Perdebatan Dasar
Hukum Amaliah Nishfu Sya’ban
(Moh.
Dliya’ul Chaq)
Perdebatan
mengenai amaliah nishfu Sya’ban dikalangan ulama’ tidak menemukan titik temu. Berbagai
pendapat muncul di kalangan ulama’:
1. Sebagian
menyatakan bahwa amaliah itu memiliki dasar yang jelas dari hadits, sehingga
boleh bahkan dianjurkan untuk dilaksanakan.
2. Sebagian
menyatakan bahwa amaliah tersebut tidak berdasar dari hadits ataupun qur’an
secara tegas tetapi boleh untuk melakukannya sebab bulan Sya’ban adalah bulan
istimewa
3. Sebagian
menyatakan bahwa amaliah tersebut tidak memiliki dasar dari hadits maupun
al-Qur’an sehingga amaliah ini tergolong bid’ah yang dilarang oleh agama.
Golongan
yang tidak memperbolehkan amaliah nishfu Sya’ban cenderung menetapkan segala hukum
harus berdasarkan pada al-Qur’an atau hadits yang secara tegas menerangkan amaliah
ibadah tersebut. Amaliah ibadah yang tidak pernah diungkapkan atau dilakukan
oleh rasulullah saw tidak boleh dilakukan karena tergolong bid’ah.
Sementara
golongan yang memperbolehkan / menganjurkan amaliah nishfu Sya’ban lebih
cenderung menetapkan hukum berdasarkan al-qur’an, hadits, factor pendorong lain
yang memungkinkan amaliah ibadah dilaksanakan serta malakukan interpretasi
terhadap syariah. Sehingga amaliah ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah menurut golongan ini dapat dilaksanakan asalkan memiliki dalil
pendukung dari qur’an maupun hadits baik secara langsung maupun tidak langsung
selama masih dalam koridor tidak menyalahi syariah / nash yang lain yang lebih
spesifik melarangnya.
Model
berfikir para ulama’ Islam seperti ini sudah ada sejak masa Sahabat Rasulullah
saw pasca rasulullah saw wafat. Sayyidina Umar bin Khattab sering menetapkan hokum
yang secara eksplisit terlihat bertentangan dengan nash qur’an maupun hadits
namun ketetapan hukumnya memiliki dasar lain, atau bahkan hanya bersandar pada
mashlahat ummat. Berlanjut pada masa itu, terdapat dua golongan yakni ahli
hadits (ulama’ daerah hijaz) dan ahli ra’yu (ulama’ daerah jauh dari Hijaz,
misalnya Iraq). Ahli hadits cenderung menetapkan hokum selalu berdasar hadits,
sementara ahli ra’yu cenderung lebih pada penggunaan nalar yang dipadukan
dengan nash (qur’an / hadits).
Melihat
fenomena seperti ini, masyarakat muslim seharusnya tidak perlu untuk menghukumi
kelompok muslim lain yang berbeda pandanganya. Hal ini karena sebenarnya
sama-sama memiliki dasar. Selain itu, kontruksi pengetahuan yang dimiliki
seseorang tentunya dipengaruhi oleh informasi ilmu yang diperolehnya ketika
belajar. Maka, ketika informasi ilmu yang diperolehnya berasal dari golongan A,
maka pasti akan berbeda dengan orang yang golongan B. Transmisi keilmuan yang
berbeda pastinya akan membentuk pola pikir yang berbeda juga. Maka tidaklah
salah berbeda menurut agama Islam. Dalam salah satu kaidah dijelaskan bahwa
apapun hasil ijtihad (mengerahkan kemampuan berfikir untuk menemukan sesuatu)
tidaklah boleh disalahkan dengan ijtihad yang lain. Bahkan dalam sebuah hadits,
ijtihad hakim jika benar akan mendapat dua pahala, sedangkan jika salah tetap
akan mendapat pahala walaupun cuma satu pahala. Dalam al-Qur’an juga ditegaskan
bahwa manusia diciptakan Allah memang berbeda-beda. Artinya, perbedaan adalah
sunnatulloh yang tidak mungkin dihindari. Yang salah adalah
berselisih/bertengkar sampai menuduh kafir terhadap muslim lainnya.
Terkait
masalah amaliah ibadah nishfu Sya’ban, golongan yang memperbolehkan dan
golongan yang menganjurkan diantaranya adalah Imam al-Ghazali, Ibnu Taymiyah,
Imam Syafi’I, dan lain sebagainya. Dasar yang digunakan oleh golongan ini
adalah beberapa hadits:
1.
Diriwayatkan dari Siti A’isyah ra berkata, “Suatu malam
rasulullah salat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka
bahwa Rasulullah telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau
dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: “Hai
A’isyah engkau tidak dapat bagian?”. Lalu aku menjawab: “Tidak ya Rasulullah,
aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena
engkau bersujud begitu lama”. Lalu beliau bertanya: “Tahukah engkau, malam apa
sekarang ini”. “Rasulullah yang lebih tahu”, jawabku. “Malam ini adalah malam
nisfu Sya’ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Ia memaafkan
mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih
sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki” (H.R. Baihaqi)
2.
Diriwayatkan dari Siti Aisyah ra bercerita bahwa pada
suatu malam ia kehilangan Rasulullah SAW. Ia lalu mencari dan akhirnya
menemukan beliau di Baqi’ sedang menengadahkan wajahnya ke langit. Beliau
berkata: “Sesungguhnya Allah Azza Wajalla turun ke langit dunia pada malam
nishfu Sya’ban dan mengampuni (dosa) yang banyaknya melebihi jumlah bulu domba
Bani Kalb.” (HR Turmudzi, Ibnu Majah, Musnad Imam Ahmad hadits no.24825)
3.
Rasulullah saw bersabda,: “Allah mengawasi dan memandang
hamba hamba Nya di malam nisfu sya’ban, lalu mengampuni dosa dosa mereka
semuanya kecuali musyrik dan orang yg pemarah pada sesama muslimin” (Shahih Ibn
Hibban hadits no.5755)
4.
Diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari RA bahwa Rasulullah
SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah pada malam nishfu Sya’ban mengawasi seluruh
mahluk-Nya dan mengampuni semuanya kecuali orang musyrik atau orang yang
bermusuhan.” (Sunan Ibn Majah 1:445; Al-Targhib 2:118; Musnad Ahmad 2:368,
h.6604)
5.
Nabi bersabda: Tatkala datang malam Nisfu Sya’ban Allah
memberikan ampunanNya kepada penghuni bumi, kecuali bagi orang syirik (musyrik)
dan berpaling dariNya (HR Ahmad).
6.
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib KW bahwa Rasulullah
SAW bersabda: “Jika malam nishfu Sya’ban tiba, maka salatlah di malam hari, dan
berpuasalah di siang harinya, karena sesungguhnya pada malam itu, setelah
matahari terbenam, Allah turun ke langit dunia dan berkata, Adakah yang
beristighfar kepada Ku, lalu Aku mengampuninya, Adakah yang memohon rezeki,
lalu Aku memberinya rezeki , adakah yang tertimpa bala’, lalu Aku
menyelamatkannya, demikian seterusnya hingga terbitnya fajar.” (HR Ibnu Majah)
7.
Diriwayatkan dari Abu Umamah al Bahili, Bersabda
Rasulullah SAW : Lima malam yang tidak akan ditolak doa didalamnya, Malam
pertama bulan Rajab, malam Nisfu Sya'ban, Malam Jumat, Malam Idul Fitri dan
Malam Idul Adha. (Hadits Marfu' dalam Tarikh Dimasyqi Ibn Asakir)
عَنْ أَبِي
أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسُ لَيَالٍ لا تُرَدُّ
فِيهِنَّ الدَّعْوَةُ : أَوَلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ
، وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، وَلَيْلَةُ الْجُمُعَةِ ، وَلَيْلَةُ الْفِطْرِ ، وَلَيْلَةُ النَّحْرِ
8.
Rasulullah Saw bersabda, :”Apabila sudah datang malam
Nisfu Sya’ban, maka berdirilah untuk salat di malam harinya dan berpuasalah
pada siang harinya, karena Allah swt turun ke langit dunia pada Nisfu Sya’ban
sampai tenggelam matahari pada hari itu. Ia berfirman: Siapakah yang memohon
ampunan untuk aku ampuni, siapa yang memohon rezeki untuk aku beri, siapa yang
mendapat musibat untuk aku sembuhkan, dan seterusnya, sampai terbit fajar”.
(Sunan Ibn Majah, tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, 1: 444, nomor hadis 1388;
Al-Targhib 2:119; Taj al-Jami’ al-Ushul 2:93)
9.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda “Bulan Sya’ban itu
bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan
bulan Ramadan. Ia adalah bulan diangkatnya amal-amal oleh Tuhan. Aku
menginginkan saat diangkat amalku aku dalam keadaan sedang berpuasa (HR Nasa’I
dari Usamah).
10.
Ibn Ishak meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa pernah
Rasulullah memanggil isterinya, Aisyah dan memberitahukan tentang Nisfu
Sya’ban. “Wahai Humaira, apa yang engkau perbuat malam ini? Malam ini adalah
malam di mana Allah yang Maha Agung memberikan pembebasan dari api neraka bagi
semua hambanya, kecuali enam kelompok manusia”.
11.
Dari Ummu Salamah: Aku tidak melihat Nabi saw berpuasa
dua bulan terus menerus kecuali Sya’ban dan Ramadhan (Al-Taj al-Jami’ al-Ushul
2:93)
12.
Dari “Aisyah: Aku tidak melihat Rasulullah saw
menyempurnakan puasanya sampai sebulan kecuali di bulajn Ramadhan, dan aku
tidak melihatnya paling banyak berpuasa kecuali di bulan Sya’ban (Al-Taj
al-Jami’ al-Ushul 2:93)
13.
Nabi saw bersabda: Apabila datang malam Nisfu Sya’ban,
salatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya (Sunan Ibn Majah
1:444)
14.
Nabi saw bersabda: Siapa yang berpuasa pada hari Nisfu
Sya’ban, ia memperoleh pahala seperti berpuasa dua tahun: tahun yang lalu dan
tahun yang akan datang (Kanz al-‘Ummal 14:178, h. 38293)
15.
Sehubungan dengan hal itu Imam Bukhari dan Muslim
meriwayatkan pengakuan Aisyah ra.” lam yakunin Nabiyi sha mim yashumu aksara
min sya’baana finnahu kaana yashumuhu kulluhu kaana yashumuhu illa qalilan.
Maksud Aisyah dalam periwayatan ini bahwa Nabi Muhammad SAW paling banyak
berpuasa pada bulan Sya’ban.
Dari
beberapa hadits terkait keistimewaan bulan sya’ban serta hadits yang secara
tegas menyatakan nishfu sya’ban, beberapa ulama’ berpendapat bahwa nishfu sya’ban
dengan mengamalkan beberapa amaliah ibadah diperbolehkan, di antara beberapa
pendapat ulama’-ulama’ tersebut adalah:
1. Syaikh‘Abdul
Qadir al-Jailaniy berkata, “Malam Nishfu Sya’ban adalah malam yang paling mulia
setelah Lailatul Qodr.” (Kalaam Habiib ‘Alwiy bin Syahaab)
2. Berkata Imam
Syafii rahimahullah : “Doa mustajab adalah pada 5 malam, yaitu malam jumat,
malam idul Adha, malam Idul Fitri, malam pertama bulan rajab, dan malam nisfu
sya’ban” (Sunan Al Kubra Imam Baihaqiy juz 3 hal 319).
3. Dalam al-Fawaaidul Mukhtaaroh Diceritakan bahwa Ibnu
Abiy as-Shoif al-Yamaniy berkata, “Sesungguhnya bulan Sya’ban adalah bulan
sholawat kepada Nabi saw, karena ayat Innallaaha wa malaaikatahuu yushalluuna
‘alan Nabi … diturunkan pada bulan itu. (Lihat Kitab Ma Dza Fiy Sya’ban)
4. Imam Ghazali dalam
Ihya’ Ulumuddin mengistilahkan malam Nisfu Sya’ban sebagai malam yang penuh
dengan syafaat (pertolongan). Menurut al-Ghazali, pada malam ke-13 bulan
Sya’ban Allah SWT memberikan seperti tiga syafaat kepada hambanya. Sedangkan
pada malam ke-14, seluruh syafaat itu diberikan secara penuh. Dengan demikian,
pada malam ke-15, umat Islam dapat memiliki banyak sekali kebaikan sebagai
penutup catatan amalnya selama satu tahun. Karena pada malam ke-15 bulan
Sya’ban inilah, catatan perbuatan manusia penghuni bumi akan dinaikkan ke
hadapan Allah SWT.
5. Ibnu Taimiyyah
menghidupkan Nishfu Sya’ban dengan amalan khusus. Ibnu Taimiyah, (Ulama Besar
yang selalu menjadi rujukannya wahabi/salafy) mengkhususkan amalan sholat pada
nishfu Sya’ban dan memujinya: Dalam karyanya Majmu’ Fatawa pada jilid 24
halaman 131 mengenai amalan Nishfu Sya’ban sebagai berikut: “Apabila seorang
itu menunaikan sholat pada malam Nishfu Sya’ban secara individu atau berjamaah
secara khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebilangan masyarakat Islam maka
hal itu adalah Baik”. Pada halaman 132 di kitab yang sama itu, Ibnu Taimiyyah
mengakui adanya hadits yang mengkhususkan untuk ibadah sholat malam Nishfu
Sya’ban, “(Berkenaan malam Nishfu Sya’ban) maka telah diriwayatkan mengenai
kemuliaan dan kelebihan Nishfu Sya’ban dengan hadits-hadits dan atsar, di
nukilkan dari golongan Salaf (orang-orang dahulu) bahwa mereka menunaikan
sholat khusus pada malam Nishfu Sya’ban, sholatnya seseorang pada malam itu
secara perseorangan sebenarnya telah dilakukan oleh ulama Salaf dan dalam perkara
tersebut terdapat hujjah/dalil maka jangan di-ingkari, manakala sholat secara
jama’ah (pada malam nishfu sya’ban) adalah dibina atas hujah/ dalil kaedah pada
berkumpulnya manusia dalam melakukan amalan ketaatan dan ibadat”. Sedangkan dalam
karyanya Iqtido’ As-sirot Al-Mustaqim pada halaman 266 beliau mengatakan, “(Malam
Nishfu Sya’ban) telah diriwayatkan mengenai kemuliaannya dari hadits-hadits
Nabi dan pada kenyataan para sahabat telah menjelaskan bahwa itu adalah malam
yang mulia dan dikalangan ulama As-Salaf yang meng- khususkan malam Nishfu
Sya’ban dengan melakukan sholat khusus padanya dan berpuasa bulan Sya’ban, ada
pula hadits yang shohih. Ada dikalangan Salaf (orang yang terdahulu), sebagian
dari ahli Madinah dan selain mereka sebagian dikalangan Khalaf (orang
belakangan) yang mengingkari kemuliannya dan menyanggah hadits-hadits yang
diriwayatkan padanya seperti hadits: ‘Sesungguhnya Allah swt. mengampuni
padanya lebih banyak dari bilangan bulu kambing bani kalb’. Akan tetapi disisi kebanyakan
ulama ahli Ilmu atau kebanyakan ulama Madzhab kami dan ulama lain adalah
memuliakan malam Nishfu Sya’ban, dan yang demikian adalah kenyataan Imam Ahmad
bin Hanbal dari ulama Salaf, karena cukup banyak hadits yang menyatakan
mengenai kemuliaan Nishfu Sya’ban, begitu juga hal ini benar dari kenyataan dan
kesan-kesan ulama As-Salaf, dan telah dinyatakan kemuliaan Nishfu Sya’ban dalam
banyak kitab hadits Musnad dan Sunan”.
6. Al-Qasthalani
dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan bahwa
para tabi’in di negeri Syam seperti Khalid bin Mi’dan dan Makhul telah berjuhud
(mengkhususkan beribadah) pada malam nishfu sya’ban. Maka dari mereka berdua
orang-orang mengambil panutan. Selanjutnya Al-Qasthalany berkata perbedaan
pendapat para ulama Syam hanya dalam bentuk cara ibadah pada malam nishfu
Sya’ban. Ada yang mengamalkan dimasjid secara berjama’ah yaitu pendapat Khalid
bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir dan disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih. Ada lagi
yang mengamalkan sendiri-sendiri dirumah atau ditempat lainnya, pendapat ini
disetujui oleh Al-Auza’i dan para ulama Syam umumnya.
7. Dr Wahbah
al-Zuhaily menulis dalam Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, menulis, “Disunnahkan
menghidupkan dua malam hari raya (Idul Fithri dan Idul Adhha) serta malam-malam
sepeuluh terakhir di bulan Ramadhan untuk Laylatul Qadr, sepuluh malam Dzul
Hijjah, malam Nisfu Sya’ban dengan melakukan ibadah seluruh malam atau sebagain
besar malam itu, berdasarkan hadis-hadis yang shahih yang menetapkannya”
(Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh 2:47).
Bersambung....
Post a Comment