{a>l) dengan matbu>’, tetapi keterpisahan tersebut tidak menghilangkan kriteria ittis{a<l yang yang telah menjadi identitasnya.[9]
Misalnya, hewan piaraan dan harta yang dimiliki seseorang secara
lahiriah terpisah dengan pemiliknya, namun keterpisahan lahiriyah
tersebut tidak menghilangkan ketersambungan akibat hak kepemilikan yang
menjadi identitasnya, sehingga hukum hewan piaraan dan harta tersebut
hukumnya mengikuti pemiliknya.
Dari identifikasi dan penjelasan di atas, maka ta>bi’ merupakan sesuatu yang menjadi bagian atau akibat yang ditimbulkan sehingga sangat wajar jika ta>bi’ tidak dapat berdiri sendiri,[10] atau memiliki ketetapan hukum tersendiri yang tidak terikat dan tidak terkait dengan hukum sesuatu yang diikuti.[11] Makna tersebut berimplikasi pada kemunculan kaidah turunan yang ada:
Sesuatu yang mengikuti tidak dapat berdiri sendiri secara hukum (tidak dapat memiliki hukum tersendiri).[13] Kaidah ini disebutkan oleh Ibnu Nujaym dan al-Suyut}i> dan al-Subki>. Namun al-Zarqa> memberikan redaksi tambahan “التابع لا يفرد بالحكم ما لم يصر مقصوداً”.[14]
Artinya, sesuatu yang mengikuti tidak dapat memiliki hukum sendiri
selama tidak menjadi tujuan. Pada dasarnya tidak terjadi perbedaan
sekalipun terdapat tambahan. Terdapat redaksi lain mengenai kaidah ini
dengan pengertian yang sama, yakni يثبت تبعا ما لا يثبت استقلالا. (sesuatu yang tetap karena menjadi pengikut, maka tidak dapat ditetapkan secara mandiri).[15] Selain itu dalam al-Majallah al-‘Adliyyah pasal 48 beserta kitab sharahnya terdapat kaidah senada dengan redaksi yang berbeda, yakni “التابع لا يقرر بالحكم” (Perkara yang mengikuti tidak dapat ditetapkan hukumnya [secara mandiri]).[16]
Berbagai redaksi yang berbeda tersebut pada dasarnya memiliki satu
makna yang dikehendaki, yakni sesuatu yang diidentifikasi sebagai
pengikut (sesuatu yang mengikuti) tidak dapat memiliki ketetapan hukum
tersendiri yang tidak terikat dan tidak terkait dengan hukum sesuatu
yang diikuti.
Kaidah
ini telah banyak diaplikasikan dalam berbagai ketentuan fiqh,
diantaranya tentang masyarakat dan pemimpinnya di mana masyarakat tidak
dapat menentukan hukum tanpa persetujuan pemimpin, oleh karenanya
menurut Imam al-Rafi’i perusakan perjanjian yang dilakukan oleh
masyarakat kafir ataupun muslim tanpa sepengatahuan pemimpinnya tidak
dianggap sah dan tidak memiliki status hukum karena masyarakat tergolong
ta>bi’ yang tidak dapat berdiri sendiri.[17] Namun demikian, kaidah ini memiliki Eksepsi (Mustathnaya>t)
dalam penerapannya, diantaranya tentang hak waris anak dalam kandungan
yang seharusnya masih mengikuti ibunya, tetapi jika dinilai bahwa sang
anak dimungkinkan akan lahir ia maka ditetapkan berhak memiliki bagian
harta waris jika pada saat itu sang ayah meninggal.[18]
2. Kaidah “من ملك شيئاً ملك ما هو من ضروراته”
Kaidah ini ditemukan dalam al-Majallah al-‘Adliyyah
dan kaidah susunan al-Zarqa. Maksud dari kaidah adalah barang siapa
memiliki sesuatu maka ia berarti memiliki apa yang menjadi hubungannya
dari sesuatu itu.[19] Berdasarkan kaidah inilah Riyad{ bin Mans}u>r al-Khulayfi dalam karyanya menyatakan bahwa kaidah ini senada dengan kaidah[20]:
والحريم له ما هو حريم له
“Suatu batas hukumnya sama dengan sesuatu yang dibatasi”
والرضا بالشيء رضا بما يتولد منه .
“Rela dengan sesuatu berarti rela dengan apa yang timbul dari sesuatu itu”
Aplikasi kaidah ini misalnya, hukum membeli rumah berarti membeli jalan (halaman yang dijadikan jalan) menuju rumah tersebut.[21] Adapun Eksepsi (Mustathnaya>t)
kaidah ini adalah ketetapan mengenai seorang wakil untuk membeli
sesuatu, kemudian harta yang dibeli itu rusak di tangan wakil maka wakil
harus menanggungnya, karena sekalipun wakil merupakan ta>bi’, tetapi ta>bi’ yang dikehendaki adalah ta>bi’ dari matbu>’ berupa pembelian saja.[22] Selain dari contoh pengecualian ini, tidak ditemukan contoh lain.
3. Kaidah “التَّابِعُ يَسْقُطُ بِسُقُوطِ الْمَتْبُوعِ”
Makna dari kaidah di atas adalah sesuatu yang mengikuti dinyatakan gugur dengan gugurnya sesuaatu yang diikuti.[23]
Semua ulama’ terlihat sepakat dalam penggunaan kaidah ini sekalipun
terdapat redaksi yang berbeda dengan pengertian yang sama, diantaranya
menurut al-Zarqa “إذا سقط الأصل سقط الفرع”.[24] Juga terdapat redaksi lain yang semakna, yakni “الفرع يسقط إذا سقط الأصل”.[25] Juga terdapat redaksi kaidah senada dalam al-Majallah al-‘Adliyyah dan Sharahnya, yakni “إذا بطل شيء بطل ما في ضمنه”.[26] Dan juga kaidah “اذا بطل المتضمِّن بطل المتضمَّن”.[27]
Aplikasi kaidah ini sangat banyak dalam literature fiqh yang ada, di
antaranya hukum barang yang menjadi jaminan hutang merupakan ta>bi’
dari hutang, oleh karenanya jika si pemberi hutang merelakan hutang
itu, maka jaminan tersebut ikut gugur dan harus dikembalikan pada orang
yang hutang.[28] Sebagaimana kaidah pada umumnya, kaidah ini juga memiliki Eksepsi (Mustathnaya>t), di antaranya ketika kesepakatan aman (damai) antara muslim dengan non muslim terjadi, maka wanita dan anak kecil merupakan ta>bi’
dari laki-laki sebagai pelaku akad aman. Namun jika ternyata
kesepakatan itu rusak, wanita dan anak kecil tetap harus dilindungi.[29] Dari eksepsi yang ada, terlihat bahwa eksepsi tersebut merupakan hukum yang telah ditentukan oleh nas} hadith yang s}arih, sehingga bisa dikatakan bahwa status ta>bi’ dalam contoh eksepsi tersebut merupakan ta>bi’ yang telah memiliki tujuan tersendiri. Dan hal ini terkait dengan kaidah يُغْتَفَرُ فِي التَّوَابِعِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا dan kaidah يُغْتَفَرُ فِي الشَّيْءِ ضِمْنًا مَا لَا يُغْتَفَرُ قَصْدًا.
4. Kaidah “يُغْتَفَرُ فِي التَّوَابِعِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا”
Makna kaidah adalah sesuatu yang ditolelir pada ta>bi’, tidak berlaku pada selain ta>bi’ (matbu>’).[30] Terdapat kaidah yang senada dengan kaidah ini, yakni “يُغْتَفَرُ فِي الشَّيْءِ ضِمْنًا مَا لَا يُغْتَفَرُ قَصْدًا”.[31] Al-Suyu>t{i> menambahkan kaidah yang senada berupa kaidah “يغتفر في الثواني ما لا يغتفر في الأوائل” dan “أوائل العقود تؤكد بما لا يؤكد به أواخرها”.al-Suyu>t}i> menilai bahwa kaidah yang paling umum digunakan adalah kaidah “يُغْتَفَرُ فِي التَّوَابِعِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا”.[32] Menurut Muhammad S{idqi> ibnu Ahmad al-Barnu selain kaidah diatas terdapat satu lagi kaidah yang senada, yakni “قد يثبت شيء ضمنا وحكما ولا يثبت قصدا”. Menurutnya, kaidah-kaidah di atas berpangkal pada kaidah al-Karkhi> yang berbunyi “الأصل أنه قد يثبت الشيء تبعا وحكما وإن كان يبطل قصدا”.[33]
Aplikasi dari kaidah ini sebagaimana contoh eksepsi dari kaidah التَّابِعُ يَسْقُطُ بِسُقُوطِ الْمَتْبُوعِ dan juga dalam ketentuan hukum jika dalam keadaan ihra>m seseorang dilarang untuk menikah, namun jika sebatas ruju>’ maka hukumnya boleh karena ruju>’.[34] Oleh karena kaidah ini merupakan eksepsi kaidah lain, maka tidak ditemukan eksepsi dalam kaidah ini.
5. Kaidah “التَّابِعُ لَا يَتَقَدَّمُ عَلَى الْمَتْبُوعِ”
Makna kaidah adalah sesuatu yang mengikuti tidak boleh mendahului sesuatu yang diikuti.[35]
Kaidah ini menandaskan bahwa yang menjadi panutan senantiasa harus
didahulukan dan diprioritaskan, sedangkan pengikut harus harus di
setelahnya. Aplikasi kaidah ini sangat banyak dalam refrensi fiqh
yang ada, di antaranya hukum jual beli dengan syarat gadai
diperbolehkan dengan syarat dalam pengucapan akad (transaksi) harus
mendahulukan lafadz jual beli dan mengakhirkan lafadz gadai, karena pensyaratan berupa gadai merupakan ta>bi’ dari bay’.[36] Dalam penelusuran sementara, tidak ditemukan eksepsi kaidah ini.
6. Kaidah “الساقط لا يعود”
Makna
kaidah ini adalah bahwa jika seseorang menggugurkan hak-nya maka hak
tersebut beserta sesuatu yang mengikuti hak tersebut juga gugur dan
tidak dapat dikembalikan lagi.[37] Ima>d Ali jum’ah memberikan tambahan redaksi pada kaidah ini, menjadi “الساقط لا يعود كما أن المعدوم لا يعود”[38]
Aplikasi kaidah ini diantaranya, jika seseorang telah membebaskan
hutang orang lain, maka ia tidak dapat menarik kembali pembebasan
tersebut beserta sesuatu yang mengikutinya seperti melakukan penagihan
dan penuntutan.[39] Dan mengenai eksepsi tidak ditemukan dalam kaidah ini.
7. Kaidah “التَّابِعُ لاَ يَكُونُ لَهُ تَابِعٌ”
Makna
kaidah ini bahwa sesuatu yang mengikuti tidak memiliki pengikut.
Artinya bahwa sesuatu yang menjadi pengikut tidak dapat dijadikan
sebagai sesuatu yang diikuti. Kaidah ini hanya ditemukan dalam karya
al-Zarkashi.[40] Aplikasi kaidah ini diantaranya, melukai jari terkena hukum diyat. Diyat jari dengan diyat telapak tangan berbeda kadarnya, oleh karenanya melukai jari bukan berarti melukai telapak tangan secara keseluruhan.[41] Eksepsi dari kaidah ini diantaranya, seorang wakil dapat mewakilkan pada orang lain, maka wakil yang pada dasarnya merupakan ta>bi’ dari muwakkil memiliki hak untuk mewakilkan kembali, sehhingga wakil (ta>bi’) memiliki ta>bi’ yang lain.[42]
8. Kaidah “إذا بطل الأصل يصار إلى البدل”
Maksud akidah ini adalah sesuatu yang menjadi kewajiban (as}al) jika batal terlaksana maka harus dipenuhi gantinya. As}al yang dimaksud adalah suatu kewajiban, sedangkan batal maksudnya adalah kesulitan memenuhi karena ada alasan.[43] Analisa yang teramati mengenai penjelasan penggabungan kaidah ini sebagai kaidah turunan adalah karena as}al di sini dinilai sebagai matbu>’, sedangkan badal dinilai sebagai ta>bi’, sehingga ta>bi’ disini dapat menempati posisi matbu>’. Aplikasi kaidah diantaranya, jika suatu akad ija>rah
(sewa menyewa) dilakukan dengan jangka waktu satu bulan, maka
perhitungan sebulan seharusnya dilakukan dengan melihat hilal. Namun
jika ternyata sulit dilakukan maka sebulan diganti dengan 30 hari
sebagaimana umumnya.[44]
D. Makna Keseluruhan Kaidah
Pengertian pengikut (ta>bi’)
dalam kaidah adalah bagian sesuatu yang tersambung dan sulit untuk
dipisahkan dengan sesuatu tersebut atau akibat yang ditimbulkan dari
sesuatu. Analisa yang teramati sehubungan dengan kaidah ta>bi’
ini, bahwa kaidah pokok dan kaidah turunan memiliki keterkaitan erat
dalam menentukan sebuah hukum, oleh karnanya perlu kiranya perumusan
makna secara menyeluruh mengenai kaidah التَّابِعُ تَابِعٌ dan berbagai kaidah turunannya, agar tidak terjebak dalam pemahaman secara parsial.
Rumusan makna keseluruhan adalah segala sesuatu yang berstatus sebagai pengikut (ta>bi’) secara hukum harus mengikuti pada sesuatu yang diikuti (matbu>’). Oleh karenanya, ta>bi’ tidak dapat memiliki ketetapan hukum tersendiri dari hukum sesuatu yang diikuti (التَّابِعُ أَنَّهُ لَا يُفْرَدُ بِالْحُكْمِ),
sehingga jika seseorang memiliki sesuatu maka berarti ia bertanggung
jawab atas apa yang berhubungan (akibat) dengan sesuatu itu (من ملك شيئاً ملك ما هو من ضروراته) dan jika sesuatu yang diikuti dinyatakan gugur maka pengikut juga dinyatakan gugur (التَّابِعُ يَسْقُطُ بِسُقُوطِ الْمَتْبُوعِ), kecuali dalam hal ta>bi’ teridentifikasi memiliki dasar nas} wahyu tersendiri sehingga ta>bi’ merupakan hukum yang berdiri sendiri dan menyatakan perbedaan dengan kaidah di atas, maka ta>bi’ tidak mengikuti pada matbu>’ (يُغْتَفَرُ فِي الشَّيْءِ ضِمْنًا مَا لَا يُغْتَفَرُ قَصْدًا). Makna keseluruhan kaidah di atas memiliki imlpikasi etis, yakni:
a. bahwa sesuatu diikuti (matbu>’) harus didahulukan/diprioritaskan (التَّابِعُ لَا يَتَقَدَّمُ عَلَى الْمَتْبُوعِ)
b. bahwa ta>bi’ tidak boleh memiliki pengikut lainnya (التَّابِعُ لاَ يَكُونُ لَهُ تَابِعٌ) agar tidak terjadi dualisme matbu>’.
c. bahwa sesuatu yang telah digugurkan baik matbu>’ maupun ta>bi’ tidak dapat ditarik kembali (الساقط لا يعود) karena keharaman untuk menarik apa yang telah diberikan.
d. bahwa ta>bi’ dapat mengganti/menempati posisi matbu>’ jika matbu>’ sulit untuk ditempatkan/ditemukan (إذا بطل الأصل يصار إلى البدل).
E. Aplikasi Kaidah Dalam Masalah Jual Beli Pohon Tanpa Tanahnya
Dalam
berbagai literatur yang ada, bahwa aplikasi kaidah di atas salah
satunya mengenai permasalahan jual beli tanah yang di atasnya terdapat
bangunan dan pepohonan. Tanah yang dibeli/dijual di mana di atas tanah
itu terdapat pohon maupun bangunannya, maka segala yang berada di atas
tanah tersebut mengikuti hukum tanah. Artinya bahwa pohon, bangunan,
maupun tumbuh-tumbuhan yang lain ikut terbeli/terjual.[45]
Alasan yang terungkap diantaranya menurut al-Zarqa, bahwa pohon,
bangunan dan tumbuhan termasuk ta>bi’ karena merupakan bagian (juz’ atau sifat) dari tanah.[46]
Namun
demikian, masyarakat saat ini melakukan praktek jual beli pohon (bukan
bibit) tanpa tanahnya. Dan praktik ini ternyata menjadi fakta umum di
lapangan. Kasus yang teramati adalah jual beli pohon mangga dan durian
ketika masa panen.[47]
Dalam praktiknya, berdasarkan wawancara dengan pelaku, bahwa pohon
mangga atau durian dibeli/dijual dalam waktu tertentu (misalnya 1 tahun)
dengan harga 2,5 juta tiap pohon (tahun 2010). Dalam masa itu pembeli
berhak untuk memanen buah selama 1 tahun tersebut. Dan jika masa 1 tahun
telah habis maka pohon kembali menjadi milik penjual. Alasan pembeli
melakukan jual beli yang demikian adalah untuk mempermudah panen dan
mempermudah perawatan pohon agar panen dapat mencapai hasil maksimal
dengan keuntungan yang maksimal. Adapun alasan penjual adalah praktek
semacam itu telah umum dan biasa dilakukan, dan harga yang telah
disepakati telah dikalkulasi dengan hasil yang menurutnya setara dengan
panen tanpa dijual.[48]
Pada dasarnya, praktek demikian teridentifikasi bertentangan dengan kaidah التَّابِعُ تَابِعٌ dan kaidah التَّابِعُ أَنَّهُ لَا يُفْرَدُ بِالْحُكْمِ karena pohon merupakan bagian (ta>bi’)
dari tanah sehingga pohon tidak dapat berdiri sendiri hukumnya. Dan
tujuan dari jual beli di atas adalah jual beli buahnya bukan pohonnya.
Oleh karenanya praktek jual beli yang demikian dalam perspektif kaidah
ini tergolong jual beli yang dilarang dan tidak sah.
Dari perspektif lain, bahwa praktek jual beli pohon tanpa tanah tersebut merupakan praktik jual beli yang mengandung unsur gharar (penipuan) karena ketidakjelasan mabi>’
(buah yang dijual) mengingat buah masih belum tumbuh atau sudah tumbuh
walau masih belum matang. Hal ini dapat dilihat dalam hadith s}ahih riwayat Imam al-Bukha>ri> dan Muslim:
حَدَّثَنِى
أَبُو الطَّاهِرِ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِى مَالِكٌ عَنْ
حُمَيْدٍ الطَّوِيلِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى تُزْهِىَ قَالُوا
وَمَا تُزْهِىَ قَالَ تَحْمَرُّ. فَقَالَ إِذَا مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ
فَبِمَ تَسْتَحِلُّ مَالَ أَخِيكَ[49]
Dalam hadith lain:
حدثنا
عبد الله بن يوسف أخبرنا مالك عن نافع عن عبد الله ابن عمر رضي الله
عنهما : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن بيع الثمار حتى يبدو
صلاحها نهى البائع والمبتاع[50]
Artinya
bahwa jual beli buah durian atau mangga yang masih berada di pohon
tergolong jual beli buah yang masih hijau yang masih berada di pohonnya.
Larangan hadith karena terdapat spekulasi dalam praktek jual beli
tersebut sehingga berkemungkinan besar salah satu pihak dirugikan. Oleh
karenanya ulama’ shafi’iyyah memperbolehkan praktek jual beli
tersebut dengan syarat harus diambil buahnya seketika untuk menghindari
kekecewaan salah satu pihak.[51]
Kekecawaan yang dimaksud adalah jika ternyata hasil panen melebihi
harga jual maka berkemungkinan besar penjual kecewa. Begitu sebaliknya,
jika ternyata hasil panen lebih sedikit dari harga jual pohon, maka
pembeli pasti dirugikan.
Dengan demikian praktek jual beli pohon tanpa tanah merupakan praktik yang tidak sesuai dan dilarang. Namun demikian, jika dilihat dari perspektif kaidah dharu>rat dalam hal ha>jat dapat menempati posisi d}arurat (الْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُورَةِ ، عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً). Hanafiyyah mencontohkan aplikasi kaidah ini bahwa dalam kitab al-bughyah dijelaskan menghutangkan (istiqra>dl) dengan menarik laba (ribkh) diperbolehkan karena jika yang menghutangkan tergolong miskin yang membutuhkan.[52] Sedangkan shafi’iyah menggunakan istilah bay’ al-dayn bi al-dayn. Keduanya jelas tergolong riba yang diharamkan, namun dalam keadaan ha>jat yang memaksa maka diperbolehkan. Begitu juga hukum jual beli pesanan, ju’a>lah,
dan transaksi sewa-menyewa yang kesemuanya dinyatakan boleh sekalipun
jika praktek transaksi tersebut diqiyaskan dengan jual beli terlihat
tidak sesuai karena mabi>’ tidak jelas namun telah menjadi kebutuhan (ha>jat) umum masyarakat yang akan kesulitan jika tidak melakukan praktek tersebut.[53] Maka jika menggunakan kesamaan ‘illat
kebutuhan masyarakat umum yang telah melakukan praktek tersebut dan
akan kesulitan jika tidak melakukan hal tersebut, maka jual beli pohon
tanpa tanah berpeluang menjadi hukum boleh.
F. Aplikasi Kaidah Dalam Masalah Lumpur Lapindo di Sidoarjo
Bencana
lumpur Lapindo telah terjadi pada beberapa tahun yang lalu, namun
samapi saat ini masyarakat masih melakukan demo-demo penuntutan ganti
rugi. Bencana tersebut bermula dari penggalian tanah yang dilakukan oleh
salah satu perusahaan milik Bakri Group dengan tujuan untuk mengambil
minyak yang berada dikedalaman tanah tersebut. Akibat dari penggalian
tersebut tanpa disangka-sangka muncul semburan lumpur yang kemudian
merendam hampir satu kecamatan. Masyarakat yang rumah dan hartanya
terendam menuntut ganti rugi. Mengingat efek yang ditimbulkan bencana
tersebut sangat besar terhadap masyarakat, maka pemerintah turun tangan.
Dan kemudian pemerintah sempat menyatakan bahwa bencana lumpur lapindo
merupakan bencana nasional. Konsekwensi dari penetapan sebagai bencana
nasional adalah pemberian ganti rugi akan dibebankan pada pemerintah.
Namun pemerintah kemudian seakan membebankan ganti rugi tersebut kepada
Bakri Group. Masyarakat mulai dibingingkan dengan keadaan, karena kepada
siapa harus menuntut ganti rugi yang sampai detik ini masih ada
masyarakat yang belum menerima ganti rugi dan hidup di penampungan.
Mencoba untuk menyikapi kasus lapindo dari perspektif kaidah fiqh التَّابِعُ تَابِعٌ maka
pemilik tanah yang dalam hal ini adalah perusahaan Bakri Group adalah
pihak yang harus bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi kepada
masyarakat mengingat luapan lumpur merupakan ta>bi’ dari penggalian yang dilakukan. Dan jika mengikuti kaidah من ملك شيئاً ملك ما هو من ضروراته maka sudah sangat jelas bahwa pemilik perusahaan harus bertanggung jawab atas apa yang ditimbulkan dari perusahaan tersebut.
Adapun
tentang ganti rugi seharusnya disesuaikan dengan kerugian yang diderita
masyarakat. Misalnya, si fulan dirugikan karena kehilangan rumah dan
halaman yang berada di depan rumah, lemari, dan perabot rumah tangga
lainnya, maka seharusnya pihak perusahaan Bakri Group harus mengganti
dengan bentuk yang sama. Namun jika dirasa sulit untuk mencari rumah
dengan halaman serta perabot yang sama, maka sesuai dengan kaidah إذا بطل الأصل يصار إلى البدل, ganti
rugi dapat digantikan dengan harta (uang, tanah atau rumah) senilai
dengan rumah, halaman dan perabot yang menjadi korban lumpur.
G. Analisa
1. Kaidah ini identik dengan kaidah kulliyyah karena dapat diterapkan pada semua bab fiqh. Sesuai dengan pengertian kaidah kulliiyah yang dapat diterapkan pada semua bab fiqh.[54] Mengingat metode perumusan kaidah fiqh bersifat istiqra’ pada penerapan fiqh yang sudah ada, ternyata ditemukan tentang ketidak sesuaian kaidah ini jika diterapkan pada beberapa masalah fiqh, maka kaidah ini dapat digolongkan pada kaidah aghlabiyyah. Kaidah aghlabiyyah dalam pengertiannya kaidah yang tidak mencakup keseluruhan masalah fiqh, namun mayoritas masalah fiqh dapat tercakup dalam kaidah ini sekalipun terdapat pengecualian. Oleh karenanya para ulama’ menggolongkannya sebagai kaidah kulliyah sughra>.
2. Terdapat
kaidah turunan yang bersumber dari pengecualian kaidah. Analisa yang
teramati, ketika terjadi dua maksud yang berbeda dalam satu kaidah, maka
kaidah tersebut identik dengan kaidah mukhtala>f. Hal ini malah dinilai dapat melemahkan kaidah induknya sendiri. Selain itu, perumusan kaidah seakan didsarkan pada mustathnaya>t
yang jelas-jelas bertentangan dengan kaidah induk. Oleh karenanya
pemakalah sengaja tidak memasukkannya dalam kaidah turunan. Adapun
kaidah yang dimaksud adalah kaidah “قد يثبت الفرع مع عدم ثبوت الاصل”.[55] Kaidah secara jelas bertentangan dengan kaidah “التَّابِعُ يَسْقُطُ بِسُقُوطِ الْمَتْبُوعِ” dan merupakan bentuk pengecualian dari kaidah ini.
3. Kidah ini identik dengan kaidah kuliiyah sejenis, yakni kaidah
والحريم له ما هو حريم له
“Suatu batas hukumnya sama dengan sesuatu yang dibatasi”
والرضا بالشيء رضا بما يتولد منه .
“Rela dengan sesuatu berarti rela dengan apa yang timbul dari sesuatu itu”
Oleh karenanya wajar jika kedua kaidah tersebut dinilai sebagai turunan kaidah “التَّابِعُ تَابِعٌ”.
4. Kaidah ini senada dengan kaidah ushul mengenai was}i>lah maupun dzari>’ah. Wasi>lah memiliki arti jalan yang dapat menyampaikan pada tujuan (الطرق المفضية إلى المقاصد). Menurut ahli fiqh dan ushul fiqh bahwa wasi>lah memiliki tiga criteria:
a. Wasi>lah yang pasti menyampaikan (mufdhiyyah) pada tujuan. Wasi>lah jenis ini disamakan dengan hukum tujuan. Oleh karenanya ulama’ merumuskan kaidah ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
b. Wasi>lah yang sulit (dianalisa) sampai pada tujuan. Maka jenis wasi>lah ini tidak dapat disamakan dengan tujuan.
c. Wasi>lah yang kemungkinan besar (gha>lib) sampai pada tujuan. Wasi>lah
jenis ini menurut mayoritas ulama’ dapat disamakan dengan tujuan dalam
beberapa kasus, dan dalam beberapa kasus tidak dapat disamakan dengan
tujuan, selama terdapat dalil pendukungnya.[56] Misalnya larangan untuk mengolok (misuhi:jawa) tuhan orang musyrik karena dapat memunculkan (menjadi wasi>lah)
olokan orang musyrik pada Allah sekalipun tidak pasti mengolok tuhan
orang musyrik akan menimbulkan olokan sebaliknya. Hukum ini didasarkan
dari surat al-An’a>m ayat 108.
Sehubungan dengan wasi>lah,
Ibnu al-Qayyim, “Ketika tujuan tidak dapat sampai kecuali dengan sebab
atau jalan yang menyampaikan padanya baik sebab ataupun jalan tersebut
mengikuti ataupun mu’tabar. Maka wasi>lah perkara haram dan maksiat tergolong dicegah karena dilihat dapat menyampaikan dan berhubungan dengan tujuan (maksiat). Adapun wasi>lah
taat dan ibadah lainnya yang diperbolehkan tergolong disukai dan
diperbolehkan dilihat dari sisi dapat menyampaikan pada tujuan. Maka
perantara tujuan (hukumny) mengikuti tujuan”.[57] Berikut teks aslinya:
لما
كانت المقاصد لا يتوصل إليها إلا بأسباب وطرق تُفضي إليها كانت طرقها
وأسبابها تابعة لها معتبرة بها، فوسائل المحرمات والمعاصي في كراهتها
والمنع منها بحسب إفضائها إلى غاياتها وارتباطاتها بها، ووسائل الطاعات
والقربات في محبتها والإذن فيها بحسب إفضائها إلى غايتها، فوسيلة المقصود
تابعة للمقصود، وكلاهما مقصود، لكنه مقصود قصد الغايات، وهي مقصودة قصد
الوسائل
Senada dengan pemikiran di atas, para ulama’ merumuskan berbagai kaidah yang berhubungan dengan wasi>lah hukum:
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب[58]
“Sesuatu yang tidak dapat menyempurnakan kewajiban kecuali dengannya maka sesuatu itu juga berhukum wajib”
للوسائل حكم المقاصد[59]
“Bagi perantara (mengikuti) hukum tujuan”
Oleh karenanya, sangat wajar jika kaidah التَّابِعُ تَابِعٌ tergolong
kaidah yang efektif dalam menyelesaikan permasalahan hukum, terlebih
jika dielaborasi dengan kaidah ushul fiqh. Maksud efektif adalah bahwa
kaidah ini berkemungkinan besar memiliki cakupan furu>’ yang lebih luas.
H. Kesimpulan
1. Kaidah التَّابِعُ تَابِعٌ merupakan kaidah yang secara tertulis tidak didasarkan pada nas} al-Qur’an maupun hadith
yang ada. Bukan berarti kaidah ini tanpa dasar. Hal ini lebih
dikarenakan telah dapat difahami akal dengan landasan argumentasi bahwa
antara sesuatu yang mengikuti merupakan kesatuan dari yang diikuti.
Namun demikian, ulama’ kontemporer berusaha mencarikan dasar nas{ yang dinilai dapat dijadikan pijakan, khususnya bagi mereka yang kurang memahami makna kaidah.
2. Kaidah التَّابِعُ تَابِعٌ tergolong kaidah yang kulliyah sughra> atau biasa disebut dengan kaidah aghlabiyyah mengingat dalam kaidah ini terdapat beberapa pengecualian.
3. Dalam penerapan kaidah ini, berdasarkan hasil telaah refrensi makalah ini, tidak ditemukan penerapan kaidah ini dalam masalah nika>h. Bukan berarti kaidah ini tidak dapat diterapkan dalam fiqh nikah, namun perlu penelusuran lebih lanjut.
4. Kaidah ini terlihat memiliki kesesuaian dengan kaidah ushul lingkup wasi>lah dan dzara>’i. Oleh karenanya kaidah ini dapat dijadikan alat bantu kaidah ushul dalam mendeskripsikan hukum.
5. Terdapat kaidah yang terbentuk berdasarkan mustathnaya>t kaidah lainnya. Hal ini dapat melemahkan posisi kaidah yang mulanya kulliyyat menjadi mukhtala>f.
6. Hukum penjualan pohon tanpa tanah dengan pendekatan kaidah al-ta>bi’ ta>bi’
adalah tidak sah dan juga termasuk jual beli dengan buah yang berada di
pohon di mana buah tersebut masih belum matang. Terdapat peluang hukum
boleh dalam praktek tersebut jika mengikuti kaidah al-ha>jat tunazzalu manzilat al-d}aru>rat.
7. Penanggung
jawab dari bencana lumpur lapindo di Indonesia adalah pihak perusahaan
Bakri Group dengan ganti rugi yang senilai dengan harta korban.
Bibliografi
Abd al-Lat}i>f ibnu Muhammad al-Hasan, Dira>sa>t fi al-Shari>’ah wa al-Aqi>dah min al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah, dalam majalah al-Baya>n edisi November 1999, Maktabah Shamelah.
Abd al-Rahma>n al-Suyu>t}i>, al-Ashbah wa al-Naz}a>’ir, Beirut, Da>r al-Kutub al-‘Alamiyyah, tt.
Abd al-Rahma>n bin Na>s}ir al-Sa’adi>, Sharh Naz}m al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah, Maktabah Shamelah, tt.
Abu al-Fayd{ Muhammad Ya>si>n bin ‘I>sa> al-Fada>ni>, al-Fawa>’d al-Janiyyah, Beirut, Da>r al-Fikr, 1997.
Ahmad bin Muhammad al-Zarqa>, Sharh al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah, Beirut, Da>r al-Qalam, tt.
Ali Haydar, Durar al-Hukka>m Sharh Majallat al-hka>m, Beirut, Da>r al-Kutub al-‘Alamiyyah, tt.
Badr al-Di>n al-Zarkashi, al-Manthu>r fi al-Qawa>’id, Kuwait: Wiza>rah al-Awqa>f wa Shu’u>n al-Isla>miyyah, tt.
Ibnu al-Qayyim, I’la>m al-Muwaqqi’i>n, Maktabah Shamelah, tt.
Ima>d Ali Jum’ah, al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Arda>n, Da>r al-Nafa>’is, 2006.
Imam al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ al-S{ahi>h li al-Bukha>ri>, Maktabah Shamelah, tt.
Imam Muslim, al-Ja>mi’ al-S{ahi>h li al-Muslim, Maktabah Shamelah, tt.
Muhammad S{idqi> ibnu Ahmad al-Burnu, al-Waji>z fi I>d{a>h al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah al-Kulliyyah, Riyadl, Maktabah al-Taubah, 1994.
Riyad{ bin Mans}u>r al-Khulayfi, al-Minha>j fi Qawa>’id al-Fiqhiyyah, Maktabah Shamelah, tt.
Sha>lih bin Muhammad al-Asmari>, Majmu>’ah al-Fawa>’id al-Bahiyah ‘ala> mandhumat al-Qawa>’id al-Bahiyyah, Surabaya, al-Hidayah, 2000.
Sulaiman al-Bujayrami>, Ha>shiyah al-Bujayrami>, Maktabah Shamelah, tt.
Sulayman al-Jarhazi, al-Mawa>hib al-Saniyyah, Beirut, Da>r al-Fikr, 1997.
Ta>j al-Di>n Abd al-Wahha>b al-Subki>, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>ir, Beirut, Da>r al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1991.
Wiza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mausu>’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, Maktabah Shamelah, tt.
Zayn al-Di>n Ibnu Nujaym al-Hanafi, al-Ashbah wa al-Naz}a>’ir, Beirut, Da>r al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1980.
[1]Muhammad S{idqi> ibnu Ahmad al-Burnu, al-Waji>z fi I>d{a>h al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah al-Kulliyyah, (Riyadl: Maktabah al-Taubah, 1994), hal. 18.
[2]Abd al-Lat}i>f ibnu Muhammad al-Hasan, Dira>sa>t fi al-Shari>’ah wa al-Aqi>dah min al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah, dalam majalah al-Baya>n edisi November 1999. (Maktabah Shamelah), jilid 143, hal. 24.
[3]Al-Bukha>ri>, S{ahi>h al-Bukha>ri, (Maktabah Shamelah), hadith no. 3026 dalam bab Jual Beli (Bay’).
[4]Muhammad S{idqi> ibnu Ahmad al-Burnu, al-Waji>z, hal. 18.
[5]Ahmad bin Muhammad al-Zarqa>, Sharh al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah, hal. 144.
[6]Badr al-Di>n al-Zarkashi, al-Manthu>r fi al-Qawa>’id, (Kuwait: Wiza>rah al-Awqa>f wa Shu’u>n al-Isla>miyyah), jilid I, hal. 238.
[8]Ahmad bin Muhammad al-Zarqa>, Sharh al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah, hal. 144.
[9]Badr al-Di>n al-Zarkashi, al-Manthu>r, jilid I, hal. 239.
[10]Ibnu Nujaym al-Hanafi, al-Ashbah, hal.120. dan al-Suyu>t}i>, al-Ashbah, hal.117.
[11]Abu al-Fayd{ Muhammad Ya>si>n bin ‘I>sa> al-Fada>ni>, al-Fawa>’d al-Janiyyah, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1997), hal. 380., al-Suyu>t}i>, al-Ashbah, hal.117., Ali Haydar, Durar al-Hukka>m Sharh Majallat al-hka>m, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Alamiyyah, tt.), jilid I, hal. 47.
[12] Ibnu Nujaym al-Hanafi, al-Ashbah, hal.120. dan al-Suyu>t}i>, al-Ashbah, hal.117.
[14]al-Zarqa>, Sharh al-Qawa>’id, hal. 147.
[15]Riyad{ bin Mans}u>r al-Khulayfi, al-Minha>j fi Qawa>’id al-Fiqhiyyah, (Maktabah Shamelah), jilid I, hal. 11.
[16]Ali Haydar, Durar al-Hukka>m, jilid I, hal. 47.
[17]al-Zarkashi, al-Manthu>r, jilid I, hal. 234.
[18]Ali Haydar, Durar al-Hukka>m, jilid I, hal. 48.
[19]al-Zarqa>, Sharh al-Qawa>’id, hal. 149. Dan al-Burnu, al-Waji>z, hal. 281.
[20]Riyad{ bin Mans}u>r al-Khulayfi, al-Minha>j fi Qawa>’id, hal. 11.
[21]al-Zarqa>, Sharh al-Qawa>’id, hal. 149.
[23]Ibnu Nujaym al-Hanafi, al-Ashbah, hal.121. dan al-Suyu>t}i>, al-Ashbah, hal.118.
[24]al-Zarqa>, Sharh al-Qawa>’id, hal. 149.
[25]al-Burnu, al-Waji>z, hal. 283.
[26]Ali Haydar, Durar al-Hukka>m, jilid I, hal. 49.
[27]al-Burnu, al-Waji>z, hal. 289.
[28]al-Zarqa>, Sharh al-Qawa>’id, hal. 149.
[29]al-Zarkashi, al-Manthu>r, jilid I, hal. 236. Dan al-Suyu>t}i>, al-Ashbah, hal.118.
[31]al-Suyu>t}i>, al-Ashbah, hal.120 dan Ibnu Nujaym al-Hanafi, al-Ashbah, hal.121.
[32]al-Suyu>t}i>, al-Ashbah wa al-Naz}a>’ir, hal.120.
[33]al-Burnu, al-Waji>z, hal. 286.
[34]Ibid.
[35]al-Suyu>t}i>, al-Ashbah, hal.119., al-Zarkashi, al-Manthu>r, jilid I, hal. 236., Ibnu Nujaym al-Hanafi, al-Ashbah, hal.121.
[36]al-Suyu>t}i>, al-Ashbah, hal.120.
[37]Ali Haydar, Durar al-Hukka>m, hal. 48.
[38]Ima>d Ali Jum’ah, al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, (Arda>n; Da>r al-Nafa>’is, 2006), hal. 71.
[39]Ali Haydar, Durar al-Hukka>m, hal. 48.
[40]al-Zarkashi, al-Manthu>r, jilid I, hal. 236. Dan al-Suyu>t}i>, al-Ashbah, hal.237.
[42]Wiza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mausu>’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, (Maktabah Shamelah), jilid. 10, hal. 99.
[43]Ima>d Ali Jum’ah, al-Qawa>’id, hal. 72.
[44]Ibid.
[45]al-Zarqa>, Sharh al-Qawa>’id, hal. 144.
[47]Alasan
pemilihan pada dua objek tersebut karena kebetulan pemakalah sempat
ditanya oleh pelaku (yang bernama Basuki) yang berasal dari daerah
Wonosalam Jombang . Fakta di lapangan masih banyak objek selain dua
objek di atas.
[48]Hasil wawancara dengan Ahmad Basuki pada Mei 2010 di Jombang.
[49]Imam Muslim, al-Ja>mi’ al-S{ahi>h li al-Muslim, (Maktabah Shamelah), No. Indeks 4061 dalam bab al-Muasa>qa>t, jilid V, hal. 29.
[50]Imam al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ al-S{ahi>h li al-Bukha>ri>, (Maktabah Shamelah),No. Indeks 2085 dalam bab al-Bay’, jilid II, hal. 766.
[51]Sulaiman al-Bujayrami>, Ha>shiyah al-Bujayrami>, (Maktabah Shamelah), jilid II, hal. 178.
[54]Sulayman al-Jarhazi, al-Mawa>hib al-Saniyyah, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1997), hal. 289.
[55]Ima>d Ali Jum’ah, al-Qawa>’id, hal. 71.
[56]Abd al-Rahma>n bin Na>s}ir al-Sa’adi>, Sharh Naz}m al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah, (Maktabah Shamelah), hal.81.
[57] Ibnu al-Qayyim, I’la>m al-Muwaqqi’i>n, (Maktabah Shamelah, tt), jilid III, hal. 135.
[58]Ta>j al-Di>n Abd al-Wahha>b al-Subki>, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>ir, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1991), jilid II, hal. 90
[59]Sha>lih bin Muhammad al-Asmari>, Majmu>’ah al-Fawa>’id al-Bahiyah ‘ala> mandhumat al-Qawa>’id al-Bahiyyah, (Surabaya: al-Hidayah, 2000), hal. 80.
Post a Comment