PEMIKIRAN
HUKUM GERAKAN ISLAM RADIKAL
Studi Atas Pemikiran Hukum dan Potensi Konflik Sosial
Keagamaan
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Jama’ah Anshorut
Tauhid (JAT)
Oleh: Moh. Dliya’ul Chaq
Artikel ini telah dipublikasikan di Jurnal Ilmiah dengan nama Jurnal Tafaqquh. Untuk Download Versi Pdf. Klik
atau lihat di link berikut: http://jurnal.iaibafa.ac.id/index.php/tafaqquh/article/view/3
Abstract
MMI dan JAT sebagai gerakan Islam radikal yang mengusung doktrin pemurnian agama, termasuk penolakan harmonisasi Islam dan
budaya merupakan fakta menarik terlebih ketika faham itu hidup di Indonesia dan
berhadapan dengan fakta keagamaan maenstream muslim Indonesia yang
mengedepankan dinamisasi ajaran Islam dengan kultur Indonesia. Melalui pendekatan sosiologi agama dengan model content analysis interactif dan dengan data kepustakaan ditemukan
hasil penelitian. Pertama, kegagalan
sistem non Islam untuk mengatasi masalah bangsa Indonesia sejak kemerdekaan
merupakan latar belakang berdirinya MMI dan JAT. Kedua, MMI dan JAT memiliki
pemikiran hukum berupa sumber hukum Islam hanyalah al-Qur’an dan hadi>th,
kewajiban menegakkan shari>’at Islam dalam bentuk negara Islam atau khila>fah
Isla>mi>yah, dan kewajiban jihad. Ketiga, pemikiran hukum tersebut
memiliki potensi konflik sosial dan kekerasan di Indonesia karena bertentangan
dengan pemikiran hukum mainstream muslim di Indonesia.
Kata Kunci: Islam radikal, Majelis
Mujahidin Indonesia, Jamaah Anshorut Tauhidm, Pemikiran Hukum.
Abstract
MMI and JAT
as a
radical
Islamic
movement
that
carries the purification
of religious
doctrine,
including
the harmonization
rejection
of Islam
and
culture are interesting
facts especially
when
ideology
was
living
in
Indonesia
and
dealing
with
the fact
mainstream
Indonesian
Muslim religious
dynamics
of Islam
that
emphasizes the
Indonesian
culture.
Sociology
approach
religion
with
models
interactive
content
analysis with
literature
data and
found
the
results of the
study. First,
the
failure of non-Islamic
system
to
overcome
the problem of the
Indonesian nation since
independence
is the
background of the
founding of MMI
and
JAT.
Second,
MMI
and
JAT
have
legal
thought in
the form of source
of Islamic
law
is
the Qur'an
and
hadi>th,
the obligations enforce
of shari>'at
Islam
in the
form of an
Islamic state or
khila>fah
Isla>mi>yah,
and
the duty
of jihad. Third,
the idea of
law has
the potential social
conflict
and
violence
in
Indonesia
as opposed
to mainstream
legal
thought muslim
in
Indonesia.
Keyword: Radical Islam,
Majelis
Mujahidin Indonesia,
Jemaah
Anshorut
Tauhid,
Legal
Thought.
Pendahuluan
Istilah fundamentalisme dan radikalisme dalam perspektif
Barat sering dikaitkan dengan sikap ekstrim, kolot, stagnasi, konservatif, anti-Barat, dan keras dalam mempertahankan
ideologi bahkan dengan kekerasan fisik. Sementara dalam perspektif Islam,
istilah tersebut berarti tadji>d (pembaharuan) berdasarkan pesan
moral al-Qur’an dan al-Sunnah.
Pasca reformasi tahun 1998 di Indonesia, banyak bermunculan
gerakan maupun pemikiran keagamaan yang memainkan peran dominan dalam
isu-isu nasional, baik yang bercorak liberal seperti Jaringan Islam Liberal
maupun bercorak radikal. Salah satu gerakan kelompok Islam Radikal Indonesia
adalah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang dideklarasikan di Yogyakarta pada
5 Agustus 2000 dan Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) yang dideklarasikan di Jakarta
pada 17 September 2008.
Kedua kelompok ini kerap dituduh sebagai dalang terorisme di Indonesia.
MMI dan JAT sebagai gerakan Islam radikal yang mengusung doktrin utama pemurnian perilaku
masyarakat pada al-Qur'an dan sunnah dengan mengharuskan penerapan shari>’at
Islam di segala bidang, dan
menjalin ukhu>wah Isla>mi>yah dengan mengharuskan pendirian dawlah
atau khila>fah Isla>mi>yah. Hal ini menjadi menarik ketika
penolakan penyerapan budaya dalam Islam yang diusung MMI dan JAT tetap hidup di
Indonesia, sementara fakta keagamaan maenstream muslim Indonesia
mengedepankan dinamisasi ajaran Islam dengan kultur Indonesia. NU misalnya
lekat dengan Islam budaya Jawa dan Muhammadiyah lekat dengan kultur alam Minangkabau
yang keduanya memiliki karakter dinamis.
Pada akhirnya, faham MMI dan JAT tersebut memiliki potensi konflik sosial, terutama berkaitan
dengan sikap dan aksi ekstrem MMI dan JAT
dengan justifikasi kafir pada kelompok yang berbeda faham dengannya. Oleh karena itu, fokus penelitian ini untuk menjawab, apa yang menjadi latar belakang
berdirinya MMI dan JAT. Bagaimana pemikiran
hukum atau keagamaan MMI dan JAT. Dan adakah potensi konflik sosial
akibat pemikiran hukum atau paham keagamaan MMI dan JAT.
Pembahasan
A. Sejarah
Kemunculan MMI dan JAT
Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI) adalah organisasi yang dideklarasikan melalui Kongres
Mujahidin I di Yogyakarta tanggal 5-7 Jumadil Ula 1421 H, bertepatan dengan
tanggal 5-7 Agustus 2000, yang melahirkan piagam Yogyakarta yang isinya:
1.
Wajib hukumnya melaksanakan shari>’at Islam bagi
umat Islam di Indonesia dan dunia pada umumnya.
2.
Menolak segala ideologi yang bertentangan dengan Islam yang
berakibat shirik dan nifa>q serta melanggar hak-hak asasi
manusia.
3.
Membangun satu kesatuan shof mujahidin yang kokoh kuat, baik
di dalam negeri, regional maupun internasional (antar bangsa).
4.
Membentuk majelis mujahidin menuju terwujudnya ima>mah
(khila>fah)/kepemimpinan umat, baik di dalam negeri maupun dalam
kesatuan umat Islam sedunia.
5.
Menyeru kaum muslimin untuk menggerakkan dakwah dan jihad di
seluruh penjuru dunia demi tegaknya Islam sebagai rah{matan li al’'a>lami>n.
Kongres
tersebut dihadiri lebih dari 1800 peserta dari 24 Propinsi di Indonesia dan
utusan luar negeri, yang mengamanatkan kepada 32 tokoh Islam Indonesia sebagai Ahlu
al-H{alli wa al-Aqdi (AHWA) untuk meneruskan misi penegakan shari>’at
melalui Majelis Mujahidin.
Di antara ormas dan orpol Islam yang hadir adalah Laskar Santri, Laskar
Jundullah, Kompi Badar, Brigade Taliban, dan Partai Keadilan. Hadir juga
tokoh-tokoh Islam seperti Deliar Noor, Abdurrahman Basalamah, Fuad Amsyari,
Mawardi Noer, Ohan Sujana, Abd. Qadir Baraja,
Muhammad Thalib, Bandan Kindarto, Asep Mausul, Abu Bakar Ba’asyir. Dan dalam
kesempatan tersebut secara aklamasi peserta memilih Abu Bakar Ba’asyir,
sebagai pemimpin tertinggi (ami>r) MMI. Adapun penasehat organisasi
adalah Deliar Noer, Muchtar Naim, Mawardi Noor, Ali Yafie, Alawi Muhammad,
Ahmad Syahirul Alim dan A. M. Saifuddin.
Keterpilihan Ba’asyir merupakan kewajaran mengingat ide pembentukan MMI memang
bermula darinya.
Abu Bakar
Ba’asyir merupakan salah satu pendiri Jama’ah Islamiyyah (JI) yang didirikannya
bersama Abdullah Sungkar di Malaysia.
Keduanya merupakan sebagian dari promotor Islam radikal di Indonesia. Keduanya
masuk ke dalam gerakan pecahan DI. Sungkar dilantik menjadi gubenur militer DI/NII
wilayah Jawa Tengah pada tahun 1967. Keduanya mendirikan Radio Dakwah Islamiah
Surakarta yang secara terbuka menyeru jihad di Jawa Tengah sehingga radio tersebut ditutup pemerintah pada tahun
1975.
Sekitar tahun 1969, keduanya dituduh membahayakan dan mengembangkan operasi DI
hingga dijebloskan ke penjara oleh Soeharto. Tidak ditemukan data yang jelas
mengenai kapan mereka dibebaskan sehingga pada 10 Maret 1972 mereka berdua bersama Yoyo Roswadi,
Abdul Qohar H. Daeng Matase dan Abdullah Baraja mendirikan Pesantren Al-Mukmin Ngruki. Pesantren inilah cikal bakal pusat
pengembangan MMI dan JAT yang pada tahun 1989 menjadi pusat tragedi berdarah
antara Pesantren dengan Tentara Nasional Indonesia karena dituduh sebagai
kelompok Mujahidin Warsidi yang menentang ideologi Pancasila.
Bulan
Februari 1977 Ba’asyir mendirikan Jemaah Mujahidin Ansharullah (JMA) sebagai
embrio gerakan JI, MMI dan JAT. Sungkar dan Ba’asyir akrab dengan Abdul Wahid
Kadungga,
yang memperkenalkan pada gerakan militan Jama‘ah Islamiyyah (Islamic Group)
pecahan dari Ikhwan al-Muslimin (IM) Mesir.
Tahun 1978,
Keduanya dipenjarakan pemerintahan Soeharto karena didakwa berhubungan dengan
Komando Jihad,
yang diketuai oleh Haji Ismail Pranoto (Hispran) untuk mencetuskan tindakan
subversi dan menuntut pelaksanaan shari>’at Islam di Indonesia. Setelah bebas tahun 1982, keduanya ditangkap lagi tahun 1983 karena dituduh menghasut
orang untuk menolak asas Pancasila dan melarang santri Ngruki melakukan upacara dan hormat bendera Indonesia karena tergolong shirik. Keduanya divonis 9 tahun penjara.
Pada 11 Februari 1985, ketika kasusnya masuk kasasi keduanya dikenai tahanan
rumah. Saat itulah keduanya melarikan diri ke
Malaysia. Dari Solo mereka menyeberang ke Malaysia melalui Medan.
Dalam perjalanannya, mereka sempat
singgah di Lampung kawasan transmigran asal Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka membentuk
kumpulan yang dinamakan Jemaah Islamiyah di daerah tersebut yang
sebelumnya telah menjadi basis gerakan DI yang kuat sejak 1970-an yang dipimpin Abdul Qadir Baraja.
Tiba di
Malaysia, keduanya menemui Abdul Wahid Kadungga untuk menguruskan tempat
tinggal bagi mereka. Sungkar dan Ba’asyir menetap di Kuala Pilah dengan
menggunakan nama samaran Abdul Halim untuk Sungkar dan Abdus Shomad untuk
Ba’asyir. Di Malaysia mereka berkumpul dengan
pemberontak Aceh dan Sulawesi yang ada hubungan dengan DI. Mereka menjadi guru mengaji di Malaysia dan mempunyai banyak pengikut di
negeri itu hingga mendirikan Jemaah
Islamiyah (JI).
Mereka tetap berhubungan dengan
rekan-rekannya di Indonesia untuk merekrut relawan perang Afghanistan termasuk melalui Gerakan
Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan mulai melatih serta mengirim ke Afghanistan dengan bantuan dana Rabit}ah
al-‘A<lam al-Islami> (Islamic World League).
Pada Tahun
1990 Sungkar dan Ba’asyir (JI) bertemu Osama bin Laden (al-Qaedah). Lalu JI
dianggap sebagai tangan kanan al-Qaedah di Asia, sehingga JI tidak hanya
bercita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia sebagaimana diimpikan oleh DI,
melainkan untuk mendirikan kekuasaan Islam di Asia Tenggara atau Dawlah
Isla>miyyah Nusantara, yang terdiri dari Malaysia, Indonesia, Brunei, Thailand
Selatan, Mindanao di Filipina, Papua dan Australia. Bahkan JI juga berniat
mendirikan Khila>fah Islami>yah
yang akan menaungi umat Islam secara keseluruhannya.
Tahun 1994 JI membuat
pusat latihannya dari Afghanistan ke Mindanao, dengan alasan biaya dan logistik
yang lebih ringan. JI juga membuka kamp latihan baru dekat kamp latihan Abu Bakar milik MILF yang
terletak antara Maguindanao dan Lanao del Sur
Filipina, yang dinamakan dengan kamp H{udaibiyah. Kamp ini lalu diserang oleh pasukan pemerintah Filipina pada bulan April
2001. Lalu pusat latihan dipindahkan
ke kamp Jabal Quba di Gunung Kararao. Di situlah pelatihan bersama diadakan
antara kelompok JI, MILF, dan Abu Sayyaf sehingga sebagian anggota JI juga terlibat beberapa peristiwa pengeboman di
Filipina. Misalnya Fathur Rohman al-Ghozi,
terlibat bersama anggota MILF dalam merancang lima serangan bom secara serentak
di Manila pada 30 Desember 2000. Selain markas latihan di Mindanao tersebut, JI
dan MILF juga membuka markas latihan baru di Poso, Sulawesi, Balikpapan
dan Sampit di Kalimantan. Bahkan JI juga punya markas latihan di Blue
Mountains, Australia.
Ketika Abdullah Sungkar meninggal dunia pada November
1999, Ba’asyir menggantikannya sebagai ketua JI. Tetapi para pengikut Sungkar
terutama para pemuda tidak puas dengan peralihan kepemimpinan ke tangan Ba’asyir.
Kelompok tersebut di antaranya Riduan Isamuddin (alias Hambali), Abdul
Aziz (alias Imam Samudra), Ali Gufron (alias Muchlas), Abdullah
Anshori (alias Abu Fatih), dan lain-lain. Mereka menganggap Ba’asyir
terlalu lemah, terlalu bersikap akomodatif, serta terlalu mudah dipengaruhi
orang lain.
Perpecahan tersebut kian terlihat ketika Ba’asyir bersama Irfan Awwas Suryahardy,
dan Mursalin Dahlan,
mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI) pada tahun 2000.
Menurut kelompok muda JI, konsep Ba’asyir dan MMI
telah menyimpang dari ajaran Sungkar dan menuduhnya sebagai pengkhianatan
terhadap ijtihad politik
Sungkar agar tetap beraksi di bawah tanah hingga muncul saat yang tepat untuk
menegakkan negara Islam. Tetapi, Abu Bakar Ba’asyir berdalih bahwa ruang
keterbukaan pasca lengsernya Soeharto di Indonesia membuka peluang. Jika
peluang tersebut tidak dimanfaatkan, maka hal itu bukan saja langkah yang
salah, bahkan satu dosa. Kelompok pemuda tersebut membantah bahwa sistem
politik mungkin saja lebih terbuka saat ini, namun masih dikuasai kaum kafir.
Dalam perjalannnya, pengikut Sungkar tetap menolak pandangan Fuad Amsyari,
utusan MMI yang datang ke JI, yang mengusulkan perjuangan menegakan shari‘at
Islam sebaiknya melalui jalur parlemen di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) serta
memilih calon dari partai Islam pada Pemilu.
Selanjutnya, dalam tubuh MMI juga terdapat konflik
internal akibat perbedaan pandangan antara pendukung Ba’asyir dan simpatisan
MMI. Seperti tertuang dalam situs ABB Center, Selasa (5/8/2008) keputusan
mengejutkan dari Abu Bakar Ba’asyir yang menyatakan mundur dari keanggotaan dan
pimpinan MMI sejak 13 Juli 2008 dalam rapat AHWA (Ahlu al-H{alli Wa al-Aqdi)
MMI yang digelar 13 Juli 2008 di kantor pusat MMI Yogyakarta. Selaku ami>r
(ketua) MMI, Ba’asyir menganggap sistem organisasi MMI sudah tidak sesuai
dengan shari>’at Islam bahkan dinilai seperti layaknya organisasi
jahiliyah yang menjadikan pemimpin hanya sebagai simbol yang menjalankan
keputusan rapat majelis tertingginya. Menurut pendiri Pesantrean Al Mukmin Ngruki ini, tujuan
perjuangan MMI sudah benar, yaitu menegakkan shari>’at Islam di Indonesia. "Jalan yang dipilih untuk
mencapai cita-cita itu juga sudah benar yaitu dakwah wal jihad, tetapi sistem
keorganisasiannya inilah yang masih perlu diperbaiki, dan saya sebagai pemimpin
merasa bertanggung jawab untuk meluruskan jika ada yang masih kurang tepat
dalam organisasi yang saya pimpin. Itu konsekwensi seorang pemimpin,"
kata Ba’asyir. Dalam surat pengunduran resmi yang baru dikirimkan ke kantor
pusat MMI dan berbagai cabang MMI di berbagai daerah pada 19 Juli 2008,
Ba’asyir juga menyatakan masih siap bekerja sama dengan MMI dalam hal-hal yang
sesuai dengan shari>’at Islam.
Pada 27 Juli 2008 M Abu Bakar Ba’asyir bersama beberapa ulama dan
aktifis gerakan dakwah
mendirikan Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) di Solo dengan menganut konsep Jahri>yatu
al-Da’wah wa Jahri>yatu al-Tandhi>m.
Namun gerakan itu baru didekralasikan di Jakarta pada 17 Ramadhan 1429 H/ 17 September 2008 M yang
ditepatkan dengan hari kemenangan kaum muslimin di medan Badar 1500 tahun yang
lalu.
Dalam deklarasi disampaikanlah pandangan umum ketua JAT (Taujih ‘Am Amir
Jama’ah Ansharut Tauhid) oleh Ba’asyir. Dan selanjutnya pada 28 Mei 2011
dirumuskanlah Khit}t}ah JAT kemudian keduanya dijadikan pedoman dasar
gerakan ini di samping juga dirumuskan Aqi>dah dan Manhaj JAT.
B. Pemikiran
Hukum MMI dan JAT
MMI dan JAT memiliki banyak pemikiran hukum yang berbeda
dengan maenstream pemikir muslim Indonesia. Di antara pemikiran hukum
yang menjadi isu nasional dan menjadikan label radikal pada gerakan tersebut
adalah tentang sumber hukum, negara atau khila>fah Islam dan jihad.
1.
Sumber Hukum
Tema pokok yang
paling tampak dalam gerakan revivalis ini adalah mengembalikan al-Qur'an dan
sunnah sebagai rujukan utama dalam kehidupan beragama. Analisa yang teramati
bahwa doktrin revivalis Islam merupakan akibat dari faham monotheisme.
Artinya, sumber tunggal dalam ajaran Islam hanyalah al-Qur’an dan sunnah karena
keduanya merupakan kalam Allah yang suci sehingga apapun yang ada dalam
al-Qur’an dan hadi>th tidak dapat dikembangkan melalui nalar, tetapi
harus difahami dan diamalkan apa adanya.
Konsekwensi
logis dari faham monotheisme dalam revivalis Islam adalah (1) pemahaman
yang kaku (rigid) dan tekstualis terhadap al-Qur’an dan sunnah dengan
menghilangkan peran nalar terhadap intepretasi teks, (2) penolakan terhadap
praktik keislaman yang bercampur unsur budaya maupun inovasi teknik ibadah yang
kemudian dinilai bid’ah, shirik ataupun khurafat, (3)
penolakan terhadap peniruan agama (taqli>d) buta, (4) mudah
menjustifikasi kafir terhadap faham yang tidak sejalan kelompoknya. Menurut
Greg Feally, faham seperti ini dinilai
berafiliasi dengan pemikiran Ah}mad bin H{anbal (madhhab H{ana>bilah),
Ibnu Taymiyah dan Ibnu Abdul Wahab (wahabisme).
Pada mulanya pemurnian ajaran yang dilakukan Imam Ah}mad
bin H{anbal bertujuan agar masalah hukum tidak terjebak dalam gagasan
liberalisme yang dapat mendestruksi keutuhan dan keotentikan nas}s}
karena pengaruh filsafat Yunani sebagaimana mu’tazilah serta menghindarkan dari
penyimpangan agama dalam bentuk praktik bid’ah, khurafat, ritual
ibadah yang tidak berpangkal pada ajaran Allah yang kesemuanya dinilai muncul
dari gerakan sufisme. Pemikiran ini
dilanjutkan oleh Ibnu Taimiyyahdengan menyerang
praktik tasawuf dan tarekat yang menurutnya sama sekali tidak berorientasi
kepada sunnah Nabi. Tarekat mengetengahkan konsep wali, wasilah, ziarah kubur
dan karamah yang mengandung unsur khurafat, bid’ah dan shirik.
Ibnu Taimiyyah berusaha menghilangkan itu semua dan menyerukan kembali kepada
tauhid dan beragama sesuai al-Qur’an dan sunnah. Selain itu, memahami al-Qur'an
juga tidak boleh menggunakan ta’wi>l (metafora) ataupun tashbi>h,
akan tetapi harus sesuai dengan bunyi nas}s} yang ada.
Revivalis
Islam dilanjutkan oleh wahabi yang dipelopori Muhammad bin ‘Abd
al-Wahab. Gerakan ini lebih
ekstrim dalam menyikapi perbedaan dengan kelompok lain, yakni dengan kekerasan. Nalar dianggap
tidak mampu memberikan intepretasi yang tepat terhadap teks. Dalam kerangka ini
masyarakatlah yang harus menyesuaikan perkembangannya dengan bunyi literal nas}s}
kalau perlu dengan kekerasan, bukan sebaliknya dengan penafsiran yang harus
mengikuti perkembangan masyarakat.
Faham
seperti itu juga dianut MMI, bahwa shari’at adalah segala aturan hidup
serta tuntunan yang diajarkan oleh agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an
dan sunnah Nabi Muhammad saw.
Dalam manhaj MMI juga dinyatakan bahwa manhaj perjuangan adalah al-Qur’an
dan sunnah Rasulullah saw yang shahih.
Doktrin senada juga dinyatakan JAT. Dalam poin 4 (empat) dan 6 (enam) dalam Aqi>dah
dan Manhaj JAT serta adalam khit}t}ah JAT pada poin jati diri JAT,
semuanya menyatakan bahwa semua ajaran Islam hanya bersumber dari al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah saw.
Penolakan terhadap faham yang dianggap terkontaminasi
budaya dan nalar manusia juga jelas ditolak oleh MMI dan JAT. Dalam khit}t}ah
JAT poin pandangan ideologi dikatakan bahwa “JAT bukan saja menolak
diterapkannya ideologi-ideologi ciptaan manusia, bahkan meyakini dan
mendakwahkan bahwa jalan keselamatan dan kesejahteraan lahir serta batin seluruh
bangsa di dunia ini hanyalah dengan menerapkan shari>’at Islam semata. Dimana pada kenyataannya,
ideologi-ideologi dunia yang dibangun di atas dasar kebathinan (seperti
freemasonry dan sufistik) atau materialisme (seperti kapitalisme dan komunisme)
maupun ideologi yang bersumber dari kemusyrikan (seperti nasionalisme dan
demokrasi), telah menjerumuskan kemanusiaan ke dalam jurang kebangkrutan nilai
dan kebobrokan moral kepada kondisi yang sangat buruk dan kejam”.
Selain itu, dalam poin 2 piagam Yogyakarta MMI dinyatakan, menolak segala
ideologi yang bertentangan dengan Islam yang berakibat shirik dan nifaq
serta melanggar hak-hak asasi manusia.
2.
Negara Islam, Khila>fah Isla>mi>yah dan
Formalisasi Shari>’at
Konsentrasi
gerakan revivalis Islam lainnya adalah pendirian khila>fah
Isla>mi>yah, negara Islam maupun penegakan shari>’at Islam.
Penegakan shari>’at Islam wajib bagi setiap muslim dalam semua aspek
kehidupan. Konsepsi mengenai kebersamaan dan persaudaraan (ukhu>wah)
dan kemanfaatan yang diraih keseluruhan umat dan alam semesta (rah}matan li
al-‘a>lami>n) berakibat pada munculnya kebutuhan akan pengaturan umat
sedunia dalam satu komando yang disebut khila>fah Isla>mi>yah.
Kekuatan semacam itu dapat dibentuk dengan mudah melalui langkah awal
mewujudkan negara Islam di seluruh dunia (ima>mah).
Jika
diruntut sejarahnya, terdapat gerakan purifikasi yang kedua dengan motor
penggerak Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), dan
Rasyid Ridha (1865-1935),
yang kesemuanya dinilai berfaham wahabi. Di bawah bayang-bayang ketiga pemikir
inilah lahir gerakan Islamis prototipikal Ihwanul Muslimin (IM) di Mesir pada
tahun 1928 yang dimotori Hasan al-Banna yang berorientasi pada purifikasi di
segala bidang dan pemulihan kejayaan Islam dari tekanan barat.
Gerakan Islamis prototipikal IM inilah embrio dari berbagai gerakan Islam
radikal di dunia karena anggota IM yang banyak didominasi oleh penganut faham
wahabi termasuk pendiri dan tokoh-tokohnya kemudian mendirikan berbagai gerakan
di dunia.
Akibat
runtuhnya khila>fah Turki Uthmani pada 1924,
umat muslim mengalami kemunduran dengan menerima dan patuh terhadap
pemerintahan dan hukum barat. Oleh karenanya bagi al-Banna pembentukan negara
Islam atau kekuasaan Islam adalah konsekwensi dari revivalisasi pengaruh ajaran
non Islami. Pada akhirnya setiap yang berbau Barat akan dimusuhi oleh IM,
termasuk perang antar negara yang dimonitor oleh Barat. Sehingga IM Mesir juga
mengirim relawan ke pemberontakan Arab-Palestina, perang Arab-Israel,
mengkoordinasi demontrasi berhaluan keras, melakukan tindakan teror dan
pembunuhan politik.
Hal ini
menimbulkan konfrontasi dengan pemerintahan Mesir. Puncaknya ditandai dengan
terbunuhnya al-Banna dan PM Mahmud Fahmi pada tahun 1940.
Pemerintahan baru Gamal Abdul Naseer berupaya mematikan gerakan IM dengan cara
memenjara pimpinan dan simpatisan IM sejak tahun 1954. Dengan ditangkapnya
Sayyid Qutb pada 1965,
menjadikan makin kuatnya IM dengan status gerakan bawah tanah yang dihegemoni
oleh Sayyid Quttb dari penjara sehingga tersebar ke penjuru dunia.
Pada tahun
1970 sayap mahasiswa IM melahirkan gerakan konserfatif Al-Jama’ah al-Islamiyah
yang awalnya menjadi penggerak utama kekuatan politik Islam di bawah
pemerintahan Anwar Sadat. Namun ketika Anwar Sadat melakukan penandatangan
damai dengan Israel (perjanjian Camp David) tahun 1970, banyak tokoh al-Jama’ah
al-Islamiyah mengungkapkan kritik tajam dan mengkonfrontasi pemerintah, di
antaranya Syaikh Omar Abdel Rahman.
Sehingga menjadikannya terbunuh pada tahun 1981.
Pada 9
Desember 1987 dunia dikejutkan lahirnya gerakan intifadhah atau
bangkitnya pemuda Palestina yang melancarkan serangan terhadap pasukan Israel
di jalur Gaza dan tepi barat sungai Yordan. Motor penggerak kebangkitan ini
adalah PLO pimpinan Yasser Arafat dan Hamas (H{arakat al-Muqa>wamah
al-Islami>yah) yang merupakan salah satu sayap IM.
Pada tahun
1988 terbentuk organisasi al-Qaedah yang didirikan oleh Osama bin Laden, Abu
Ayyub al-Iraqi, Ayman al-Zawahiri, dan lainnya. Organisasi ini awalnya bergerak
di bidang pelayanan sukarelawan Arab yang datang dan pergi ke Afganistan dan
daerah konflik Timur Tengah mulai dari kedatangan ke kamp latihan militer,
keberangkatan di medan perang dan menjawab nasib jika ditanya keluarga relawan.
Struktur Organisasi al-Qaedah terdiri dari ‘Amir al-‘Am (pemimpin
tertinggi), ‘Amir al-Qaedah, Majelis Syura yang terdiri dari 31 pimpinan
teras al-Qaedah, komite urusan militer, komite urusan keuangan, komite urusan
fatwa dan komite urusan penerangan. Pimpinan dan anggota al-Qaedah berasal dari
dua faksi militan IM mesir, yakni Tandzim Jihad pimpinan Ayman al-Zawahiri
(murid Sayid Qutb yang masuk IM sejak usia 14 tahun) dan al-Jama’ah
al-Islamiyah pimpinan Syekh Omar Abdel Rahman yang merupakan kader IM
berpengaruh di Mesir.
Tujuan awal
al-Qaedah adalah menegakkan kembali khila>fah Isla>mi>yah untuk
menggantikan sistem negara-bangsa barat. Oleh karenanya untuk mencapai tujuan
tersebut al-Qaedah perlu menguasai satu negara Islam atau minimal mampu
memberikan pengaruh kepada salah satu negara Islam. Dan ketika Osama menguasai
Afganistan, pola al-Qaedah berubah menjadi sangat radikal bahkan menggerakan
jihad di berbagai negara dalam gerakan separatis sebagaimana perang teluk yang
menjadi salah satu ajang keikutsertaan al-Qaedah.
Organisasi
inilah yang kemudian bersentuhan langsung dengan organisasi di bawah pimpinan
Ba’asyir dan Sungkar, yakni Jama’ah Islamiyyah (JI) karena mereka dan para
kadernya pernah mengikuti pelatihan militer al-Qaedah.
Kemudian Ba’asyir dan beberapa kadernya mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia
yang dikenal sama radikalnya dengan JI, namun sedikit lebih moderat.
Faham khila>fah
atau ima>mah yang diusung MMI dan JAT sejalur dengan faham Islam
garis keras lainnya, sebagaimana ditunjukkan Piagam Yogyakarta MMI pada poin
pertama, “Wajib hukumnya melaksanakan shari>'at Islam bagi umat Islam di
Indonesia dan dunia pada umumnya”,
dan Visi MMI, yakni “Tegaknya shari>’at Islam dalam kehidupan umat
Islam”.
Dalam rumusan tujuan MMI, “bersama-sama berjuang menegakkan syari>’at
Islam dalam segala aspek kehidupan, sehingga syari>’at Islam menjadi rujukan
tunggal bagi sistem pemerintahan dan kebijakan kenegaraan secara nasional
maupun internasional. Yang dimaksudkan dengan shari>’at Islam di sini
adalah, segala aturan hidup serta tuntunan yang diajarkan oleh agama Islam yang
bersumber dari al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw.
Kontruksi pemahaman tersebut didasarkan atas firman Allah QS. Saba’ 34: 46.
Dalam Tawjih
‘A>m Ba’asyir dalam deklarasi JAT, bahwa shari>’at Islam harus
diamalkan secara ka>ffah sesuai dengan perintah-Nya, sebagaimana
firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan
itu musuh yang nyata bagimu.”(QS. al-Baqarah: 208). Dan apabila di>n
al-Isla>m diamalkan secara fardi (individu) dan firqah-firqah
(golongan) di bawah kekuasaan lain (kafir/sekuler), maka Islam dan kaum
muslimin pasti ditimpa kehinaan dan berbagai fitnah karena tidak mampu
mengamalkan shari>at Islam secara ka>ffah. Allah berfirman,
“Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap
sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu,
melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka
dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.Allah tidak lengah dari apa yang
kamu perbuat.”(QS. al-Baqarah: 85). Oleh karenanya Islam wajib
diamalkan dalam bentuk kekuasaan (dawlah/khila>fah) agar semua
shari>’at-Nya dapat diamalkan secara ka>ffah.
Selanjutnya
dinyatakan bahwa perjuangan Islam harus mengikuti cara-cara yang benar, yakni
mengikuti petunjuk sunnah. Sebagian dari bentuk-bentuk perjuangan yang
benar dan mengikuti petunjuk sunnah adalah (1) tujuan perjuangan adalah
tegaknya dawlah/khila>fah Islami>yah, (2) cara mencapai tujuan
adalah dakwah, jihad, amar ma’ru>f dan nahi mungkar, (3)
sistem organisasi perjuangan adalah dalam bentuk jama’ah dan ima>mah,
yakni sistem kepemimpinannya tunggal dan bukan merupakan sistem
kepemimpinan kolektif.
Doktrin
pendirian negara atau kekuasaan dunia Islam tersebut membuat sekat jelas antara
kekuasaan/negara Islam dan kafir. Rumusan MMI, negara Islam adalah negara yang
menerapkan shari>’at Islam.
Sedangkan menurut JAT negara Islam adalah negara yang memberlakukan hukum Islam dan
penguasanya muslim. Sedangkan negara kafir adalah negara yang tidak
memberlakukan shari>’at Islam atau sebagian saja dan penguasanya kafir.
Maka faham
sekulerisme, pluralisme dan liberalisme dalam berbagai bentuknya dan
benderanya, serta macam-macam alirannya, seperti nasionalisme, komunisme,
sosialisme dan demokrasi adalah kekafiran nyata yang bertentangan dengan Islam
dan mengeluarkan penganutnya dari Islam karena bertentangan dengan firman Allah“Dan
bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian
mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan
kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar
kalian bertaqwa.” (QS. Al-An’âm [6]: 153).
Sistem
demokrasi dengan kedaulatan di tangan rakyat dinilai menyalahi kedaulatan
Allah.
Irfan S. Awwas, ketua lajnah Tanfidziyyah MMI periode 2008-2013 menyatakan:
“Mustahil demokrasi bersinergi dengan shari>’at
Islam. Bukan saja demokrasi tidak terikat dengan ajaran agama, tapi juga
terdapat sejumlah prinsip dan fakta sejarah Islam yang dimanipulasi dan diklaim
milik demokrasi.... Selama ini umat Islam diprovokasi untuk menentang shari>’at
dengan alasan bertentangan dengan demokrasi, sementara atas nama demokrasi
orang-orang sekuler mendiskriminasi Islam untuk tidak membawa urusan agama
dalam urusan Negara”.
Tak luput,
Indonesia pun dinilai kafir oleh kelompok ini. Irfan S. Awwas menyatakan bahwa
Pancasila bukanlah sistem Islam dan juga bukan produk domistik yang orisinal,
melainkan intervensi ideologi transnasional yang dikemas dalam format domistik.
Selain itu identik dengan lima qa>nu>n dalam kitab Talmud Yahudi,
yaitu monotheisme (ke-Esa-an Tuhan), nasionalisme (berbangsa, berbahasa, dan
bertanah air satu Yahudi), humanisme (kemanusiaan yang adil dan beradab bagi
Yahudi), demokrasi (dengan cahaya talmud suara terbanyak adalah suara Tuhan),
dan sosialisme (keadilan sosial bagi setiap orang Yahudi).Menurutnya, lima asas ini juga mengilhami tokoh-tokoh pergerakan
di Asia Tenggara, seperti di China terdapat ajaran San Min Chu I terdiri
dari mintsu, min chuan, min sheng, nasionalisme, demokrasi, dan
sosialisme yang dimunculkan Sun Yat Sen yang kemudian mempengaruhi pemikiran
Soekarno sebagaimana pidatonya dalam sidang BPUPKI.
Selain
terhadap institusi negara, penilaian kafir juga ditujukan pada Susilo Bambang
Yudhoyono selaku Presiden Indonesia. Saat proses persidangan di Pengadilan
Negeri Jakarta pada 25 april 2011, Ba’asyir menilainya kafir karena gagal
menjalankan shari>’at Islam di Indonesia.
Pengkafiran terhadap Indonesia juga dijadikan salah satu ajaran dalam pesantren
al-Mukmin Ngruki yang difatwakan Abdullah Sungkar dengan mengharamkan hormat
kepada bendera merah putih dan melantunkan lagu Indonesia Raya karena dinilai shirik
dan dosa besar.
Analisa yang
teramati, munculnya tujuan MMI dan JAT yang ingin mewujudkan khila>fah
atau dawlah Isla>mi>yah di Indonesia merupakan kewajaran karena
dua faktor. Pertama, MMI dan JAT dapat dikatakan sebagai pecahan dari DI/NII
yang merupakan gerakan pribumi untuk Islamisasi Indonesia. Gerakan
DI bermula sejak tahun 1947, dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo.
Pada Januari 1948, Kartosuwirjo mendirikan Tentara Islam Indonesia (TII) dan bulan Agustus 1949 ia
menyuarakan Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian dikenal juga sebagai
Darul Islam (DI). Tahun 1950-an DI/NII melancarkan perang melawan pemerintah.
Walaupun pemberontakan DI berpusat di Jawa Barat, namun kemudian tersebar ke
Aceh tahun 1950 dipimpin oleh Daud
Beureueh dan ke Sulawesi Selatan tahun 1953 dipimpin oleh Kahar
Muzakkar. Menjelang
kematiannya pada 1962, Kartosuwirjo dilaporkan menunjuk Daud Beureueh sebagai
Imam kedua NII. Sebagai Imam, Daud Beureueh membawa masuk Abu Bakar Ba’asyir
dan Abdullah Sungkar ke dalam DI pada tahun 1967, meskipun ia sendiri tidak
pernah bertemu secara langsung dengan mereka.
Dan mulai saat itulah faham radikal dari Ba’asyir dan Sungkar yang terbentuk
sejak muda tersalurkan dalam bentuk aksi.
Faktor
kedua, MMI dan JAT adalah gerakan yang sering bersentuhan dengan gerakan Islam
garis keras di Indonesia maupun di dunia. Pelarian ke Malaysia ketika dikejar
oleh rezim Soeharto karena terlibat DI merupakan awal dari terbentuknya
jaringan Internasional yang dibentuk Ba’asyir dan Sungkar sampai akhirnya
mendirikan JI di Malaysia sebagai embrio MMI dan JAT yang selanjutnya bekerjasama
dengan Osama bin Laden pada 1990 untuk merekrurt dan melatih relawan Afganistan
serta mendirikan khila>fah Isla>mi>yah Asia Tenggara. Kedua
faktor ini merupakan sikap tidak puas atas penerapan sistem non Islam di
Indonesia.
3.
Jihad
Ajaran yang
sering disosialisasikan MMI dan JAT adalah jihad. Penamaan organisasinya juga
menggunakan kata berderifasi jihad, yakni mujahidin. Jihad menurut mereka
berhukum wajib karena jihad merupakan usaha untuk menuju pencapaian cita-cita
negara atau kekuasaan Islam di dunia.
Ajaran jihad jelas ditulis dalam poin 5 Piagam Yogyakarta MMI, “Menyeru kaum
muslimin untuk menggerakkan dakwah dan jihad di seluruh penjuru dunia demi
tegaknya Islam sebagai rah}matan li al-'a>lami>n”.
Dalam karakteristik MMI poin 4 dinyatakan harus disiplin menjalankan
dakwah dan jihad. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt: “Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dengan barisan yang
teratur seakan-akan mereka laksana sebuah bangunan yang tersusun kokoh.”
(Qs. ash Shaff, 61: 4).
Dalam Tauji>h
‘Am JAT juga dinyatakan bahwa sebagai bentuk menjaga shari’at dan
menolak kemunkaran, jalan yang tepat digunakan adalah dakwah, ‘amar
ma’ru>f wa nahyu munkar, dan jihad.
Hal ini didasarkan pada ayat “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).”
(QS. Al-Baqarah [2]: 256). Dan “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak
mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan
Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang
mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah[9]: 29).“Dan
perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata
untuk Allah. Jikamereka berhenti (dari kekafiran),Maka Sesungguhnya Allah Maha
Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfa>l [8]: 39).
Ajaran jihad
MMI dan JAT diaktualisasikan dengan kegiatan laskar mujahidin dengan fokus
kegiatan pengamanan, long march, bela diri, pelatihan kesehatan, roll
climbing, pelatihan perang dan lain-lain dengan motto utama dakwah dan
jihad untuk penegakan shari>’at Islam menuju izzatul Islam wal
muslimin.
Doktrin
jihad juga ditanamkan di pesantren al-Mukmin Ngruki dengan
membuat kredo“hubb al-maut fi sabilillah” (cinta mati di jalan Allah:
perang) dan menjauhkan diri dari “hub al-dunya wa kara>hah al-maut”
(cinta dunia dan benci mati).
Sekalipun
jihad adalah doktrin MMI dan JAT, namun bentuk jihad yang diinginkan gerakan
ini terjadi perbedaan pendapat antara masing-masing tokoh. Menurut Ba’asyir,
jihad yang dikehendaki bukanlah jihad yang sifatnya subversif (menyerang),
namun lebih bersifat mempertahankan dan membalas aksi musuh. Faham Ba’asyir ini
muncul sejak ia masih memimpin JI sampai akhirnya menyebabkan ia keluar dari JI
karena pada saat itu pemuda JI menginginkan jihad yang sifatnya subversif
(menyerang).
Sekalipun
saat ini MMI tidak lagi dikomando oleh Ba’asyir, jihad yang tidak bersifat
subversif tetap menjadi doktrin. Terbukti dalam pernyataan sikap MMI pada 13
September 2011 terkait kerusuhan Ambon 11 September 2011, Irfan S. Awwas,
Shabbarin Syakur dan Muhammad Thalib menyerukan kaum muslim untuk jihad di
Ambon untuk membalas serangan musuh muslim di Ambon.
Selain itu, MMI mengutuk keras tindakan teroris yang mengedepankan bom bunuh
diri, termasuk aksi bom bunuh diri di Masjid Mapolres Cirebon, Jawa Barat,
Jumat 15 april 2011 lalu.
Menurut
Irfan S Awwas, "Kami mengutuk keras pelaku bom di Mapolres
Cirebon". Menurutnya, Islam melarang tindakan merusak atau merobohkan
tempat ibadah ataupun menghalangi orang beribadah.
Begitu juga dalam harian Viva News, MMI mengutuk ledakan bom bunuh diri Gereja
Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Solo. Salah satu Ketua MMI Jawa Tengah, Bonny Aznar
menyatakan aksi bom bunuh diri yang terjadi di gereja tersebut tidak sesuai
dengan shari>’at Islam. "Pemahaman mengenai pemboman bagian
dari jihad adalah salah besar," kata dia di Solo, Senin, 26 September
2011. Lebih lanjut, dia mengatakan, pemboman dan bom bunuh diri di lokasi
manapun hanya akan menimbulkan korban tidak bersalah bahkan membuat nama Islam
semakin tercoreng.
Berbeda
dengan Abu Thalut al-Jawi,
sebagaimana tulisannya dalam website resmi JAT bahwa terminologi jihad yang
hakikat adalah perang di medan pertempuran. Pendapat ini didasarkan pada
pendapat h}anafi>yah dalam fath} al-qadi>r dan
bada>’i al-s{ana>’i’, madzhab ma>liki>yah dalam kitab h}a>shiyatul
‘Adawy karya Ash-Sho’idiy dan al-Sharh} al-shaghi>r karya
Ad-Dardir, madzhab sha>fi’i>yah dalam kitab h{a>shiyah
al-ba>ju>ri> dan fath} al-ba>ri>, madzhab h{ana>bilah
dalam kitab matha>libu uli al-nuha> dan ‘umdatul fiqh.
Begitu juga banyaknya kata jiha>d yang disandarkan pada fi>
sabi>lillah. Menurut Ibnu Rushd kata jiha>d fi> sabilillah
jika diungkapkan secara mutlak maka tidak ada arti kecuali berjuang memerangi
orang kafir dengan pedang hingga menganut Islam atau menyerahkan jizyah.
Begitu juga ungkapan Ibnu H{ajar bahwa pengertian yang segera muncul dari kata fi>
sabilillah adalah jihad dengan pedang”.
Saat ini
terjadi pergeseran makna jihad bahkan lebih membesar-besarkan jihad al-nafs
karena didasarkan pada hadi>th bahwa perang adalah jiha>d as}ghar
(jihad kecil) sedangkan melawan hawa nafsu adalah jiha>d akbar (jihad
besar). Menurut Abu Thalut, ini merupakan ketidakjujuran dan kekeliruan karena hadi>th
tersebut mawd}u>’ (ungkapan sahabat), bukan ungkapan nabi. Indikator
ke-mawd{u>’-nya terlihat dari maknanya yang bertentengan dengan
berbagai nas}s} shara’ lain yang menunjukan jiha>d
bermakna qita>l, di antaranya Abu> Hurairah r.a menuturkan, “Seseorang
datang kepada Rasulullah saw sembari berkata, ‘Tunjukkan kepadaku suatu amal
perbuatan yang menandingi jihad.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Tidak aku peroleh.’
(Kemudian) beliau saw bersabda, ‘Apakah engkau sanggup apabila seorang mujahid
keluar (berperang), kemudian kamu masuk masjidmu dan mengerjakan shalat tanpa
henti dan berpuasa tanpa berbuka? Rasulullah saw melanjutkan, ‘Dan siapa yang
mampu berbuat demikian?’.” (H.R Al-Bukhari). Dan Jika perang (qita>l)
dinilai lebih kecil dari pada jiha>d al-nafs, padahal situasi akibat
perang (qita>l) mengandung tuntutan kesabaran tingkat tinggi di dalam
mengekang hawa nafsu sehingga jiha>d bermakna perang pasti mengandung
jiha>d al-nafs. Maka pantas
jika perang (qita>l) lebih besar maknanya dari jiha>d al-nafs.
Konsep jihad
MMI dan JAT, juga diaktualisasikan dalam bentuk amar ma’ru>f nahi munkar,
yakni pembasmian apa yang disebut sebagai Penyakit Masyarakat (PEKAT), seperti
pemabuk, penjudi, dll.
Jihad yang demikian lebih membahayakan karena di luar jalur hukum dan sangat
mungkin terjadi anarkisme serta konflik sosial. Bahkan akan mengakibatkan phobia
terhadap Islam mengingat kekerasan atas nama Islam akan sering muncul di
masyarakat.
C. Analisa
Potensi Konflik Sosial Atas Pemikiran Hukum MMI dan JAT
Radikalisme
Islam Tmur Tengah muncul diawali faktor internal dan eksternal.
Kondisi masyarakat muslim di semenanjung Arabia saat dinilai banyak mereduksi
dan mengelaborasi ajaran-ajaran Islam sehingga terjebak kemusyrikan, kekufuran,
bid’ah dan khurafat dalam bentuk faham sufisme, budaya
pengagungan pada tokoh dan benda, kepercayaan terhadap apa yang disebut barakah,
tawassul, karamah dan ziarah kubur. Maka lahirlah gerakan
pemurnian ajaran Islam pada al-Qur’ab dan hadi>th, yaitu gerakan
wahabi dengan motor penggerak Muhammad bin Abdul Wahab yang mendapat sokongan
penguasa suku lokal Arab, Muhammad Ibnu Su’ud dan anaknya (Abd. Azizi) di Nejd,
yang kemudian ditasbihkan menjadi pemerintah monarki Saudi di sekitar abad 18.
Pemurnian
ajaran karena faktor ineternal tersebut berlanjut pada pemurnian karena faktor
eksternal. Kondisi muslim yang banyak terpengaruh ajaran-ajaran Barat, baik
ajaran sosial politik maupun ajaran yang bersifat keilmuan yang dianggap tidak Islami
merupakan faktor kemunculan gerakan purifikasi yang kedua dengan motor
penggerak Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), dan
Rasyid Ridha (1865-1935).
Mengingat gerakan ini menginginkan Islamisasi melalui purifikasi di segala
bidang, maka selain khurafat dan bid’ah, transmisi ideologi dan
politik internasional Barat juga dinilai sebagai sitem kafir yang menjadi
bahaya laten dan harus dihilangkan. Gerakannya berusaha merekonsiliasi ide-ide
modern dengan menemukan kebaikan dalam agama..
Di bawah pengaruh ketiga pemikir inilah lahir gerakan Islamis prototipikal
Ihwanul Muslimin (IM) di Mesir pada tahun 1928 yang dimotori Hasan al-Banna
yang berorientasi pada pemulihan kejayaan Islam di bawah tekanan Barat.
Adapun
lahirnya Islam radikal di Indonesia, khususnya tentang MMI dan JAT
dilatarbelakangi beberapa keadaan yang hampir mirip dengan Timur Tengah. Namun
yang paling menonjol adalah faktor kegagalan sistem non Islam untuk mengatasi
masalah bangsa sejak kemerdekaan. MMI dan JAT merupakan lanjutan Islam radikal
pribumi Indonesia tahun 1947an. Hal
ini tergambar dari sejarah deklarator MMI dan JAT yang sebelum berinteraksi dengan al-Qaedah dan kelompok
radikal lainnya, Ba’asyir dan Sungkar merupakan bagian dari aktor Islam radikal
pribumi di Indonesia, yaitu NII/DI.
Banyak peneliti mengutarakan tesis bahwa Islam radikal di Indonesia
secara umum merupakan gerakan yang bersumber dan pecahan gerakan Islam radikal Timur
Tengah. Tesis semacam itu dapat dibenarkan untuk selain MMI dan JAT, karena MMI
dan JAT adalah gerakan Islam radikal asli Indonesia. Sementara Islam radikal Timur
Tengah bagi MMI dan JAT hanyalah sekedar kelompok seperjuangan karena memiliki
kesamaan simbol ajaran.
MMI dan JAT
merupakan gerakan sosial yang baru muncul sekitar tahun 2000. Gerakan sosial (social
movement) menurut Antony
Gidens adalah gerakan untuk mencapai suatu kepentingan bersama melalui tindakan
kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan. Situmorang mengatakan bahwa gerakan
sosial (social movement) adalah sebuah upaya sadar, kolektif dan terorganisasi
untuk mendorong atau menolak perubahan dalam tatanan sosial. Penjelasan ini
mengindikasikan bahwa kriteria utama dari gerakan sosial adalah gerakan yang
bertujuan untuk mendorong terjadinya perubahan fundamental dalam masyarakat.
Gerakan
sosial bermula dari interaksi simbolik antar individu maupun masyarakat. George
Herbert Mead (1863–1931) dan Charles Horton Cooley (1846–1929) selaku tokoh
interaksionisme simbolis menemukan bahwa individu-individu tersebut
berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol yang di dalamnya berisi
tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Ada tiga premis utama dalam teori
interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna. Makna
tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain. Dan makna tersebut
berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung. Menurut KJ
Veeger yang mengutip pendapat Herbert Blumer, teori interaksionisme simbolik
memiliki beberapa gagasan. Di antaranya adalah mengenai konsep diri atau
pembentukan diri.
Terkait
gerakan sosial MMI dan JAT, tiga pemikiran hukum Islamnya yakni pemurnian
sumber hukum/ajaran, khila>fah atau dawlah Isla>mi>yah
dan jihad merupakan sebagian simbol interaksi antar individu kelompoknya dan
masyarakat. Namun demikian, simbol maupun gerakan sosial tersebut adalah
gerakan yang melawan mainstream di Indonesia, sehingga bersinggungan
dengan gerakan keagamaan yang lainnya yang tidak jarang memunculkan konflik.
NU dan
Muhammadiyyah selaku ormas terbesar di Indonesia misalnya, merupakan ormas yang
erat bernuansa budaya lokal. NU dengan budaya Jawa Timur dan Muhammadiyah
dengan budaya Minangkabau. Penggunaan nalar dalam ijtihad NU merupakan
kewajaran. Selain itu, NU secara jelas mengakui sufistik, tarekat, pengagungan
terhadap wali, karamah, kegiatan wirid bersama seperti tahlil dan lain
sebagainya yang dianggap khurafat dan syirik oleh MMI dan JAT. NU dan
Muhammadiyah merupakan organisasi yang turut serta merumuskan demokrasi
pancasila yang saat ini dianggap sistem kafir oleh MMI dan JAT. Bahkan NU
merupakan ormas terdepan yang membela pancasila pada saat Gestapu tahun 1966
karena menganggap parpol yang menyerang pemerintah sebagai pemberontak dan
makar.
Perbedaan faham
MMI dan JAT dengan mainstream muslim Indonesia rentan menimbulkan
konflik sosial. Dengan ideologinya yang kaku, keras, dan ekstrem, mereka
berusaha mengubah wajah Islam Indonesia yang umumnya santun dan toleran agar
seperti wajah mereka yang sombong, garang, kejam, penuh kebencian, dan
merasa berhak menguasai. Kekerasan ini dapat dilihat dalam beberapa aspek.
Pertama, kekerasan doktrinal, yakni pemahaman literal-tertutup atas teks-teks
keagamaan dan hanya menerima kebenaran sepihak. Hal ini telah memutus dan
menghapus sedemikian rupa relasi kongkret dan aktual pesan-pesan luhur agama
dari realitas sejarah, sosial, dan kultural sehingga yang tersisa hanya organ
yang sesuai dengan ideologi mereka.
Kedua,
kekerasan tradisi dan budaya, yakni tradisi dan budaya yang telah diakomodasi
masyarakat dalam praktek keagamaan divonis sesat dan pelakunya divonis musyrik,
murtad, dan/atau kafir seperti tardisi tasawuf, tahlil, tujuh hari kematian,
dan lainnya. Hal ini dikarenakan kebenaran sepihak yang mereka junjung tinggi
sehingga tidak mampu memahami kebenaran lain yang berbeda.
Ketiga,
kekerasan sosiologis, yakni aksi-aksi anarkis dan destruktif terhadap pihak
lain yang dituduh maksiat, musyrik, murtad, atau kafir dengan dalih jihad dan
penegakan shari>’at. Akibatnya, ketakutan, instabilitas, dan kegelisahan
sosial mengancam negara. Parahnya, Dunia menjadi phobia terhadap Islam
dan muslim.
Pada
dasarnya konflik sosial merupakan kewajaran sosial. Konflik tidak
akan berubah menjadi kekerasan jika pihak yang terlibat tidak melanggar hak pihak lain. Menurut M. Ridlwan Nasir, bahwa dalam kajian ilmu sosial, konflik
adalah pergerakan dinamika masyarakat. Mengikuti kaum marxian, bahwa tanpa
konflik maka dinamika kehidupan masyarakat akan menjadi kurang semarak. Mulai
dari konflik masyarakat yang stagnan akan menjadi berubah. Konflik tidak hanya
bercorak horizontal, tetapi juga vertikal. Hubungan konfliktual antara sesama
penganut agama (intern umat beragama) adalah contoh konflik horizontal,
sedangkan konflik vertikal terjadi antara rakyat dan negara atau antara satu
strata sosial yang lebih rendah terhadap strata sosial lainya.
Teori
konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar tercipta perubahan
sosial. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai
sebuah kesepakatan bersama sebab di dalam konflik selalu ada negosiasi-negosiasi
yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Sebagai hal yang alamiah maka penanganan konflik yang diperlukan adalah
mengelola konflik dan mentransformasikannya. Menurut Andrew J. Pirree, dalam masyarakat diperlukan Alternative
Dispute of Resolution (ADR). ADR ini dipandang sebagai alternatif
penyelesaian konflik di
masyarakat yang dapat memberikan peran
besar pada pelaku untuk menyelasikan persoalannya sendiri di luar lembaga legal
atau negara. Bentuk-bentuk praksis dari ADR ini antara lain, negosiasi, mediasi dan arbiterase.
Adapun
konflik sosial yang muncul akibat faham MMI dan JAT merupakan kewajaran yang tidak
mungkin dihindari. Yang perlu dihindarkan adalah kekerasan akibat konflik
tersebut. Cara yang efektif saat ini adalah membuat konsensus bersama antar
kelompok Islam dan pemerintah. Konsensus bukan untuk menyatukan faham yang
berbeda karena hal itu tidak mungkin terjadi, tetapi untuk mencari satu titik
temu faham yang dapat diperjuangkan secara bersama yang berfungsi untuk meredam
emosi perbedaan. Misalnya, penegakan shari>’at Islam di Indonesia
menjadi titik temu faham yang diperjuangkan bersama. Namun bentuknya bukan
menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, melainkan menyusupkan prinsip hukum
atau shari>’at dalam setiap undang-undang dan peraturan di Indonesia.
Selain itu, hukum negara di Indonesia harus benar-benar ditegakkan. Dalam arti
siapapun yang dianggap melawan hukum harus ditindak.
Penutup
Hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan dalam tiga poin.
Pertama, latar belakang berdirinya MMI dan JAT adalah faktor kegagalan sistem
non Islam untuk mengatasi masalah bangsa Indonesia sejak kemerdekaan sampai era
reformasi, sebab MMI dan JAT merupakan lanjutan Islam radikal asli pribumi
Indonesia tahun 1947an bukan bagian Islam radikal Timur Tengah.
Kedua, sebagai gerakan keagamaan, MMI dan JAT memiliki
bermacam pemikiran hukum, di antaranya, sumber hukum Islam hanyalah al-Qur’an
dan hadi>th, kewajiban menegakkan shari>’at Islam dalam
bentuk negara Islam atau khila>fah Isla>mi>yah, dan kewajiban
jihad sebagai instrumen penegakan shari>’at Islam.
Ketiga, tiga pemikiran hukum tersebut memiliki potensi
konflik sosial dan kekerasan di Indonesia karena bertentangan dengan pemikiran
hukum mainstream muslim di Indonesia, terlebih ketika aksi-aksi untuk
memperjuangkan pemikirannya menggunakan cara-cara anarkis dan ekstrim yang
melanggar hukum di Indonesia.
Daftar Pustaka
Dari Buku dan Jurnal:
Azra, Azyumardi. Pergerakan
Politik Islam. Jakarta; Yayasan Paramadina, 1996.
Fealy, Greg dan Anthoni Bubalo. Jejak Kafilah, Pengaruh
Radikalisme Timur Tengah di Indonesia. Bandung; Mizan, 2007.
Imarah, Muhammad. Fundamentalisme Dalam Perspektif
Barat dan Islam, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta; Gema Insani Press,
1999.
Irfan S. Awwas, Islam Rahmatan lil Alamin dalam Bingkai
Kebhinekaan’, Makalah Seminar Nasional di STAIN Purwokerto, 16 Desember
2010.
Madjid,
Nurcholish. Kaki Langit Peradaban
Islam. Jakarta; Paramadina, 1997.
Maftuh, Agus,
dkk. Negara Tuhan, The Thematic Ensklopiedia. Yogyakarta; SRI Publising,
2004.
Margono, Suyud. ADR dan Arbitase, Proses Pelembagaan dan
Aspek Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.
Nasir, M. Ridlwan. Dialektika Islam dengan Problem
Kontemporer. Yogyakarta; Himpunan Orasi Ilmiah Guru Bear IAIN Sunan Ampel
Surabaya dan LKIS, 2006..
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Gerakan
dan Pemikiran. Jakarta: Bulan Bintang, 1998.
Rahmat, M. Imdadun. Arus baru islam Radikal, Transmisi
Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia. Surabaya; Erlangga, 2008.
Ramri, Andi
Muawiyah, dkk. Demi Ayat Tuhan.
Jakarta; OPSI, 2006.
Rubaidi, A. Radikalisme Islam. Nahdlatul Ulama
Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia. Surabaya; LTNU PWNU Jatim, 2008.
Situmorang, Abdul
Wahib. Gerakan Sosial Studi Kasus Beberapa Perlawanan. Yogjakarta;
Pustaka Pelajar, 2007.
Syaifullah, M. Mediasi
Di Indonesia. Semarang; Pusat Penelitian Univ. Walisongo Semarang, 2006.
Turmudzi, Endang (ed. all.). Islam dan radikalisme di
Indonesia. Jakarta; LIPI Press, 2005.
Veeger, KJ. Realitas Sosial, Refleksi Filsafat
Sosial atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi.
Jakarta; Gramedia, 1985.
Wahid, Abdurrahman (ed. All.). Ilusi Negara Islam:
Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta; TheWahid
Institute, 2009.
Yusoff, Zulkifli
Haji Mohd & Fikri Mahmud, Gerakan Teroris Dalam Masyarakat
Islam:Analisis Terhadap Gerakan Jemaah Islamiyah (JI), dalam jurnal Usuluddin
Univ Malaya, Vol. 1, No.21. Juli 2005.
Dari Koran:
Koran Tempo 16
Juni 2007.
Koran Tempo 16
Juni 2007.
Koran Tempo, 9
November 2002.
Dari Internet dan Website Resmi MMI dan JAT:
Abdul Wahid Kadungga: Aktivis
Internasional, Suara Hidayatullah, Oktober 2000, dalam http://www.hidayatullah.
com/2000/10/siapa.shtml.
Jama’ah
Islamiyah, http://id.wikipedia.org/wiki/Jamaah_Islamiyah. Diakses pada 12
Oktober 2011.
Piagam Yogyakarta
MMI 2008. http://majelis mujahidin.wordprees.com.
Ustadz Abu
Bakar Ba’asyir Kembali Disudutkan Media Karena Pernyataannya Yang Tegas, Dalam
http://arrahmah.com/
read/2011/04/26/12068-ustadz-abu-kembali-disudutkan-media-karena-pernyataannya-yang-tegas-.html.