Jangan di Klik

AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH AL-NAHDLIYYAH SEBAGAI SUBTANSI PENDIDIKAN TOLERANSI DI INDONESIA


AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH AL-NAHDLIYYAH
SEBAGAI SUBTANSI PENDIDIKAN TOLERANSI DI INDONESIA*[1]
Oleh Moh. Dliya’ul Chaq
Mukaddimah
Secara historis NU memiliki kontribusi yang sangat besar dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. NU telah mewarnai sejarah pergerakan bangsa Indonesia semenjak awal kemerdekaan Indonesia hingga dekade akhir-akhir ini. Dan salah satu aspek penting dalam kontribusi NU tersebut adalah bagaimana NU dengan konsepsi tentang Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sebagai sesuatu yang final bagi bangsa Indonesia. Dan yang lebih penting adalah NU dengan konsepsinya tentang  Pancasila telah mengarahkan pergerakannya untuk menjadi civil religion atau masyarakat madani.
Saat ini, Islam di dunia mulai mengalami gejolak keberagamaan yang berakibat pada terkontruksinya pandangan bahwa Islam adalah agama yang kaku, keras, radikal dan bahkan tergolong agama yang melahirkan teroris. Hal ini karena banyak Islam di wilayah Timur Tengah pada umumnya yang cenderung memperlihatkan varian keberagamaan yang kaku, intoleran, dan eksklusif. Di Arab Saudi, misalnya, wajah Islam lebih banyak menampilkan wataknya yang intoleran terhadap budaya-budaya lokal dan atau internasional, sehingga ikon-ikon sejarah dan budaya di Negara tersebut dihancurkan oleh rezim agama yang berkolaborasi dengan pemerintah (Wahabisme). Berbeda dengan dengan Islam Indonesia yang telah dikenal luas di kalangan masyarakat internasional sebagai varian keberaagamaan yang ramah, toleran, dan inklusif. Hal ini tidak lepas dari campur tangan NU yang oleh founding father-nya dikonstruksi sebagai sebuah varian keberagamaan yang ramah terhadap budaya, terbiasa dengan perbedaan pandangan, dan tidak mengedepankan pendekatan legal-formal melainkan lebih mengedepankan reseptifitas dan adaptasi terhadap nilai-nilai lokal keindonesiaan. Namun demikian, watak islam yang beradab, ramah, toleran dan inklusif serta menerima perbedaan ini mulai memudar di Indonesia. Bahkan di kalangan Nahdliyin. Asumsi yang teramati bahwa hal ini dikarenakan akibat virus-virus radikalisme dan liberalisme mulai menyebar di dunia pendidikan di Indonesia, termasuk di NU bahkan di pesantren.

ASWAJA NU dan Khittah
Nahdlatul Ulama disingkat NU, didirikan di Surabaya pada tanggal 16 rajab 1344 H. bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M. Latar belakang kelahiran NU tidak lepas dari (1) kondisi politik internasional dunia Islam dan (2) perkembangan pemikiran keagamaan. Munculnya Komite Hijaz merupakan cikal bakal lahirnya NU. Komite Hijaz melalui utusannya KH. A. Wahab Hasbullah menemui Raja Saudi (Abdul Aziz bin Saud) untuk menjamin kebebasan beramaliah dalam madzhab empat menuai hasil gemilang. Sepulang dari Saudi inilah NU berdiri yang semula KH. A. Wahab Hasbullah berkeinginan untuk membubarkan Komite Hijaz karena tugasnya selesai, malah diperintah KH. Hasyim Asyari untuk melakukan tugas baru yakni membentuk Jamiyyah NU.
Dari Qanun Asasi (pidato KH. Hasyim Asyari pada pendirian NU), AD-ART NU, Munas Alim Ulama’ 1983 (Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam) dan Khittah NU (keputusan muktamar Situbondo 1984) dapat disimpulkan beberapa pokok pikiran dasar ASWAJA NU:
1.      Paham Keagamaan NU
a.    Sumber ajarannya adalah al-Quran, hadits, Ijma’ dan qiyas.
b.    Mengikuti faham ahlusunnah wal jamaah dengan menggunakan jalan (madzhab):
-        Bidang Fiqih: Bermadzhab pada salah satu empat madzhab.
-        Bidang Aqidah: Bermadzhab pada Abu al-Hasan al-Asyari dan Abu Mansur al-Maturidi
-        Bidang Tasawuf: Bermadzhab Imam Junaid al-Baghdadi, Imam al-Ghazali dan imam lainnya.


2.      Sikap Kemasyarakatan NU
Menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan:
-     Tawasuth wa I’tidal (Moderat dan berpijak pada Sikap adil sehingga menghindar dari sikap tatharruf (ekstrim)
-     Tasamuh (Toleran terhadap kemajemukan)
-     Tawazun (seimbang dalam sikap hubungan dengan masyarakat dan dengan Allah)
-     Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Peka untuk berbuat baik dan menolak segala bentuk hal yang merendahkan kehidupan)

3.      Pandangan NU Tentang Bernegara dan Berbangsa
a.   Menjunjung Tinggi pancasila dan UUD 1945
b.   Menunjunjung Tinggi Tasamuh (Toleran) dan Ukhuwwah dalam hidup berdampingan dengan sesama muslim atau yang beragama lain (pluralitas) untuk mewujudkan persatuan bangsa
Ukhuwah menurut NU: Ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan sesame muslim), Ukhuwwah Wtahniyyah (persaudaraan atas ikatan kebangsaan dan kenegaraan), dan ukhuwwah Basyariyah (persaudaraan atas dasar rasa kemanusiaan).
c.   Tidak terkat dengan organisasi politik manapun
d.   Pancasila adalah prinsip fundamental namun bukan agama dan tidak bias menggantikan agama
e.   Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid menurut penegertian keimanan dalam Islam.
f.    Penerimaan dan Pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan kewajiban agamanya.
g.   NU wajib mengamankan pengertian yang benar tentang pancasila

Penerapan Faham ASWAJA NU
Indonesia, sebagai negara yang menggunakan pilar agama sebagai landasan perjuangan dan cita-cita bangsa sebagaimana tertuang di dalam pembukaan UUD 45 yaitu ”atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, maka sesungguhnya agama dan negara  memiliki relasi dalam coraknya  yang simbiosis. Tujuannya adalah menciptakan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, permusyawaratan serta keadilan social sehingga menjamin warga negara dapat hidup sejahtera dan dapat menjalankan ibadah sesuai agamanya masing-masing.
NU dikenal sebagai organisasi yang toleran dan ramah serta menghormati perbedaan. Dalam faham keagamaannya baik di bidang aqidah, tasawuf maupun fiqih, NU cenderung tidak memilih pada satu faham melainkan berusaha untuk mengakomodir beberapa faham yang diyakini memiliki kebenaran secara ilmiah.
Dalam faham berkebangsaan dan bernegara, NU menjunjung tinggi pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar Negara melalui doktrin tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), i‘tidal (moderat), amar ma’ruf nahi munkar dan semangat ukhuwwah, baik ukhuwwah islamiyah, ukhuwwah wthaniyyah dan ukhuwah basyariyah. Bagi NU, Pancasila adalah harga mati. Oleh karenanya, NU dikenal sebagai organisasi yang toleran dan bahkan mampu menyelesaikan permasalahan bangsa.
Strategi implementasi faham Aswaja NU yang bermuatan norma praktis dalam kondisi pluralitas agama dan masyarakat, bisa mencontoh kebijakan Rasulullah Saw ketika mensinergikan masyarakat lintas agama melalui Piagam Madinah (watsiqah Madinah). Komunitas ahlu al-kitab tetap diberi kebebasan mengamalkan ajaran agama masing-masing, tetapi dalam kepentingan kebersamaan seperti bela negara dan menjaga stabilitas wilayah berlaku ikatan kesamaan kewajiban. Prinsip kerukunan antar umat beragama dikondisikan dengan baik.
Namun demikian, demokratisasi seringkali memunculkan suasana konfliktual antara masyarakat, agama dan negara. Hubungan antara agama dan Negara menajdi poros inti timbulnya konflik, baik konflik pemikiran atau bahkan konflik fisik. Kekhawatiran terkoyak-koyaknya bangsa sama sekali bukan hal yang mustahil. Fenomena yang berkembang memperlihatkan kemungkinan tersebut. Namun jika ditelaah lebih lanjut, bahwa faktor utamanya adalah perbedaan keberagamaan (bukan agama), antara keberagamaan formalistik kaku yang mengabaikan nilai-nilai moral agama dan keberagamaan yang lebih menitikberatkan nilai-nilai universal agama dalam kehidupan.
Fenomena bernegara dan beragama di Indonesia seharusnya mengedepankan semangat persatuan dan kedamaian mengingat di Indonesia terdapat pluralitas masyarakat dan agama. Dalam kondisi yang demikia, pola bernegara dan beragama ala ASWAJA NU sangat efektif dan efisien. Terbukti bahwa NU sampai detik ini tidak pernah menjadi masalah di Negara RI. Bahkan, dalam keadaan tertentu NU malah menjadi jalan keluar bagi bangsa Indonesia.
Oleh karenanya, upaya NU dalam menciptakan kehidupan beragama berjalan bersama proses transformasi social dengan garis perjuangan Islam kultural. Dalam masyarakatnya yang majemuk, maka agama mendapat tempat untuk diekspresikan dalam bentuk simbol-simbol yang tidak formal. Ia  diekspressikan dalam wujudnya yang substansial.

Kontruksi Pendidikan ASWAJA NU: Sebuah Usulan
Tujuan Negara adalah menciptakan keteraturan hidup. Bagaimanapun tujuan mulia itu tidak akan mungkin tercapai jika pengetahuan masyarakat tentang agama dan Negara minim. Kondisi di Indonesia, bahkan di Negara Muslim lainnya gejolak kekerasan fisik atas nama agama telah menelan banyak korban. Intoleransi merupakan sumber kekerasan fisik. Pemahaman agama yang kaku telah menimbulkan intoleransi itu.
Kontruksi faham ASWAJA NU berupa sikap Tasamuh (Toleran), Tawazun, I’tidal, semangat Ukhuwwah, keterbukaan terhadap faham (madzhab), dan bahtsul masail telah menunjukkan bahwa agama diekspressikan dalam wujudnya yang substansial. Konsep ini dipastikan mampu mengajarkan bahwa kesadaran diri dan rumusan cita-cita manusia harus diperoleh dengan cara yang beradab, inklusif, dan pluralis, bukan komunal, sektarian dan eksklusif. Dengan faham seperti ini, Islam yang ramah, Indonesia yang santun dan Indonesia yang Islam akan terus menempel sebagai identitasnya.
Faham seperti ini sudah seharusnya diikuti oleh pemerintah dengan menanamkan faham NU sejak dini. Betapapun pendidikan NU distigmakan kumuh dan tak terurus / asal-asalan, namun hasilnya telah nyata-nyata telah membentuk manusia yang sempurna. Dalam praktek pendidikan model pesantren, NU memosisikan anak didik sebagai subjek yang mencari pengetahuan dan membentuk dirinya melalui kreasi dan potensi intelegensinya. Santri tidak ditempatkan sebagai tabungan pengetahuan/teknologi yang hanya menjadi lintasan transfer pengetahuan, melainkan sebagai aktor yang senantiasa berproses secara kognitif, afektif, atau psikomotorik menuju insan kamil yang diidealkan oleh ajaran Islam sehingga akan mampu menempatkan fitrah manusia sebagai makhluk dan bagian dari masyarakat yang peka budaya dan memahami kehadirannya sebagai khalifah Tuhan. Pendidikan seperti layak disebut high education  yang akan melahirkan sosok manusia yang mempunyai komitmen social tinggi. Dengan pengalaman bahtsul masail, para santri telah terbiasa dengan perbedaan pendapat yang tetap mempertahankan sikap menghormati. Kebiasaan ritual di pesantren akan menanamkan wilayah afektif yang sangat mengutamakan 'makna batin'. Santri juga memiliki kepekaan dan tanggung jawab yang tinggi terhadap segala aktifitas pribadi dan masyarakatnya.
Menjadikan faham aswaja al-Nahdliyyah sebagai tujuan pendidikan adalah hal yang luar biasa dalam dunia pendidikan. Sebab mengimplementasikan ajaran dan faham NU sama halnya dengan mewujudkan Islam yang beradab, ramah, toleran, inklusif, reseptif, adaptif dan menghormati perbedaan serta Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin.
Wallohu A’lam Bishshowab. Infa’ wa barik Ulumana….


[1]*Makalah disusun oleh Moh. Dliya’ul Chaq (Dosen IAIBAFA Jombang) dan disampaikan pada forum pelatihan kader di kampus IAIBAFA pada Ahad, 9 November 2014. Makalah ini dipublikasikan penulis di
http://eksplorasiilmupengetahuan.blogspot.com/2014/11/ahlusunnah-wal-jamaah-al-nahdliyyah.html
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. EKSPLORIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger