Jangan di Klik

PEMIKIRAN HUKUM GERAKAN ISLAM RADIKAL

PEMIKIRAN HUKUM GERAKAN ISLAM RADIKAL
Studi Atas Pemikiran Hukum dan Potensi Konflik Sosial Keagamaan
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT)
Oleh: Moh. Dliya’ul Chaq *

Artikel ini telah dipublikasikan di Jurnal Ilmiah dengan nama Jurnal Tafaqquh. Untuk Download Versi Pdf. Klik
atau lihat di link berikut: http://jurnal.iaibafa.ac.id/index.php/tafaqquh/article/view/3


Abstract
MMI dan JAT sebagai gerakan Islam radikal yang mengusung doktrin pemurnian agama, termasuk penolakan harmonisasi Islam dan budaya merupakan fakta menarik terlebih ketika faham itu hidup di Indonesia dan berhadapan dengan fakta keagamaan maenstream muslim Indonesia yang mengedepankan dinamisasi ajaran Islam dengan kultur Indonesia. Melalui pendekatan sosiologi agama dengan model content analysis interactif dan dengan data kepustakaan ditemukan hasil penelitian. Pertama, kegagalan sistem non Islam untuk mengatasi masalah bangsa Indonesia sejak kemerdekaan merupakan latar belakang berdirinya MMI dan JAT. Kedua, MMI dan JAT memiliki pemikiran hukum berupa sumber hukum Islam hanyalah al-Qur’an dan hadi>th, kewajiban menegakkan shari>’at Islam dalam bentuk negara Islam atau khila>fah Isla>mi>yah, dan kewajiban jihad. Ketiga, pemikiran hukum tersebut memiliki potensi konflik sosial dan kekerasan di Indonesia karena bertentangan dengan pemikiran hukum mainstream muslim di Indonesia.

Kata Kunci: Islam radikal, Majelis Mujahidin Indonesia, Jamaah Anshorut Tauhidm, Pemikiran Hukum.

Abstract
MMI and JAT as a radical Islamic movement that carries the purification of religious doctrine, including the harmonization rejection of Islam and culture are interesting facts especially when ideology was living in Indonesia and dealing with the fact mainstream Indonesian Muslim religious dynamics of Islam that emphasizes the Indonesian culture. Sociology approach religion with models interactive content analysis with literature data and found the results of the study. First, the failure of non-Islamic system to overcome the problem of the Indonesian nation since independence is the background of the founding of MMI and JAT. Second, MMI and JAT have legal thought in the form of source of Islamic law is the Qur'an and hadi>th, the obligations enforce of shari>'at Islam in the form of an Islamic state or khila>fah Isla>mi>yah, and the duty of jihad. Third, the idea of law has the potential social conflict and violence in Indonesia as opposed to mainstream legal thought muslim in Indonesia.

Keyword: Radical Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, Jemaah Anshorut Tauhid, Legal Thought.



Pendahuluan
Istilah fundamentalisme dan radikalisme dalam perspektif Barat sering dikaitkan dengan sikap ekstrim, kolot, stagnasi, konservatif, anti-Barat, dan keras dalam mempertahankan ideologi bahkan dengan kekerasan fisik. Sementara dalam perspektif Islam, istilah tersebut berarti tadji>d (pembaharuan) berdasarkan pesan moral al-Qur’an dan al-Sunnah.[1]
Pasca reformasi tahun 1998 di Indonesia, banyak bermunculan gerakan maupun pemikiran keagamaan yang memainkan peran dominan dalam isu-isu nasional, baik yang bercorak liberal seperti Jaringan Islam Liberal maupun bercorak radikal. Salah satu gerakan kelompok Islam Radikal Indonesia adalah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang dideklarasikan di Yogyakarta pada 5 Agustus 2000 dan Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) yang dideklarasikan di Jakarta pada 17 September 2008. Kedua kelompok ini kerap dituduh sebagai dalang terorisme di Indonesia.
MMI dan JAT sebagai gerakan Islam radikal yang mengusung doktrin utama pemurnian perilaku masyarakat pada al-Qur'an dan sunnah dengan mengharuskan penerapan shari>’at Islam di segala bidang, dan menjalin ukhu>wah Isla>mi>yah dengan mengharuskan pendirian dawlah atau khila>fah Isla>mi>yah. Hal ini menjadi menarik ketika penolakan penyerapan budaya dalam Islam yang diusung MMI dan JAT tetap hidup di Indonesia, sementara fakta keagamaan maenstream muslim Indonesia mengedepankan dinamisasi ajaran Islam dengan kultur Indonesia. NU misalnya lekat dengan Islam budaya Jawa dan Muhammadiyah lekat dengan kultur alam Minangkabau yang keduanya memiliki karakter dinamis.
Pada akhirnya, faham MMI dan JAT tersebut memiliki potensi konflik sosial, terutama berkaitan dengan sikap dan aksi ekstrem MMI dan JAT dengan justifikasi kafir pada kelompok yang berbeda faham dengannya. Oleh karena itu, fokus penelitian ini untuk menjawab, apa yang menjadi latar belakang berdirinya MMI dan JAT. Bagaimana pemikiran hukum atau keagamaan MMI dan JAT. Dan adakah potensi konflik sosial akibat pemikiran hukum atau paham keagamaan MMI dan JAT.



Pembahasan
A. Sejarah Kemunculan MMI dan JAT
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) adalah organisasi yang dideklarasikan melalui Kongres Mujahidin I di Yogyakarta tanggal 5-7 Jumadil Ula 1421 H, bertepatan dengan tanggal 5-7 Agustus 2000, yang melahirkan piagam Yogyakarta yang isinya:
1.        Wajib hukumnya melaksanakan shari>’at Islam bagi umat Islam di Indonesia dan dunia pada umumnya.
2.        Menolak segala ideologi yang bertentangan dengan Islam yang berakibat shirik dan nifa>q serta melanggar hak-hak asasi manusia.
3.        Membangun satu kesatuan shof mujahidin yang kokoh kuat, baik di dalam negeri, regional maupun internasional (antar bangsa).
4.        Membentuk majelis mujahidin menuju terwujudnya ima>mah (khila>fah)/kepemimpinan umat, baik di dalam negeri maupun dalam kesatuan umat Islam sedunia.
5.        Menyeru kaum muslimin untuk menggerakkan dakwah dan jihad di seluruh penjuru dunia demi tegaknya Islam sebagai rah{matan li al’'a>lami>n.[2]
Kongres tersebut dihadiri lebih dari 1800 peserta dari 24 Propinsi di Indonesia dan utusan luar negeri, yang mengamanatkan kepada 32 tokoh Islam Indonesia sebagai Ahlu al-H{alli wa al-Aqdi (AHWA) untuk meneruskan misi penegakan shari>’at melalui Majelis Mujahidin.[3] Di antara ormas dan orpol Islam yang hadir adalah Laskar Santri, Laskar Jundullah, Kompi Badar, Brigade Taliban, dan Partai Keadilan. Hadir juga tokoh-tokoh Islam seperti Deliar Noor, Abdurrahman Basalamah, Fuad Amsyari, Mawardi Noer, Ohan Sujana, Abd. Qadir Baraja,[4] Muhammad Thalib, Bandan Kindarto, Asep Mausul, Abu Bakar Ba’asyir. Dan dalam kesempatan tersebut secara aklamasi peserta memilih Abu Bakar Ba’asyir,[5] sebagai pemimpin tertinggi (ami>r) MMI. Adapun penasehat organisasi adalah Deliar Noer, Muchtar Naim, Mawardi Noor, Ali Yafie, Alawi Muhammad, Ahmad Syahirul Alim dan A. M. Saifuddin.[6] Keterpilihan Ba’asyir merupakan kewajaran mengingat ide pembentukan MMI memang bermula darinya.
Abu Bakar Ba’asyir merupakan salah satu pendiri Jama’ah Islamiyyah (JI) yang didirikannya bersama Abdullah Sungkar di Malaysia.[7] Keduanya merupakan sebagian dari promotor Islam radikal di Indonesia. Keduanya masuk ke dalam gerakan pecahan DI.[8]  Sungkar dilantik menjadi gubenur militer DI/NII wilayah Jawa Tengah pada tahun 1967. Keduanya mendirikan Radio Dakwah Islamiah Surakarta yang secara terbuka menyeru jihad di Jawa Tengah sehingga  radio tersebut ditutup pemerintah pada tahun 1975.[9]
Sekitar tahun 1969, keduanya dituduh membahayakan dan mengembangkan operasi DI hingga dijebloskan ke penjara oleh Soeharto.[10] Tidak ditemukan data yang jelas mengenai kapan mereka dibebaskan sehingga pada 10 Maret 1972 mereka berdua bersama Yoyo Roswadi, Abdul Qohar H. Daeng Matase dan Abdullah Baraja mendirikan Pesantren Al-Mukmin Ngruki.[11] Pesantren inilah cikal bakal pusat pengembangan MMI dan JAT yang pada tahun 1989 menjadi pusat tragedi berdarah antara Pesantren dengan Tentara Nasional Indonesia karena dituduh sebagai kelompok Mujahidin Warsidi yang menentang ideologi Pancasila.[12]
Bulan Februari 1977 Ba’asyir mendirikan Jemaah Mujahidin Ansharullah (JMA) sebagai embrio gerakan JI, MMI dan JAT. Sungkar dan Ba’asyir akrab dengan Abdul Wahid Kadungga,[13] yang memperkenalkan pada gerakan militan Jama‘ah Islamiyyah (Islamic Group) pecahan dari Ikhwan al-Muslimin (IM) Mesir.
Tahun 1978, Keduanya dipenjarakan pemerintahan Soeharto karena didakwa berhubungan dengan Komando Jihad,[14] yang diketuai oleh Haji Ismail Pranoto (Hispran) untuk mencetuskan tindakan subversi dan menuntut pelaksanaan shari>’at Islam di Indonesia.  Setelah bebas tahun 1982, keduanya ditangkap lagi tahun 1983 karena dituduh menghasut orang untuk menolak asas Pancasila dan melarang santri Ngruki melakukan upacara dan hormat bendera Indonesia karena tergolong shirik. Keduanya divonis 9 tahun penjara.[15]
Pada 11 Februari 1985, ketika kasusnya masuk kasasi keduanya dikenai tahanan rumah. Saat itulah keduanya melarikan diri ke Malaysia. Dari Solo mereka menyeberang ke Malaysia melalui Medan.[16] Dalam perjalanannya, mereka sempat singgah di Lampung kawasan transmigran asal Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka membentuk kumpulan yang dinamakan Jemaah Islamiyah di daerah tersebut yang sebelumnya telah menjadi basis gerakan DI yang kuat sejak 1970-an yang dipimpin Abdul Qadir Baraja.
Tiba di Malaysia, keduanya menemui Abdul Wahid Kadungga untuk menguruskan tempat tinggal bagi mereka. Sungkar dan Ba’asyir menetap di Kuala Pilah dengan menggunakan nama samaran Abdul Halim untuk Sungkar dan Abdus Shomad untuk Ba’asyir.[17]  Di Malaysia mereka berkumpul dengan pemberontak Aceh dan Sulawesi yang ada hubungan dengan DI. Mereka menjadi guru mengaji di Malaysia dan mempunyai banyak pengikut di negeri itu hingga mendirikan Jemaah Islamiyah (JI).[18] Mereka tetap berhubungan dengan rekan-rekannya di Indonesia untuk merekrut relawan perang Afghanistan termasuk melalui Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan mulai melatih serta mengirim ke Afghanistan dengan bantuan dana Rabit}ah al-‘A<lam al-Islami> (Islamic World League).[19]
Pada Tahun 1990 Sungkar dan Ba’asyir (JI) bertemu Osama bin Laden (al-Qaedah). Lalu JI dianggap sebagai tangan kanan al-Qaedah di Asia, sehingga JI tidak hanya bercita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia sebagaimana diimpikan oleh DI, melainkan untuk mendirikan kekuasaan Islam di Asia Tenggara atau Dawlah Isla>miyyah Nusantara, yang terdiri dari Malaysia, Indonesia, Brunei, Thailand Selatan, Mindanao di Filipina, Papua dan Australia. Bahkan JI juga berniat mendirikan  Khila>fah Islami>yah yang akan menaungi umat Islam secara keseluruhannya.[20]
Tahun 1994 JI membuat pusat latihannya dari Afghanistan ke Mindanao, dengan alasan biaya dan logistik yang lebih ringan. JI juga membuka kamp latihan baru dekat kamp latihan Abu Bakar milik MILF yang terletak antara Maguindanao dan Lanao del Sur Filipina, yang dinamakan dengan kamp H{udaibiyah. Kamp ini lalu diserang oleh pasukan pemerintah Filipina pada bulan April 2001. Lalu pusat latihan dipindahkan ke kamp Jabal Quba di Gunung Kararao. Di situlah pelatihan bersama diadakan antara kelompok JI, MILF, dan Abu Sayyaf sehingga sebagian anggota JI juga terlibat beberapa peristiwa pengeboman di Filipina. Misalnya Fathur Rohman al-Ghozi[21], terlibat bersama anggota MILF dalam merancang lima serangan bom secara serentak di Manila pada 30 Desember 2000. Selain markas latihan di Mindanao tersebut, JI dan MILF juga membuka markas latihan baru di Poso, Sulawesi, Balikpapan dan Sampit di Kalimantan. Bahkan JI juga punya markas latihan di Blue Mountains, Australia.[22]
Ketika Abdullah Sungkar meninggal dunia pada November 1999, Ba’asyir menggantikannya sebagai ketua JI. Tetapi para pengikut Sungkar terutama para pemuda tidak puas dengan peralihan kepemimpinan ke tangan Ba’asyir. Kelompok tersebut di antaranya Riduan Isamuddin (alias Hambali), Abdul Aziz (alias Imam Samudra), Ali Gufron (alias Muchlas), Abdullah Anshori (alias Abu Fatih), dan lain-lain. Mereka menganggap Ba’asyir terlalu lemah, terlalu bersikap akomodatif, serta terlalu mudah dipengaruhi orang lain.[23] Perpecahan tersebut kian terlihat ketika Ba’asyir bersama Irfan Awwas Suryahardy,[24] dan Mursalin Dahlan,[25] mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pada tahun 2000.[26]
Menurut kelompok muda JI, konsep Ba’asyir dan MMI telah menyimpang dari ajaran Sungkar dan menuduhnya sebagai pengkhianatan terhadap ijtihad politik Sungkar agar tetap beraksi di bawah tanah hingga muncul saat yang tepat untuk menegakkan negara Islam. Tetapi, Abu Bakar Ba’asyir berdalih bahwa ruang keterbukaan pasca lengsernya Soeharto di Indonesia membuka peluang. Jika peluang tersebut tidak dimanfaatkan, maka hal itu bukan saja langkah yang salah, bahkan satu dosa. Kelompok pemuda tersebut membantah bahwa sistem politik mungkin saja lebih terbuka saat ini, namun masih dikuasai kaum kafir. Dalam perjalannnya, pengikut Sungkar tetap menolak pandangan Fuad Amsyari, utusan MMI yang datang ke JI, yang mengusulkan perjuangan menegakan shari‘at Islam sebaiknya melalui jalur parlemen di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) serta memilih calon dari partai Islam pada Pemilu.
Selanjutnya, dalam tubuh MMI juga terdapat konflik internal akibat perbedaan pandangan antara pendukung Ba’asyir dan simpatisan MMI. Seperti tertuang dalam situs ABB Center, Selasa (5/8/2008) keputusan mengejutkan dari Abu Bakar Ba’asyir yang menyatakan mundur dari keanggotaan dan pimpinan MMI sejak 13 Juli 2008 dalam rapat AHWA (Ahlu al-H{alli Wa al-Aqdi) MMI yang digelar 13 Juli 2008 di kantor pusat MMI Yogyakarta. Selaku ami>r (ketua) MMI, Ba’asyir menganggap sistem organisasi MMI sudah tidak sesuai dengan shari>’at Islam bahkan dinilai seperti layaknya organisasi jahiliyah yang menjadikan pemimpin hanya sebagai simbol yang menjalankan keputusan rapat majelis tertingginya. Menurut pendiri Pesantrean Al Mukmin Ngruki ini, tujuan perjuangan MMI sudah benar, yaitu menegakkan shari>’at Islam di Indonesia. "Jalan yang dipilih untuk mencapai cita-cita itu juga sudah benar yaitu dakwah wal jihad, tetapi sistem keorganisasiannya inilah yang masih perlu diperbaiki, dan saya sebagai pemimpin merasa bertanggung jawab untuk meluruskan jika ada yang masih kurang tepat dalam organisasi yang saya pimpin. Itu konsekwensi seorang pemimpin," kata Ba’asyir. Dalam surat pengunduran resmi yang baru dikirimkan ke kantor pusat MMI dan berbagai cabang MMI di berbagai daerah pada 19 Juli 2008, Ba’asyir juga menyatakan masih siap bekerja sama dengan MMI dalam hal-hal yang sesuai dengan shari>’at Islam.[27]
Pada 27 Juli 2008 M  Abu Bakar Ba’asyir bersama beberapa ulama dan aktifis gerakan dakwah mendirikan Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) di Solo dengan menganut konsep Jahri>yatu al-Da’wah wa Jahri>yatu al-Tandhi>m.[28] Namun gerakan itu baru didekralasikan di Jakarta pada 17 Ramadhan 1429 H/ 17 September 2008 M yang ditepatkan dengan hari kemenangan kaum muslimin di medan Badar 1500 tahun yang lalu.[29] Dalam deklarasi disampaikanlah pandangan umum ketua JAT (Taujih ‘Am Amir Jama’ah Ansharut Tauhid) oleh Ba’asyir. Dan selanjutnya pada 28 Mei 2011 dirumuskanlah Khit}t}ah JAT kemudian keduanya dijadikan pedoman dasar gerakan ini di samping juga dirumuskan Aqi>dah dan Manhaj JAT.[30]

