Maulid Nabi (Tidak Semua Yang Bershalawat Akan Mendapat Syafaat)
Khutbah Jum’at Oleh KH. A. Musta’in Syafi’i
Ada dua kalam yang pembacaannya dianggap berpahala. Pertama, kalaamulloh Al Quran Al Karim sebagai kalam yang literat. Al Muta’abbadu bitilawatih, siapapun yang membaca Al Qur’an tanpa ngerti maksudnya maka pembacaan itu sudah dihitung ibadah. Dibawah itu (kedua) adalah pembacaan sholawat kepada hadroturrosul Nabiyulloh Muhammad ahollallohu’alaihi wasallam. Tidak perlu mengerti detail maknanya. Tidak perlu mengerti arti secara harfiah dari bahasa Arab sholawat itu. Cukup mengreti bahwa dia sedang membaca sholawat. Sedang showan kehadirat Rosululloh dengan mengedepankan, menyajikan sholawat dan salam. Maka cukuplah itu dianggap membaca sholawat yang berpahala.
Saya yakin bahwa tidak semua orang-orang yang membaca sholawat, seperti kawan-kawan ISHARI (Ikatan Hadroh) mengerti artine kabeh, saya gak yakin. Sama dengan orang yang baca diba’ yang bahasanya sulit, berbahasa saatra. Saya yakin, tidak semua ngerti artine. Opo atfatayyaji rotal ‘lamin iku opo? Mungkin anda tidak mengerti tapi anda tahu kalau anda sedang membaca sholawat. Itu cukup sebagai pembacaan yang dihitung berpahala.
Terkait dengan hari ini sebagai maulidirrosul Nabiyyulloh Muhammad shollallohhu’alayhi wasallam. Ada catatan yang musti direnungkan. Belum pernah Alloh Subhanahu Wata’ala memerintahkan syariat apapun yang didahului dengan keteladanan. Dengan memberikan contoh diriNya sendiri selain perintah membaca sholawat.
Ketika Alloh memerintahkan manusia agar berzakat, atau sholat, haji dan lain-lain, tidak ada pernyataan bahwa Alloh melakukan itu. Namun, begitu memerintahkan membaca sholawat kepada Nabi maka Alloh mencontohkan diriNya sendiri. Apalagi pernyataan itu dilafalkan dengan bahasa yang sangat serius “innalloha wamalaikatahu yusholluuna ‘alnnabi”. Sesungguhnya Alloh dan para malaikat aktif lebih dahulu membaca sholawat kepada nabi. Setelah Alloh memberi teladan baru memerintahkan kepada kita “Yaa ayyuhalladziina amanu shollu ‘alaihi”.
Dari sisi dimensi takbir banyak yang bisa kita ungkap pada ayat ini. Itu artinya kalau kita mau membaca sholawat kepada Hadroturrosul Rosul maka ada etika, ada tata akhlaq dan ada kesopanan. Tata etik ini diperankan sendiri oleh Alloh beserta para malaikat. Alloh sudah membuat contoh, “Ngenelo carane moco sholawat.”
Siapapun tau bahwa Alloh itu Maha Sempurna. Bisa diterka bagaimana etika Alloh saat membaca sholawat kepada Hadroturrosul? Jawabannya, pasti dengan cara yang sangat sopan dan sangat bagus karena Alloh Maha Indah, Maha Berahlaq.
Itu artinya awa’e dewe lek moco sholawat yo nyonto ahlake gusti Alloh. Ketika Alloh itu bersholawat kepada nabi, apa penghormatan Alloh kepada Nabi? Tidak pernah Alloh itu memanggil Nabi Muhammad dengan menyebut nama aslinya. Di Al Qur’an iku gak ono”Ya Muhammad!” Pasti dipanggil dengan gelarnya “Ya ayyuhanNabi, ya ayyuharRosul !”.
Dari segi ini maka penghormatan kepada hadirat beliau itu mutlak barangkali hanya mulut-mulut yang fasik saja, jiwa-jiwa yang tidak bersih saja yang tega menyebut nama Nabi secara njangkat dengan cara mentah-mentah. Lalu diatur kalau memanggil Hadroturrosul maka tidak sama dengan memanggil antar sesama kawan.
Tolong, bagi orang-orang yang membaca sholawat kepada Rosul dengan iringan musik, terbang, dengan iringan apapun. Tidak ada agama itu melarang musik. Tapi tolong kalau sudah membaca sholawat beriringan musik maka bagi pembaca itu yang wajib dikedepankan adalah nilai khudurnya, nilai hadroh, nilai dihadapan rosululloh. Bukan nilai musiknya.! Sehingga orang kalau rumongso membaca sholawat, seakan-akan ada dihadapan Rosul. Jangan cengengesan!, gak sempat senyum-senyum.
Apapun group musiknya mengatas namakan kiyai sopoae. Kalau nampak membaca sholawat kok masih lebih dominan musiknya daripada nilai khudurnya, cengengesannya masih ada, berarti dia hanya tampil dengan bermusik belum bersholawat secara haqiqi seperti yang dicontohkan oleh Alloh subhanahu wata’ala.
Bisa saya buatkan sebuah analog. Kalau sampean bicara dihadapan kiyai, sedang nelpon kiyai, apakah anda berbicara dengan cengengesan?, apakah anda berbicara dengan senyum-senyum? Jawabannya tentu tidak. Pasti bicara dengan sopan.
Oleh karena itu para ulama’ menggubah kata-kata dalam sholawat itu ada dua. Pertama, sholawat yang digubah dengan bahasa nasab. Selanjutnya ada sholawat yang digubah dengan bahasa saja’ atau qosidah. Sholawat yang tidak dirancang untuk dilagukan, maka pasti kalau dilagukan itu akan rusak. Begitu pula dengan sholawat yang digubah dengan saja’ pelaguan, memang sudah ada patokannya sendiri.
Kita ambil contonh sholawat yang digubah dirancang untuk qosidah maka semua akan pas sesuai karena memang dirancang seperti itu. Sholawat “Burdah” dengan lagunya yang bagus huwalkhabibulladzi turja syafa’atuhu panjang pendeknya pasti tepat dan pas. Sedangkan sholawat yang oleh pengarangnya sengaja digubah bukan untuk dilagukan bukan untuk syair. Seperti sholawat “nariyah” allohumma sholli sholatan kaamilatan wa sallim salaman taamman digubah tidak untuk dilagukan. Jadi andaikan ada yang mau melagukan tidak akan cocok. Panjang pendeknya rusak. Untung didalam agama itu masih ada toleransi.
Untuk itu sesungguhnya dalam mimbar ini memang saya harus menyampaikan secara tegas sekaligus memberi peringatan. Bahwa belum tentu orang yang membaca sholawat dihadapan rosululloh itu mesti dijawab dengan syafa’at. Saya ingatkan sekali lagi, belum tentu orang yang membaca sholawat dihadapan Hadroturrosul itu mesti dijawab dengan sysafa’at. Barangkali karena rosul tersinggung, penyajian sholawat itu tidak etik.
Belum tentu orang yang menyajikan makanan dihadapan orang tua itu mesti dimakan. Terserah bagaimana caranya dan bahasanya. Kalau dia pakai bahasa yang sopan “mbah ini mbah, monggo dipun dahar mbah!” insya Alloh makanan yang tidak enak pun mbah ngerti “mugo-mugo dibales gusti Alloh” tapi kalau penyajiannya itu membentak “mbah ikilo mbah panganen, pangaen-pangaen!” seenak apapun makanan itu pati si mbah menolak dan tersinggung.
Dalam momen maulid ini saya sampaikan ayat yang mengerikan tentang orang-orang yang membaca sholawat atau berhubungan dengan Hadroturrosul dengan cara yang tidak baik. Seperti ditera dalam ujung suroh An Nur yang menunjukkan bahwa memanggil, berkonsultasi dengan Rosul itu harus bagus, tidak boleh terjadi tahallul yang liwadzah dan seterusnya.
Peringatan bagi orang yang membaca sholawat yang kurang etik sajiannya kurang etik dihadapan Rosululloh falyahdzat! hati-hatilah kalian antushibahum fitnah Anda bukan mendapat syafa’at tapi anda malah tertimpa fitnah. Tafsiran Ulama’ tentang fitnah salah satunya adalah sebuah kenegatifan, hambatan berbuat baik, hambatan ketaqwaan pada diri pembaca sholawat itu.
Kenapa banyak groub-groub musik membaca shoilawat, berjanzi. Tetapi kenapa para pelaku-pelaku itu, musisi-musisi itu tidak bertambah taqwa?padahal membaca sholawatnya sudah dikemas begini-begini. Jawabannya adalah ayat ini “Dia bukan mendapat syafa’at tapi malah mendapat fitnah yang menghambat prestasi taqwanya sendiri. Walaupun dipanggung beraction merem-merem.
Pait memang khutbah ini tapi kalau kita berfikir ingin sembuh maka perlu sesekali kita itu minum pil/obat. Sepait apapun. Mudah-mudahan kita besok bisa bersama Hadroturrosul Nabiyulloh Muhammad Roaululloh Shollallohu’alaihi wasallam.
Dikutib dari Khutbah Jum’at KH. A. Musta’in Syafi’i pada tanggal 26 Pebruari 2010 di Masjid Tebuireng.
Post a Comment