B. Pemikiran Hukum MMI dan JAT
MMI dan JAT memiliki banyak pemikiran hukum yang berbeda dengan maenstream pemikir muslim Indonesia. Di antara pemikiran hukum yang menjadi isu nasional dan menjadikan label radikal pada gerakan tersebut adalah tentang sumber hukum, negara atau khila>fah Islam dan jihad.
1.        Sumber Hukum
Tema pokok yang paling tampak dalam gerakan revivalis ini adalah mengembalikan al-Qur'an dan sunnah sebagai rujukan utama dalam kehidupan beragama. Analisa yang teramati bahwa doktrin revivalis Islam merupakan akibat dari faham monotheisme. Artinya, sumber tunggal dalam ajaran Islam hanyalah al-Qur’an dan sunnah karena keduanya merupakan kalam Allah yang suci sehingga apapun yang ada dalam al-Qur’an dan hadi>th tidak dapat dikembangkan melalui nalar, tetapi harus difahami dan diamalkan apa adanya.
Konsekwensi logis dari faham monotheisme dalam revivalis Islam adalah (1) pemahaman yang kaku (rigid) dan tekstualis terhadap al-Qur’an dan sunnah dengan menghilangkan peran nalar terhadap intepretasi teks, (2) penolakan terhadap praktik keislaman yang bercampur unsur budaya maupun inovasi teknik ibadah yang kemudian dinilai bid’ah, shirik ataupun khurafat, (3) penolakan terhadap peniruan agama (taqli>d) buta, (4) mudah menjustifikasi kafir terhadap faham yang tidak sejalan kelompoknya. Menurut Greg Feally, faham seperti ini  dinilai berafiliasi dengan pemikiran Ah}mad bin H{anbal (madhhab H{ana>bilah), Ibnu Taymiyah dan Ibnu Abdul Wahab (wahabisme).[31]
Pada mulanya pemurnian ajaran yang dilakukan Imam Ah}mad bin H{anbal bertujuan agar masalah hukum tidak terjebak dalam gagasan liberalisme yang dapat mendestruksi keutuhan dan keotentikan nas}s} karena pengaruh filsafat Yunani sebagaimana mu’tazilah serta menghindarkan dari penyimpangan agama dalam bentuk praktik bid’ah, khurafat, ritual ibadah yang tidak berpangkal pada ajaran Allah yang kesemuanya dinilai muncul dari gerakan sufisme.[32] Pemikiran ini dilanjutkan oleh Ibnu Taimiyyah dengan menyerang praktik tasawuf dan tarekat yang menurutnya sama sekali tidak berorientasi kepada sunnah Nabi. Tarekat mengetengahkan konsep wali, wasilah, ziarah kubur dan karamah yang mengandung unsur khurafat, bid’ah dan shirik. Ibnu Taimiyyah berusaha menghilangkan itu semua dan menyerukan kembali kepada tauhid dan beragama sesuai al-Qur’an dan sunnah. Selain itu, memahami al-Qur'an juga tidak boleh menggunakan ta’wi>l (metafora) ataupun tashbi>h, akan tetapi harus sesuai dengan bunyi nas}s} yang ada.[33]
Revivalis Islam dilanjutkan oleh wahabi yang dipelopori Muhammad bin ‘Abd al-Wahab.[34] Gerakan ini lebih ekstrim dalam menyikapi perbedaan dengan kelompok lain, yakni dengan kekerasan. Nalar dianggap tidak mampu memberikan intepretasi yang tepat terhadap teks. Dalam kerangka ini masyarakatlah yang harus menyesuaikan perkembangannya dengan bunyi literal nas}s} kalau perlu dengan kekerasan, bukan sebaliknya dengan penafsiran yang harus mengikuti perkembangan masyarakat.[35]
Faham seperti itu juga dianut MMI, bahwa shari’at adalah segala aturan hidup serta tuntunan yang diajarkan oleh agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw.[36] Dalam manhaj MMI juga dinyatakan bahwa manhaj perjuangan adalah al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw yang shahih.[37] Doktrin senada juga dinyatakan JAT. Dalam poin 4 (empat) dan 6 (enam) dalam Aqi>dah dan Manhaj JAT serta adalam khit}t}ah JAT pada poin jati diri JAT, semuanya menyatakan bahwa semua ajaran Islam hanya bersumber dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw.[38]
Penolakan terhadap faham yang dianggap terkontaminasi budaya dan nalar manusia juga jelas ditolak oleh MMI dan JAT. Dalam khit}t}ah JAT poin pandangan ideologi dikatakan bahwa “JAT bukan saja menolak diterapkannya ideologi-ideologi ciptaan manusia, bahkan meyakini dan mendakwahkan bahwa jalan keselamatan dan kesejahteraan lahir serta batin seluruh bangsa di dunia ini hanyalah dengan menerapkan shari>’at Islam semata. Dimana pada kenyataannya, ideologi-ideologi dunia yang dibangun di atas dasar kebathinan (seperti freemasonry dan sufistik) atau materialisme (seperti kapitalisme dan komunisme) maupun ideologi yang bersumber dari kemusyrikan (seperti nasionalisme dan demokrasi), telah menjerumuskan kemanusiaan ke dalam jurang kebangkrutan nilai dan kebobrokan moral kepada kondisi yang sangat buruk dan kejam”. [39] Selain itu, dalam poin 2 piagam Yogyakarta MMI dinyatakan, menolak segala ideologi yang bertentangan dengan Islam yang berakibat shirik dan nifaq serta melanggar hak-hak asasi manusia.[40]
2.        Negara Islam, Khila>fah Isla>mi>yah dan Formalisasi Shari>’at
Konsentrasi gerakan revivalis Islam lainnya adalah pendirian khila>fah Isla>mi>yah, negara Islam maupun penegakan shari>’at Islam. Penegakan shari>’at Islam wajib bagi setiap muslim dalam semua aspek kehidupan. Konsepsi mengenai kebersamaan dan persaudaraan (ukhu>wah) dan kemanfaatan yang diraih keseluruhan umat dan alam semesta (rah}matan li al-‘a>lami>n) berakibat pada munculnya kebutuhan akan pengaturan umat sedunia dalam satu komando yang disebut khila>fah Isla>mi>yah. Kekuatan semacam itu dapat dibentuk dengan mudah melalui langkah awal mewujudkan negara Islam di seluruh dunia (ima>mah).[41]
Jika diruntut sejarahnya, terdapat gerakan purifikasi yang kedua dengan motor penggerak Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridha (1865-1935),[42] yang kesemuanya dinilai berfaham wahabi. Di bawah bayang-bayang ketiga pemikir inilah lahir gerakan Islamis prototipikal Ihwanul Muslimin (IM) di Mesir pada tahun 1928 yang dimotori Hasan al-Banna yang berorientasi pada purifikasi di segala bidang dan pemulihan kejayaan Islam dari tekanan barat.[43] Gerakan Islamis prototipikal IM inilah embrio dari berbagai gerakan Islam radikal di dunia karena anggota IM yang banyak didominasi oleh penganut faham wahabi termasuk pendiri dan tokoh-tokohnya kemudian mendirikan berbagai gerakan di dunia.
Akibat runtuhnya khila>fah Turki Uthmani pada 1924,[44] umat muslim mengalami kemunduran dengan menerima dan patuh terhadap pemerintahan dan hukum barat. Oleh karenanya bagi al-Banna pembentukan negara Islam atau kekuasaan Islam adalah konsekwensi dari revivalisasi pengaruh ajaran non Islami. Pada akhirnya setiap yang berbau Barat akan dimusuhi oleh IM, termasuk perang antar negara yang dimonitor oleh Barat. Sehingga IM Mesir juga mengirim relawan ke pemberontakan Arab-Palestina, perang Arab-Israel, mengkoordinasi demontrasi berhaluan keras, melakukan tindakan teror dan pembunuhan politik.[45]
Hal ini menimbulkan konfrontasi dengan pemerintahan Mesir. Puncaknya ditandai dengan terbunuhnya al-Banna dan PM Mahmud Fahmi pada tahun 1940.[46] Pemerintahan baru Gamal Abdul Naseer berupaya mematikan gerakan IM dengan cara memenjara pimpinan dan simpatisan IM sejak tahun 1954. Dengan ditangkapnya Sayyid Qutb pada 1965,[47] menjadikan makin kuatnya IM dengan status gerakan bawah tanah yang dihegemoni oleh Sayyid Quttb dari penjara sehingga tersebar ke penjuru dunia.
Pada tahun 1970 sayap mahasiswa IM melahirkan gerakan konserfatif Al-Jama’ah al-Islamiyah yang awalnya menjadi penggerak utama kekuatan politik Islam di bawah pemerintahan Anwar Sadat. Namun ketika Anwar Sadat melakukan penandatangan damai dengan Israel (perjanjian Camp David) tahun 1970, banyak tokoh al-Jama’ah al-Islamiyah mengungkapkan kritik tajam dan mengkonfrontasi pemerintah, di antaranya Syaikh Omar Abdel Rahman.[48] Sehingga menjadikannya terbunuh pada tahun 1981.
Pada 9 Desember 1987 dunia dikejutkan lahirnya gerakan intifadhah atau bangkitnya pemuda Palestina yang melancarkan serangan terhadap pasukan Israel di jalur Gaza dan tepi barat sungai Yordan. Motor penggerak kebangkitan ini adalah PLO pimpinan Yasser Arafat dan Hamas (H{arakat al-Muqa>wamah al-Islami>yah) yang merupakan salah satu sayap IM.[49]
Pada tahun 1988 terbentuk organisasi al-Qaedah yang didirikan oleh Osama bin Laden, Abu Ayyub al-Iraqi, Ayman al-Zawahiri, dan lainnya. Organisasi ini awalnya bergerak di bidang pelayanan sukarelawan Arab yang datang dan pergi ke Afganistan dan daerah konflik Timur Tengah mulai dari kedatangan ke kamp latihan militer, keberangkatan di medan perang dan menjawab nasib jika ditanya keluarga relawan.[50] Struktur Organisasi al-Qaedah terdiri dari ‘Amir al-‘Am (pemimpin tertinggi), ‘Amir al-Qaedah, Majelis Syura yang terdiri dari 31 pimpinan teras al-Qaedah, komite urusan militer, komite urusan keuangan, komite urusan fatwa dan komite urusan penerangan. Pimpinan dan anggota al-Qaedah berasal dari dua faksi militan IM mesir, yakni Tandzim Jihad pimpinan Ayman al-Zawahiri (murid Sayid Qutb yang masuk IM sejak usia 14 tahun) dan al-Jama’ah al-Islamiyah pimpinan Syekh Omar Abdel Rahman yang merupakan kader IM berpengaruh di Mesir.[51]
Tujuan awal al-Qaedah adalah menegakkan kembali khila>fah Isla>mi>yah untuk menggantikan sistem negara-bangsa barat. Oleh karenanya untuk mencapai tujuan tersebut al-Qaedah perlu menguasai satu negara Islam atau minimal mampu memberikan pengaruh kepada salah satu negara Islam. Dan ketika Osama menguasai Afganistan, pola al-Qaedah berubah menjadi sangat radikal bahkan menggerakan jihad di berbagai negara dalam gerakan separatis sebagaimana perang teluk yang menjadi salah satu ajang keikutsertaan al-Qaedah.[52]
Organisasi inilah yang kemudian bersentuhan langsung dengan organisasi di bawah pimpinan Ba’asyir dan Sungkar, yakni Jama’ah Islamiyyah (JI) karena mereka dan para kadernya pernah mengikuti pelatihan militer al-Qaedah.[53] Kemudian Ba’asyir dan beberapa kadernya mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia yang dikenal sama radikalnya dengan JI, namun sedikit lebih moderat.
Faham khila>fah atau ima>mah yang diusung MMI dan JAT sejalur dengan faham Islam garis keras lainnya, sebagaimana ditunjukkan Piagam Yogyakarta MMI pada poin pertama, “Wajib hukumnya melaksanakan shari>'at Islam bagi umat Islam di Indonesia dan dunia pada umumnya”,[54] dan Visi MMI, yakni “Tegaknya shari>’at Islam dalam kehidupan umat Islam”.[55] Dalam rumusan tujuan MMI, “bersama-sama berjuang menegakkan syari>’at Islam dalam segala aspek kehidupan, sehingga syari>’at Islam menjadi rujukan tunggal bagi sistem pemerintahan dan kebijakan kenegaraan secara nasional maupun internasional. Yang dimaksudkan dengan shari>’at Islam di sini adalah, segala aturan hidup serta tuntunan yang diajarkan oleh agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw.[56] Kontruksi pemahaman tersebut didasarkan atas firman Allah QS. Saba’ 34: 46.
Dalam Tawjih ‘A>m Ba’asyir dalam deklarasi JAT, bahwa shari>’at Islam harus diamalkan secara ka>ffah sesuai dengan perintah-Nya, sebagaimana firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”(QS. al-Baqarah: 208). Dan apabila di>n al-Isla>m diamalkan secara fardi (individu) dan firqah-firqah (golongan) di bawah kekuasaan lain (kafir/sekuler), maka Islam dan kaum muslimin pasti ditimpa kehinaan dan berbagai fitnah karena tidak mampu mengamalkan shari>at Islam secara ka>ffah. Allah berfirman, “Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”(QS. al-Baqarah: 85). Oleh karenanya Islam wajib diamalkan dalam bentuk kekuasaan (dawlah/khila>fah) agar semua shari>’at-Nya dapat diamalkan secara ka>ffah.[57]
Selanjutnya dinyatakan bahwa perjuangan Islam harus mengikuti cara-cara yang benar, yakni mengikuti petunjuk sunnah. Sebagian dari bentuk-bentuk perjuangan yang benar dan mengikuti petunjuk sunnah adalah (1) tujuan perjuangan adalah tegaknya dawlah/khila>fah Islami>yah, (2) cara mencapai tujuan adalah dakwah, jihad, amar ma’ru>f dan nahi mungkar, (3) sistem organisasi perjuangan adalah dalam bentuk jama’ah dan ima>mah, yakni sistem kepemimpinannya tunggal dan bukan merupakan sistem kepemimpinan kolektif. [58]
Doktrin pendirian negara atau kekuasaan dunia Islam tersebut membuat sekat jelas antara kekuasaan/negara Islam dan kafir. Rumusan MMI, negara Islam adalah negara yang menerapkan shari>’at Islam.[59] Sedangkan menurut JAT negara Islam adalah negara yang memberlakukan hukum Islam dan penguasanya muslim. Sedangkan negara kafir adalah negara yang tidak memberlakukan shari>’at Islam atau sebagian saja dan penguasanya kafir.[60]
Maka faham sekulerisme, pluralisme dan liberalisme dalam berbagai bentuknya dan benderanya, serta macam-macam alirannya, seperti nasionalisme, komunisme, sosialisme dan demokrasi adalah kekafiran nyata yang bertentangan dengan Islam dan mengeluarkan penganutnya dari Islam karena bertentangan dengan firman Allah“Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertaqwa.” (QS. Al-An’âm [6]: 153).[61]
Sistem demokrasi dengan kedaulatan di tangan rakyat dinilai menyalahi kedaulatan Allah.[62] Irfan S. Awwas, ketua lajnah Tanfidziyyah MMI periode 2008-2013 menyatakan:
“Mustahil demokrasi bersinergi dengan shari>’at Islam. Bukan saja demokrasi tidak terikat dengan ajaran agama, tapi juga terdapat sejumlah prinsip dan fakta sejarah Islam yang dimanipulasi dan diklaim milik demokrasi.... Selama ini umat Islam diprovokasi untuk menentang shari>’at dengan alasan bertentangan dengan demokrasi, sementara atas nama demokrasi orang-orang sekuler mendiskriminasi Islam untuk tidak membawa urusan agama dalam urusan Negara”.[63]
Tak luput, Indonesia pun dinilai kafir oleh kelompok ini. Irfan S. Awwas menyatakan bahwa Pancasila bukanlah sistem Islam dan juga bukan produk domistik yang orisinal, melainkan intervensi ideologi transnasional yang dikemas dalam format domistik. Selain itu identik dengan lima qa>nu>n dalam kitab Talmud Yahudi, yaitu monotheisme (ke-Esa-an Tuhan), nasionalisme (berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu Yahudi), humanisme (kemanusiaan yang adil dan beradab bagi Yahudi), demokrasi (dengan cahaya talmud suara terbanyak adalah suara Tuhan), dan sosialisme (keadilan sosial bagi setiap orang Yahudi). Menurutnya, lima asas ini juga mengilhami tokoh-tokoh pergerakan di Asia Tenggara, seperti di China terdapat ajaran San Min Chu I terdiri dari mintsu, min chuan, min sheng, nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme yang dimunculkan Sun Yat Sen yang kemudian mempengaruhi pemikiran Soekarno sebagaimana pidatonya dalam sidang BPUPKI.[64]
Selain terhadap institusi negara, penilaian kafir juga ditujukan pada Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden Indonesia. Saat proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta pada 25 april 2011, Ba’asyir menilainya kafir karena gagal menjalankan shari>’at Islam di Indonesia.[65] Pengkafiran terhadap Indonesia juga dijadikan salah satu ajaran dalam pesantren al-Mukmin Ngruki yang difatwakan Abdullah Sungkar dengan mengharamkan hormat kepada bendera merah putih dan melantunkan lagu Indonesia Raya karena dinilai shirik dan dosa besar.[66]
Analisa yang teramati, munculnya tujuan MMI dan JAT yang ingin mewujudkan khila>fah atau dawlah Isla>mi>yah di Indonesia merupakan kewajaran karena dua faktor. Pertama, MMI dan JAT dapat dikatakan sebagai pecahan dari DI/NII yang merupakan gerakan pribumi untuk Islamisasi Indonesia. Gerakan DI bermula sejak tahun 1947, dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Pada Januari 1948, Kartosuwirjo mendirikan Tentara Islam Indonesia (TII) dan bulan Agustus 1949 ia menyuarakan Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian dikenal juga sebagai Darul Islam (DI). Tahun 1950-an DI/NII melancarkan perang melawan pemerintah. Walaupun pemberontakan DI berpusat di Jawa Barat, namun kemudian tersebar ke Aceh tahun 1950 dipimpin oleh Daud Beureueh dan ke Sulawesi Selatan tahun 1953 dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Menjelang kematiannya pada 1962, Kartosuwirjo dilaporkan menunjuk Daud Beureueh sebagai Imam kedua NII. Sebagai Imam, Daud Beureueh membawa masuk Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar ke dalam DI pada tahun 1967, meskipun ia sendiri tidak pernah bertemu secara langsung dengan mereka.[67] Dan mulai saat itulah faham radikal dari Ba’asyir dan Sungkar yang terbentuk sejak muda tersalurkan dalam bentuk aksi.
Faktor kedua, MMI dan JAT adalah gerakan yang sering bersentuhan dengan gerakan Islam garis keras di Indonesia maupun di dunia. Pelarian ke Malaysia ketika dikejar oleh rezim Soeharto karena terlibat DI merupakan awal dari terbentuknya jaringan Internasional yang dibentuk Ba’asyir dan Sungkar sampai akhirnya mendirikan JI di Malaysia sebagai embrio MMI dan JAT yang selanjutnya bekerjasama dengan Osama bin Laden pada 1990 untuk merekrurt dan melatih relawan Afganistan serta mendirikan khila>fah Isla>mi>yah Asia Tenggara. Kedua faktor ini merupakan sikap tidak puas atas penerapan sistem non Islam di Indonesia.
3.        Jihad
Ajaran yang sering disosialisasikan MMI dan JAT adalah jihad. Penamaan organisasinya juga menggunakan kata berderifasi jihad, yakni mujahidin. Jihad menurut mereka berhukum wajib karena jihad merupakan usaha untuk menuju pencapaian cita-cita negara atau kekuasaan Islam di dunia.[68] Ajaran jihad jelas ditulis dalam poin 5 Piagam Yogyakarta MMI, “Menyeru kaum muslimin untuk menggerakkan dakwah dan jihad di seluruh penjuru dunia demi tegaknya Islam sebagai rah}matan li al-'a>lami>n”.[69] Dalam karakteristik MMI poin 4 dinyatakan harus disiplin menjalankan dakwah dan jihad. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dengan barisan yang teratur seakan-akan mereka laksana sebuah bangunan yang tersusun kokoh.” (Qs. ash Shaff, 61: 4).[70]
Dalam Tauji>h ‘Am JAT juga dinyatakan bahwa sebagai bentuk menjaga shari’at dan menolak kemunkaran, jalan yang tepat digunakan adalah dakwah, ‘amar ma’ru>f wa nahyu munkar, dan jihad.[71] Hal ini didasarkan pada ayat “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah [2]: 256). Dan “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah  dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah[9]: 29).“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jikamereka berhenti (dari kekafiran),Maka Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfa>l [8]: 39).[72]
Ajaran jihad MMI dan JAT diaktualisasikan dengan kegiatan laskar mujahidin dengan fokus kegiatan pengamanan, long march, bela diri, pelatihan kesehatan, roll climbing, pelatihan perang dan lain-lain dengan motto utama dakwah dan jihad untuk penegakan shari>’at Islam menuju izzatul Islam wal muslimin.[73] Doktrin jihad juga ditanamkan di pesantren al-Mukmin Ngruki dengan membuat kredo“hubb al-maut fi sabilillah” (cinta mati di jalan Allah: perang) dan menjauhkan diri dari “hub al-dunya wa kara>hah al-maut” (cinta dunia dan benci mati).[74]
Sekalipun jihad adalah doktrin MMI dan JAT, namun bentuk jihad yang diinginkan gerakan ini terjadi perbedaan pendapat antara masing-masing tokoh. Menurut Ba’asyir, jihad yang dikehendaki bukanlah jihad yang sifatnya subversif (menyerang), namun lebih bersifat mempertahankan dan membalas aksi musuh. Faham Ba’asyir ini muncul sejak ia masih memimpin JI sampai akhirnya menyebabkan ia keluar dari JI karena pada saat itu pemuda JI menginginkan jihad yang sifatnya subversif (menyerang).
Sekalipun saat ini MMI tidak lagi dikomando oleh Ba’asyir, jihad yang tidak bersifat subversif tetap menjadi doktrin. Terbukti dalam pernyataan sikap MMI pada 13 September 2011 terkait kerusuhan Ambon 11 September 2011, Irfan S. Awwas, Shabbarin Syakur dan Muhammad Thalib menyerukan kaum muslim untuk jihad di Ambon untuk membalas serangan musuh muslim di Ambon.[75] Selain itu, MMI mengutuk keras tindakan teroris yang mengedepankan bom bunuh diri, termasuk aksi bom bunuh diri di Masjid Mapolres Cirebon, Jawa Barat, Jumat 15 april 2011 lalu.[76]
Menurut Irfan S Awwas, "Kami mengutuk keras pelaku bom di Mapolres Cirebon". Menurutnya, Islam melarang tindakan merusak atau merobohkan tempat ibadah ataupun menghalangi orang beribadah.[77] Begitu juga dalam harian Viva News, MMI mengutuk ledakan bom bunuh diri Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Solo. Salah satu Ketua MMI Jawa Tengah, Bonny Aznar menyatakan aksi bom bunuh diri yang terjadi di gereja tersebut tidak sesuai dengan shari>’at Islam. "Pemahaman mengenai pemboman bagian dari jihad adalah salah besar," kata dia di Solo, Senin, 26 September 2011. Lebih lanjut, dia mengatakan, pemboman dan bom bunuh diri di lokasi manapun hanya akan menimbulkan korban tidak bersalah bahkan membuat nama Islam semakin tercoreng.[78]
Berbeda dengan Abu Thalut al-Jawi,[79] sebagaimana tulisannya dalam website resmi JAT bahwa terminologi jihad yang hakikat adalah perang di medan pertempuran. Pendapat ini didasarkan pada pendapat h}anafi>yah dalam fath} al-qadi>r dan bada>’i al-s{ana>’i’, madzhab ma>liki>yah dalam kitab h}a>shiyatul ‘Adawy karya Ash-Sho’idiy dan al-Sharh} al-shaghi>r karya Ad-Dardir, madzhab sha>fi’i>yah dalam kitab h{a>shiyah al-ba>ju>ri> dan fath} al-ba>ri>, madzhab h{ana>bilah dalam kitab matha>libu uli al-nuha> dan ‘umdatul fiqh.[80] Begitu juga banyaknya kata jiha>d yang disandarkan pada fi> sabi>lillah. Menurut Ibnu Rushd kata jiha>d fi> sabilillah jika diungkapkan secara mutlak maka tidak ada arti kecuali berjuang memerangi orang kafir dengan pedang hingga menganut Islam atau menyerahkan jizyah. Begitu juga ungkapan Ibnu H{ajar bahwa pengertian yang segera muncul dari kata fi> sabilillah adalah jihad dengan pedang”.[81]
Saat ini terjadi pergeseran makna jihad bahkan lebih membesar-besarkan jihad al-nafs karena didasarkan pada hadi>th bahwa perang adalah jiha>d as}ghar (jihad kecil) sedangkan melawan hawa nafsu adalah jiha>d akbar (jihad besar). Menurut Abu Thalut, ini merupakan ketidakjujuran dan kekeliruan karena hadi>th tersebut mawd}u>’ (ungkapan sahabat), bukan ungkapan nabi. Indikator ke-mawd{u>’-nya terlihat dari maknanya yang bertentengan dengan berbagai nas}s} shara’ lain yang menunjukan jiha>d bermakna qita>l, di antaranya Abu> Hurairah r.a menuturkan, “Seseorang datang kepada Rasulullah saw sembari berkata, ‘Tunjukkan kepadaku suatu amal perbuatan yang menandingi jihad.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Tidak aku peroleh.’ (Kemudian) beliau saw bersabda, ‘Apakah engkau sanggup apabila seorang mujahid keluar (berperang), kemudian kamu masuk masjidmu dan mengerjakan shalat tanpa henti dan berpuasa tanpa berbuka? Rasulullah saw melanjutkan, ‘Dan siapa yang mampu berbuat demikian?’.” (H.R Al-Bukhari). Dan Jika perang (qita>l) dinilai lebih kecil dari pada jiha>d al-nafs, padahal situasi akibat perang (qita>l) mengandung tuntutan kesabaran tingkat tinggi di dalam mengekang hawa nafsu sehingga jiha>d bermakna perang pasti mengandung jiha>d al-nafs.  Maka pantas jika perang (qita>l) lebih besar maknanya dari jiha>d al-nafs.[82]
Konsep jihad MMI dan JAT, juga diaktualisasikan dalam bentuk amar ma’ru>f nahi munkar, yakni pembasmian apa yang disebut sebagai Penyakit Masyarakat (PEKAT), seperti pemabuk, penjudi, dll.[83] Jihad yang demikian lebih membahayakan karena di luar jalur hukum dan sangat mungkin terjadi anarkisme serta konflik sosial. Bahkan akan mengakibatkan phobia terhadap Islam mengingat kekerasan atas nama Islam akan sering muncul di masyarakat.

C. Analisa Potensi Konflik Sosial Atas Pemikiran Hukum MMI dan JAT
Radikalisme Islam Tmur Tengah muncul diawali faktor internal dan eksternal.[84] Kondisi masyarakat muslim di semenanjung Arabia saat dinilai banyak mereduksi dan mengelaborasi ajaran-ajaran Islam sehingga terjebak kemusyrikan, kekufuran, bid’ah dan khurafat dalam bentuk faham sufisme, budaya pengagungan pada tokoh dan benda, kepercayaan terhadap apa yang disebut barakah, tawassul, karamah dan ziarah kubur. Maka lahirlah gerakan pemurnian ajaran Islam pada al-Qur’ab dan hadi>th, yaitu gerakan wahabi dengan motor penggerak Muhammad bin Abdul Wahab yang mendapat sokongan penguasa suku lokal Arab, Muhammad Ibnu Su’ud dan anaknya (Abd. Azizi) di Nejd,[85] yang kemudian ditasbihkan menjadi pemerintah monarki Saudi di sekitar abad 18.[86]
Pemurnian ajaran karena faktor ineternal tersebut berlanjut pada pemurnian karena faktor eksternal. Kondisi muslim yang banyak terpengaruh ajaran-ajaran Barat, baik ajaran sosial politik maupun ajaran yang bersifat keilmuan yang dianggap tidak Islami merupakan faktor kemunculan gerakan purifikasi yang kedua dengan motor penggerak Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridha (1865-1935).[87] Mengingat gerakan ini menginginkan Islamisasi melalui purifikasi di segala bidang, maka selain khurafat dan bid’ah, transmisi ideologi dan politik internasional Barat juga dinilai sebagai sitem kafir yang menjadi bahaya laten dan harus dihilangkan. Gerakannya berusaha merekonsiliasi ide-ide modern dengan menemukan kebaikan dalam agama.[88]. Di bawah pengaruh ketiga pemikir inilah lahir gerakan Islamis prototipikal Ihwanul Muslimin (IM) di Mesir pada tahun 1928 yang dimotori Hasan al-Banna yang berorientasi pada pemulihan kejayaan Islam di bawah tekanan Barat.[89]
Adapun lahirnya Islam radikal di Indonesia, khususnya tentang MMI dan JAT dilatarbelakangi beberapa keadaan yang hampir mirip dengan Timur Tengah. Namun yang paling menonjol adalah faktor kegagalan sistem non Islam untuk mengatasi masalah bangsa sejak kemerdekaan. MMI dan JAT merupakan lanjutan Islam radikal pribumi Indonesia tahun 1947an. Hal ini tergambar dari sejarah deklarator MMI dan JAT yang sebelum berinteraksi dengan al-Qaedah dan kelompok radikal lainnya, Ba’asyir dan Sungkar merupakan bagian dari aktor Islam radikal pribumi di Indonesia, yaitu NII/DI.
Banyak peneliti mengutarakan tesis bahwa Islam radikal di Indonesia secara umum merupakan gerakan yang bersumber dan pecahan gerakan Islam radikal Timur Tengah. Tesis semacam itu dapat dibenarkan untuk selain MMI dan JAT, karena MMI dan JAT adalah gerakan Islam radikal asli Indonesia. Sementara Islam radikal Timur Tengah bagi MMI dan JAT hanyalah sekedar kelompok seperjuangan karena memiliki kesamaan simbol ajaran.
MMI dan JAT merupakan gerakan sosial yang baru muncul sekitar tahun 2000. Gerakan sosial (social movement) menurut Antony Gidens adalah gerakan untuk mencapai suatu kepentingan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan.[90] Situmorang mengatakan bahwa gerakan sosial (social movement) adalah sebuah upaya sadar, kolektif dan terorganisasi untuk mendorong atau menolak perubahan dalam tatanan sosial. Penjelasan ini mengindikasikan bahwa kriteria utama dari gerakan sosial adalah gerakan yang bertujuan untuk mendorong terjadinya perubahan fundamental dalam masyarakat.[91]
Gerakan sosial bermula dari interaksi simbolik antar individu maupun masyarakat. George Herbert Mead (1863–1931) dan Charles Horton Cooley (1846–1929) selaku tokoh interaksionisme simbolis menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Ada tiga premis utama dalam teori interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna. Makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain. Dan makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung. Menurut KJ Veeger yang mengutip pendapat Herbert Blumer, teori interaksionisme simbolik memiliki beberapa gagasan. Di antaranya adalah mengenai konsep diri atau pembentukan diri.[92]
Terkait gerakan sosial MMI dan JAT, tiga pemikiran hukum Islamnya yakni pemurnian sumber hukum/ajaran, khila>fah atau dawlah Isla>mi>yah dan jihad merupakan sebagian simbol interaksi antar individu kelompoknya dan masyarakat. Namun demikian, simbol maupun gerakan sosial tersebut adalah gerakan yang melawan mainstream di Indonesia, sehingga bersinggungan dengan gerakan keagamaan yang lainnya yang tidak jarang memunculkan konflik.
NU dan Muhammadiyyah selaku ormas terbesar di Indonesia misalnya, merupakan ormas yang erat bernuansa budaya lokal. NU dengan budaya Jawa Timur dan Muhammadiyah dengan budaya Minangkabau. Penggunaan nalar dalam ijtihad NU merupakan kewajaran. Selain itu, NU secara jelas mengakui sufistik, tarekat, pengagungan terhadap wali, karamah, kegiatan wirid bersama seperti tahlil dan lain sebagainya yang dianggap khurafat dan syirik oleh MMI dan JAT. NU dan Muhammadiyah merupakan organisasi yang turut serta merumuskan demokrasi pancasila yang saat ini dianggap sistem kafir oleh MMI dan JAT. Bahkan NU merupakan ormas terdepan yang membela pancasila pada saat Gestapu tahun 1966 karena menganggap parpol yang menyerang pemerintah sebagai pemberontak dan makar.
Perbedaan faham MMI dan JAT dengan mainstream muslim Indonesia rentan menimbulkan konflik sosial. De­ngan ideo­lo­ginya yang kaku, keras, dan ekstrem, mereka berusaha mengubah wajah Islam Indo­ne­sia yang umumnya santun dan toleran agar se­perti wajah me­re­ka yang sombong, garang, ke­jam, penuh kebencian, dan merasa berhak menguasai. Kekerasan ini dapat dilihat dalam be­be­rapa aspek. Pertama, kekerasan doktrinal, yakni pe­mahaman literal-ter­tutup atas teks-teks keagamaan dan hanya menerima ke­be­naran sepihak. Hal ini telah memutus dan menghapus sedemikian rupa relasi kongkret dan aktual pesan-pesan luhur agama dari realitas se­jarah, sosial, dan kultural sehingga yang tersisa hanya organ yang se­suai de­ngan ideo­lo­gi me­re­ka.
Kedua, kekerasan tradisi dan budaya, yakni tradisi dan budaya yang telah diakomodasi masyarakat dalam praktek keagamaan divonis sesat dan pelakunya divonis musyrik, murtad, dan/atau kafir seperti tardisi tasawuf, tahlil, tujuh hari kematian, dan lainnya. Hal ini dikarenakan ke­be­naran sepihak yang mereka junjung tinggi sehingga tidak mampu memahami ke­benaran lain yang berbeda.
Ketiga, kekerasan sosiologis, yakni aksi-aksi anarkis dan destruktif terhadap pi­hak lain yang dituduh maksiat, musyrik, murtad, atau kafir dengan dalih jihad dan penegakan shari>’at. Akibatnya, ketakutan, instabilitas, dan kege­lisahan sosial mengancam ne­gara. Parahnya, Dunia menjadi phobia terhadap Islam dan muslim.[93]
Pada dasarnya konflik sosial merupakan kewajaran sosial. Konflik tidak akan berubah menjadi kekerasan jika pihak yang terlibat tidak melanggar hak pihak lain. Menurut M. Ridlwan Nasir, bahwa dalam kajian ilmu sosial, konflik adalah pergerakan dinamika masyarakat. Mengikuti kaum marxian, bahwa tanpa konflik maka dinamika kehidupan masyarakat akan menjadi kurang semarak. Mulai dari konflik masyarakat yang stagnan akan menjadi berubah. Konflik tidak hanya bercorak horizontal, tetapi juga vertikal. Hubungan konfliktual antara sesama penganut agama (intern umat beragama) adalah contoh konflik horizontal, sedangkan konflik vertikal terjadi antara rakyat dan negara atau antara satu strata sosial yang lebih rendah terhadap strata sosial lainya.[94]
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar tercipta perubahan sosial. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama sebab di dalam konflik selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.[95]
Sebagai hal yang alamiah maka penanganan konflik yang diperlukan adalah mengelola konflik dan mentransformasikannya. Menurut Andrew J. Pirree, dalam masyarakat diperlukan Alternative Dispute of Resolution (ADR). ADR ini dipandang sebagai alternatif penyelesaian konflik di masyarakat yang dapat memberikan peran besar pada pelaku untuk menyelasikan persoalannya sendiri di luar lembaga legal atau negara. Bentuk-bentuk praksis dari ADR ini antara lain, negosiasi, mediasi dan arbiterase.[96]
Adapun konflik sosial yang muncul akibat faham MMI dan JAT merupakan kewajaran yang tidak mungkin dihindari. Yang perlu dihindarkan adalah kekerasan akibat konflik tersebut. Cara yang efektif saat ini adalah membuat konsensus bersama antar kelompok Islam dan pemerintah. Konsensus bukan untuk menyatukan faham yang berbeda karena hal itu tidak mungkin terjadi, tetapi untuk mencari satu titik temu faham yang dapat diperjuangkan secara bersama yang berfungsi untuk meredam emosi perbedaan. Misalnya, penegakan shari>’at Islam di Indonesia menjadi titik temu faham yang diperjuangkan bersama. Namun bentuknya bukan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, melainkan menyusupkan prinsip hukum atau shari>’at dalam setiap undang-undang dan peraturan di Indonesia. Selain itu, hukum negara di Indonesia harus benar-benar ditegakkan. Dalam arti siapapun yang dianggap melawan hukum harus ditindak.

Penutup
Hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan dalam tiga poin. Pertama, latar belakang berdirinya MMI dan JAT adalah faktor kegagalan sistem non Islam untuk mengatasi masalah bangsa Indonesia sejak kemerdekaan sampai era reformasi, sebab MMI dan JAT merupakan lanjutan Islam radikal asli pribumi Indonesia tahun 1947an bukan bagian Islam radikal Timur Tengah.
Kedua, sebagai gerakan keagamaan, MMI dan JAT memiliki bermacam pemikiran hukum, di antaranya, sumber hukum Islam hanyalah al-Qur’an dan hadi>th, kewajiban menegakkan shari>’at Islam dalam bentuk negara Islam atau khila>fah Isla>mi>yah, dan kewajiban jihad sebagai instrumen penegakan shari>’at Islam.
Ketiga, tiga pemikiran hukum tersebut memiliki potensi konflik sosial dan kekerasan di Indonesia karena bertentangan dengan pemikiran hukum mainstream muslim di Indonesia, terlebih ketika aksi-aksi untuk memperjuangkan pemikirannya menggunakan cara-cara anarkis dan ekstrim yang melanggar hukum di Indonesia.




Daftar Pustaka

Dari Buku dan Jurnal:
Azra, Azyumardi.  Pergerakan Politik Islam. Jakarta; Yayasan Paramadina, 1996.
Fealy, Greg dan Anthoni Bubalo. Jejak Kafilah, Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia. Bandung; Mizan, 2007.
Imarah, Muhammad. Fundamentalisme Dalam Perspektif Barat dan Islam, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta; Gema Insani Press, 1999.
Irfan S. Awwas, Islam Rahmatan lil Alamin dalam Bingkai Kebhinekaan’, Makalah Seminar Nasional di STAIN Purwokerto, 16 Desember 2010.
Madjid, Nurcholish.  Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta; Paramadina, 1997.
Maftuh, Agus, dkk. Negara Tuhan, The Thematic Ensklopiedia. Yogyakarta; SRI Publising, 2004.
Margono, Suyud. ADR dan Arbitase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.
Nasir, M. Ridlwan. Dialektika Islam dengan Problem Kontemporer. Yogyakarta; Himpunan Orasi Ilmiah Guru Bear IAIN Sunan Ampel Surabaya dan LKIS, 2006..
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Gerakan dan Pemikiran. Jakarta: Bulan Bintang, 1998.
Rahmat, M. Imdadun. Arus baru islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia. Surabaya; Erlangga, 2008.
Ramri, Andi Muawiyah, dkk.  Demi Ayat Tuhan. Jakarta; OPSI, 2006.
Rubaidi, A. Radikalisme Islam. Nahdlatul Ulama Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia. Surabaya; LTNU PWNU Jatim, 2008.
Situmorang, Abdul Wahib. Gerakan Sosial Studi Kasus Beberapa Perlawanan. Yogjakarta; Pustaka Pelajar, 2007.
Syaifullah, M. Mediasi Di Indonesia. Semarang; Pusat Penelitian Univ. Walisongo Semarang, 2006.
Turmudzi, Endang (ed. all.). Islam dan radikalisme di Indonesia. Jakarta; LIPI Press, 2005.
Veeger, KJ. Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta; Gramedia, 1985.
Wahid, Abdurrahman (ed. All.). Ilusi Ne­gara Islam: Ekspansi Ge­rakan Islam Transnasio­nal di Indo­ne­sia. Jakarta; TheWahid Institute, 2009.
Yusoff, Zulkifli Haji Mohd & Fikri Mahmud, Gerakan Teroris Dalam Masyarakat Islam:Analisis Terhadap Gerakan Jemaah Islamiyah (JI), dalam jurnal Usuluddin Univ Malaya, Vol. 1, No.21. Juli 2005.
Dari Koran:
Koran Tempo 16 Juni 2007.
Koran Tempo 16 Juni 2007.
Koran Tempo, 9 November 2002.
Dari Internet dan Website Resmi MMI dan JAT:
Abdul Wahid Kadungga: Aktivis Internasional, Suara Hidayatullah, Oktober 2000, dalam http://www.hidayatullah. com/2000/10/siapa.shtml.

Abu Bakar Ba’ashir, Aqi>dah dan Manhaj Ansharut Tauhid. Dalam http://www.ansharuttauhid.com/read/jamaah/182/aqidah-dan-manhaj

Abu Bakar Ba’ashir, Taujih ‘Am. Dalam http://www.ansharuttauhid.com/read/jamaah/182/taujih.


Abu Bakar Ba’asyir, Khiththoh JAT, Karanganyar, Jawa Tengah. Dalam http://www.ansharuttauhid.com/read/jamaah/180/khiththoh-jat.

Abu Bakar Ba’asyir, Pernyataan Resmi JAT Sebagai Klarifikasi Berbagai Pemberitaan Dan Tuduhan, yang dikeluarkan di Sukoharjo , 27 Jumadil Ula 1431 / 12 Mei 2010. Dalam http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/pernyataan-dan-klarifikasi-resmi-jama-ah-anshorut-tauhid.htm.

Abu Thalut al-Jawi, Aplikasi Fiqih Jihad Di Masa Kini, dalam http://www.ansharuttauhid.com.


Ba’asyir Mundur dari Majelis Mujahidin, Dalam http://www.thejihads.com/2009/03/abu-bakar-baasyir-mundur-dari-majelis.html.

Irfan S. Awwas, Pancasila dalam Talmud. Dalam http://majelismujahidin.com/2011/06/pancasila-dalam-talmud/#more-517.


Jama’ah Islamiyah, http://id.wikipedia.org/wiki/Jamaah_Islamiyah. Diakses pada 12 Oktober 2011.


Kegiatan Laskar Mujahidin, dalam http://laskarmujahidin.wordpress.com/about.






Piagam Yogyakarta MMI 2008. http://majelis mujahidin.wordprees.com.


Ustadz Abu Bakar Ba’asyir Kembali Disudutkan Media Karena Pernyataannya Yang Tegas, Dalam http://arrahmah.com/ read/2011/04/26/12068-ustadz-abu-kembali-disudutkan-media-karena-pernyataannya-yang-tegas-.html.





* Pengajar di Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Fakultas Syariah Sekolah Tinggi Islam Bani Fatah Jombang.

Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. EKSPLORIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger