Jangan di Klik

Hukum Menikahi Wanita Hamil dan Status Anak Hasil Perkawinan Wanita Hamil


Hukum Menikahi Wanita Hamil dan Status Anak Hasil Perkawinan Wanita Hamil
(Sebuah Pengantar Diskusi)
Moh. Dliya’ul Chaq


Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil dapat diklasifikasi pada dua macam:
1.    Perempuan yang dalam keadaan hamil diceraikan oleh suaminya.
2.    Perempuan yang hamil karena melakukan zina
Berikut penjelasan masing-masing klasifikasi menikahi wanita hamil di atas:

1.    Perempuan yang dalam keadaan hamil diceraikan oleh suaminya
Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, menurut kesepakatan ulama’ hukumnya tidak boleh dinikahi sampai habis ‘iddahnya. Dan ‘iddah-nya ialah sampai melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq: 4)

Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Alasan keharaman dan ketidakabsahan menikahi wanita hamil yang cerai dari suaminya adalah karena pada masa iddah terdapat larangan menikah sebab wanita pada asa iddah sejatinya masih memiliki ikatan perkawinan dengan suami yang menceraikannya da nada beberapa konsekwensi hokum yang masih terikat dengan suami yang menceraikannya tersebut seperti rujuk, mut’ah talak, nafkah, dan lain sebagainya.

2.    Perempuan yang hamil karena melakukan zina
Sedangkan hokum menikahi Perempuan yang hamil karena melakukan zina, para ulama’ berbeda pendapat:
  1. Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dijadikan pedoman dalam praktik peradilan Agama, disebutkan dalam pasal 53:
1)    Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya;
2)    Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsung tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3)    Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Terkait masalah nasab / hubungan anaknya dengan orang tuanya, dalam KHI pasal 99, yang isinya sebagai berikut, “Anak yang sah adalah: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut”

KHI tidak menjelaskan lebih detail tentang hal lain, seperti usia kehamilan saat menikah dan lain sebagainya.

  1. Madzhab Hanafiyah
Menurut Imam Hanafi, “Wanita hamil karena zina itu tidak ada iddahnya, bahkan boleh mengawininya, tetapi tidak boleh melakukan hubungan seks hingga dia melahirkan kandungannya”. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi saw:
لا توطء حامل حتى تضع . . . .
”Janganlah kamu melakukan hubungan teseks terhadap wanita hamil sampai dia melahirkan …..”

  1. Madzhab Malikiyah
Menurut Imam Malik, beliau mengatakan tidak boleh melangsungkan perkawinan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki lain sampai dia melahirkan kandungannya. Mereka berpendapat sama halnya dengan yang dikawini dalam bentuk zina atau syubhat atau nikah fasid, maka dia harus mensucikan diri dalam waktu yang sama dengan iddah. Dengan alasan sabda Nabi saw:
 “tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menyiramkan airnya (sperma) kepada tanaman orang lain, yakni wanita-wanita tawanan yang hamil, tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat mengumpuli wanita tawanan perang sampai menghabiskan istibra’nya (iddah) satu kali haid”.
Juga didasarkan sabda Nabi :“Jangan kamu menggauli wanita hamil sampai dia melahirkan dan wanita yang tidak hamil sampai haid sat kali”.
Dengan dua hadits di atas, Imam Malik berkesimpulan bahwa wanita hamil tidak boleh dikawini, karena dia perlu iddah. Imam Malik memberlakukan secara umum, termasuk wanita hamil dari perkawinan yang sah, juga wanita hamil dari akibat perbuatan zina.

  1. Madzhab Syafi’iyah
Menurut Imam Syafi’I, “Hubungan seks karena zina itu tidak ada iddahnya, wanita yang hamil karena zina itu boleh dikawini, dan boleh melakukan hubungan seks sekalipun dalam keadaan hamil”. Hal Ini didasarkan pada sabda Nabi saw :
لها الصداق بها استحللت من فرجها و الوالد عبد لك
”bagi dia maskawinnya, karena kamu telah meminta kehalalannya untuk mengumpulinya sedang anak itu hamba bagimu . . . “

Menurut Imam Nawawi, Apabila seorang perempuan berzina, maka tidak ada iddah baginya, baik ia dalam keadaan tidak hamil maupun hamil. Karena itu, jika ia dalam keadaan tidak hamil, maka boleh bagi penzina dan lainnya yang bukan menzinainya menikahinya dan jika ia hamil karena zina, maka makruh menikahinya sebelum melahirkan anaknya.” (Maktabah Syamilah: Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Juz. XVI, hlm. 242)
Menurut Sayyed Abdullah bin Umar dan Syaikh Muhammad al-Asykhar al-Yamany mengatakan, Boleh nikah wanita hamil karena zina, baik oleh pezina itu sendiri maupun lainnya dan boleh disetubuhi ketika itu tetapi makruh. (Usaha Keluarga: Bughyatul Mustarsyidin, Semarang, hlm. 201)
Menurut Ibrahim al-Bajuri, disebutkan: Jika seorang lelaki menikahi perempuan yang sedang hamil karena zina, pastilah sah nikahnya. Boleh me-wathi-nya sebelum melahirkannya, menurut pendapat yang paling shahih.

  1. Madzhab Hanabilah
Menurut Imam Ahmad, beliau mengatakan tidak boleh melangsungkan perkawinan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki lain sampai dia melahirkan kandungannya. Mereka berpendapat sama halnya dengan yang dikawini dalam bentuk zina atau syubhat atau nikah fasid, maka dia harus mensucikan diri dalam waktu yang sama dengan iddah. Dengan alasan sabda Nabi saw:
 “tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menyiramkan airnya (sperma) kepada tanaman orang lain, yakni wanita-wanita tawanan yang hamil, tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat mengumpuli wanita tawanan perang sampai menghabiskan istibra’nya (iddah) satu kali haid”.
Juga didasarkan sabda Nabi :“Jangan kamu menggauli wanita hamil sampai dia melahirkan dan wanita yang tidak hamil sampai haid sat kali”.
Dengan dua hadits di atas, Imam Ahmad berkesimpulan bahwa wanita hamil tidak boleh dikawini, karena dia perlu iddah. Imam Ahmad memberlakukan secara umum, termasuk wanita hamil dari perkawinan yang sah, juga wanita hamil dari akibat perbuatan zina. Bahkan menurut Imam Ahmad, wanita hamil karena zina harus bertaubat, baru dapat melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang mengawininya.


Permasalahan yang muncul di masyarakat adalah, Bagaimana hokum perkawinan wanita hamil karena zina dengan orang yang bukan menzinahinya yang telah jelas kehamilannya karena zina dengan orang yang bukan menikahinya?
Imam an-Nawawi menyatakan, “Laki-laki hendaknya tidak menikahi perempuan pezina dan perempuan sebaiknya tidak menikahi lelaki pezina tapi tidak haram apabila hal itu dilakukan. Begitu juga apabila seorang pria menikahi wanita yang tidak diketahui pernah berzina, kemudian diketahui setelah terjadi hubungan intim bahwa wanita itu pernah berzina sebelum menikah atau setelahnya maka wanita itu tidak haram baginya dan tidak boleh bagi suami mengambil lagi maskawinnya juga tidak boleh mem-fasakh nikahnya. Dan boleh bagi suami untuk merneruskan atau menceraikan wanita tersebut. Begitu juga apabila istri menemukan fakta bahwa suami pernah berzina sebelum menikah atau setelah menikah, sebelum dukhul atau setelahnya, maka tidak ada khiyar atau pilihan untuk berpisah kalau sudah jadi istri dan wanita itu tidak haram bagi suaminya. Baik perzina itu dihad atau tidak, ada saksi atau mengaku tidak haram zinanya salah satu suami istri atau zina keduanya atau maksiat lain kecuali apabila berbeda agama keduanya karena sebab syirik atau iman.”

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dijadikan pedoman dalam praktik peradilan Agama, disebutkan dalam pasal 53:
1)   Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya;
2)   Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsung tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3)   Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Selanjutnya, bagaimana status nasab anak yang dilahirkan dari wanita hamil karena zina yang dinikahi oleh laki-laki yang bukan menzinahinya. Dalam hal ini para ulama’ sepakat tentang nasab anak zina, yaitu mengikuti ibunya. Nasab anak pasti mengikuti ibunya didasarkan pada kelahiran (wiladah), baik berasal dari perkawinan yang sah maupun fasid (tidak terpenuhi syarat dan/atau rukun), perzinaan maupun wat’I (persetubuhan) secara syubhat (terjadi kekeliruan).
Sementara ketika menghubungkan nasab anak yang dilahirkan dari wanita hamil karena zina baik yang dinikahi oleh laki-laki yang menzinahinya atau bukan menzinahinya, di sini terjadi selisih faham. Sebenarnya ulama’ salaf sepakat bahwa anak zina nasabnya hanya ikut pada ibunya. Sementara di sisi lain, menurut ulama’, penentuan nasab didasarkan fakta pernikahan, wathi syubhat dan hubungan tubuh budak-sayyid.
Dalam hal menentukan nasab yang didasarkan fakta perkawinan, terdapat beberapa syarat:
1.   Adanya kemungkinan isteri hamil dari suaminya ditandai dua hal, yaitu:
a.   Suami tergolong orang yang dapat menghamilkan isteri, karena dia sudah dewasa (baligh) atau murahiq (berumur dua belas tahun);
b.   Adanya kemungkinan terjadi persetubuhan antara suami dan isteri setelah akad nikah, baik secara kebiasaan ataupun secara rasio (akal). Tiga mazhab (selain Hanafiyyah) hanya membenarkan kemungkinan tersebut menurut kebiasaan. Sedangkan, Hanafiyyah membenarkan kemungkinannya secara rasio. Hal ini berdasarkan adanya kemungkinan bahwa suami tergolong orang yang mempunyai karamah, yang dapat mendekatkan sesuatu yang jauh. Artinya, jarak suami dan isteri jauh, yang secara kebiasaan tidak mungkin terjadi persetubuhan.
2.   Isteri melahirkan anak setelah 6 bulan sejak akad nikah. Jika dia melahirkan anak kurang dari 6 bulan, maka nasab anak tidak dapat dihubungkan kepada suaminya sebagai bapak dari anak. Hal ini karena 6 bulan merupakan batas minimal masa janin dalam kandungan ibunya. Dengan demikian, jika isteri melahirkan anak sebelum 6 bulan, maka hal itu menunjukkan bahwa kandungan itu terjadi sebelum akad nikah. Artinya, nasab anak tidak boleh dihubungkan kepada suami, kecuali jika suami mengakui bahwa anak itu adalah anaknya dan dia tidak mejelaskan bahwa anak itu berasal dari hamil akibat zina. Dalam hal ini, penetapan nasab anak berdasarkan pengakuan (iqrar), tidak berdasarkan firash. Keadaan ini dimungkinkan ketika lelaki menikahi perempuan secara diam-diam (sirri) sebelum pernikahan secara terang-terangan atau lelaki menyetubuhi perempuan melalui akad nikah fasid atau secara shubhah(keliru), yang berakibat hamil sebelum akad nikah secara terang-terangan. Hal demikian didasarkan bahwa nasab merupakan sesuatu yang harus berhati-hati dalam penetapannya. Bahkan, ia termasuk sesuatu yang dapat direkayasa penetapannya selama dapat menutupi kehormatan seorang (‘ird) dan mendorong manusia kepada jalan yang baik.
Golongan Ja’fariyah berpendapat jika isteri melahirkan anak dalam perkawinan yang sah dan 6 bulan atau lebih sejak persetubuhan, maka anak dihubungkan nasabnyakepada suami. Sedangkan, jika ia melahirkan anak sebelum itu atau lebih dari sembilan bulan sejak persetubuhan, maka nasab anak tidak boleh dihubungkan dengan suaminya, kecuali dia mengakuinya (iqrar) dan tidak mengatakan bahwa anak itu berasal dari zina dan dia tidak diketahui dustanya. Bahkan, Ja’fariyah secara tegas menyatakan jika lelaki menikahi perempuan hamil yang telah dizinainya, kemudian melahirkan anak kurang dari 6 bulan sejak akad nikah, maka anak tidak boleh dihubungkan nasabnya kepada lelaki tersebut sebagai bapaknya, kecuali jika dia mengakuinya dan tidak mengatakan bahwa anak itu hasil zina serta dia tidak diketahui dustanya. Dengan demikian, pengakuan merupakan salah satu cara penetapan nasab, selain perkawinan yang sah dan yang disamakannya serta pembuktian (bayyinah).
Maka terjadi selisih faham tentang penentuan nasab ketika terjadi perkawinan wanita hamil karena zina, apakah didasarkan pada fakta bahwa wanita tersebut hamil sebelum menikah sehingga anaknya tergolong anak zina, ataukah diikutkan pada syarat penentuan nasab yang didasarkan fakta perkawinan dengan melihat kemungkinan wathi’ setelah menikah atau masa hamil tidak kurang dari 6 bulan.
Sedangkan dalam Pasal 99 KHI menyatakan: Anak yang sah adalah: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;, b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Pasal 100 KHI menyatakan: Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 101 KHI, Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li`an.
Pasal 102 , (1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama., (2) Pengingkaran yang diajukansesudah lampau waktu terebut tidak dapat diterima
Pasal 103, (1) Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. (2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah. (3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran
yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama trwebut mengeluarkan akta kelahiran bagi
anak yang bersangkutan.
Pasal 104, (1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahya stelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya. (2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.
Pasal 105, Dalam hal terjadinya perceraian : a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; c. biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya.
Pasal 106, (1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keslamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi., (2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari
kewajiban tersebut pada ayat (1).

Apakah laki-laki/perempuan yang menikahi wanita yang hamil akibat zina/laki-laki pezina tetapi laki-laki / perempuan tersebut baru mengetahui setelah terjadi perkawinan, apakah boleh untuk mengajukan talak/cerai?
Pasal 72 KHI ayat 2 dijelaskan: (2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Sedangkan dalam ayat 3 diejalskan: (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Dalam pasal 116 KHI, Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e. sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami menlanggar taklik talak;
k. peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Sementara menurut Imam Nawawi: Laki-laki hendaknya tidak menikahi perempuan pezina dan perempuan sebaiknya tidak menikahi lelaki pezina tapi tidak haram apabila hal itu dilakukan. Begitu juga apabila seorang pria menikahi wanita yang tidak diketahui pernah berzina, kemudian diketahui setelah terjadi hubungan intim bahwa wanita itu pernah berzina sebelum menikah atau setelahnya maka wanita itu tidak haram baginya dan tidak boleh bagi suami mengambil lagi maskawinnya juga tidak boleh mem-fasakh nikahnya. Dan boleh bagi suami untuk merneruskan atau menceraikan wanita tersebut. Begitu juga apabila istri menemukan fakta bahwa suami pernah berzina sebelum menikah atau setelah menikah, sebelum dukhul atau setelahnya, maka tidak ada khiyar atau pilihan untuk berpisah kalau sudah jadi istri dan wanita itu tidak haram bagi suaminya. Baik perzina itu dihad atau tidak, ada saksi atau mengaku tidak haram zinanya salah satu suami istri atau zina keduanya atau maksiat lain kecuali apabila berbeda agama keduanya karena sebab syirik atau iman.



Adapaun salah satu hasil bahtsul masail PCNU Bandung terkait perkawinan wanita hamil karena zina sebagai berikut.
Ekses negatif (mafsadat) era globalisasi komunikasi tanpa batas seperti sekarang ini, telah banyak menelan korban. Terutama para remaja, akibat pergaulan bebas sering ditemukan kasus anak perempuan usia sekolah mengalami hamil di luar nikah. Ini sudah barang tentu menjadi masalah pelik bagi kedua orang tuanya. Sebagai tindak lanjut orang tua ketika mengalami kasus tersebut, umumnya mereka menikahkan anak perempuannya tersebut sesegera mungkin. Yang menjadi pertanyaan,
a. Bolehkan perempuan hamil zina dinikahkan?
b. Kalau boleh apakah bisa kepada siapa saja dinikahkannya?
c. Bagaimana nasab anak yang dikandung tersebut kepada laki-laki yang menikahi ibu kandungnya?
Jawaban:
a.    Boleh
b.    Para ulama sepakat membolehkan perkawinan antar pezina. Namun bila wanita pezina dinikahkan dengan yang bukan pezina, terdapat perbedaan pendapat, yang mana menurut Tabi`în Hasan al-Bashriy, status zina dapat memfasakh pernikahan tersebut. Sedangkan mayoritas ulama membolehkannya, ini karena mereka memosisikan QS. Al-Nûr:3 sebagai sekedar pencelaan saja (الذمّ), bukan sebagai pengharaman (التحريم). Adapun secara rinci terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut:
1)   Boleh dinikahkan serta di-dukhûl kapan saja, sedang hamil maupun tidak, namun makruh di- dukhûl bila sedang hamil, ini menurut ulama Syafi`iyah.
2)   Boleh dinikahkan kapan saja, tetapi kalau hamil tidak boleh di-dukhûl sebelum melahirkan, ini pendapatnya ulama Hanafiyah kecuali Abû Yusûf, dan Ibn Hadâd al-Kanâniy dari golongan Syâfi`iyah.
3)   Tidak boleh dinikahkan sebelum istibrâ’ apakah dengan 3 kali haid atau sampai melahirkan, ini pendapatnya ulama Mâlikiyah dan ditambah harus taubat dulu menurut ulama Hanâbilah.
4)   Tidak boleh dinikahkan bila sedang hamil saja, ini pendapatnya Abû Yusûf dan Zufar.
c.    Adapun nasab anak tersebut bila si ibunya dinikahkan dengan yang menghamilinya, maka dinasabkan ke suaminya jika anak lahir di atas 6 bulan atau kurang dari 4 tahun pasca pernikahan, namun tidak dinasabkan ke suaminya jika anak lahir kurang dari enam bulan pasca pernikahan, kecuali apabila si suami melakukan ikrar pengakuan anak. Namun bila dinikahkannya bukan kepada yang menghamilinya, maka jika anak lahir di atas 6 bulan pasca pernikahan, anak tersebut secara zhahir saja dinasabkan kepada suaminya, dan ia wajib menafikannya (tidak mengakui anak).
Ibarat:
• Fiqh al Islâmiy wa Adillatuh, IX/6648-6650:

يحل بالاتفاق للزاني أن يتزوج بالزانية التي زنى بها، فإن جاءت بولد بعد مضي ستة أشهر من وقت العقد عليها، ثبت نسبه منه، وإن جاءت به لأقل من ستة أشهر من وقت العقد لا يثبت نسبه منه، إلا إذا قال: إن الولد منه، ولم يصرح بأنه من الزنا. إن هذا الإقرار بالولد يثبت به نسبه منه لاحتمال عقد سابق أو دخول بشبهة، حملاً لحال المسلم على الصلاح وستراً على الأعراض. أما زواج غير الزاني بالمزني بها، فقال قوم كالحسن البصري: إن الزنا يفسخ النكاح. وقال الجمهور: يجوز الزواج بالمزني بها.
• Al-Bayân, X/148.

وإن تزوج امرأة، وأتت بولد لأقل من ستة أشهر من حين العقد.. انتفى عنه بغير لعان؛ لأن أقل مدة الحمل ستة أشهر بالإجماع، فيعلم أنها علقت به قبل حدوث الفراش.

• Mughniy al-Muhtâj, V/61.

تنبيه: سكت المصنف عن القذف وقال البغوي: إن تيقن مع ذلك زناها قذفها ولاعن وإلا فلا يجوز؛ لجواز كون الولد من وطء شبهة، وطريقه كما قال الزركشي، أن يقول: هذا الولد ليس مني وإنما هو من غيري، وأطلق وجوب نفي الولد، ومحله إذا كان يلحقه ظاهرا.

• Bughyah al Mustarsyidîn, 235.
نكح حاملاً من الزنا فولدت كاملاً كان له أربعة أحوال ، إما منتف عن الزوج ظاهراً وباطناً من غير ملاعنة ، وهو المولود لدون ستة أشهر من إمكان الاجتماع بعد العقد أو لأكثر من أربع سنين من آخر إمكان الاجتماع ، وإما لاحق به وتثبت له الأحكام إرثاً وغيره ظاهراً ، ويلزمه نفيه بأن ولدته لأكثر من الستة وأقل من الأربع السنين ، وعلم الزوج أو غلب على ظنه أنه ليس منه بأن لم يطأ بعد العقد ولم تستدخل ماءه ، أو ولدت لدون ستة أشهر من وطئه ، أو لأكثر من أربع سنين منه ، أو لأكثر من ستة أشهر بعد استبرائه لها بحيضة وثم قرينة بزناها ، ويأثم حينئذ بترك النفي بل هو كبيرة ، وورد أن تركه كفر ، وإما لاحق به ظاهراً أيضاً ، لكن لا يلزمه نفيه إذا ظن أنه ليس منه بلا غلبة ، بأن استبرأها بعد الوطء وولدت به لأكثر من ستة أشهر بعده وثم ريبة بزناها ، إذ الاستبراء أمارة ظاهرة على أنه ليس منه لكن يندب تركه لأن الحامل قد تحيض ، وإما لاحق به ويحرم نفيه بل هو كبيرة ، وورد أنه كفر إن غلب على ظنه أنه منه ، أو استوى الأمران بأن ولدته لستة أشهر فأكثر إلى أربع سنين من وطئه ، ولم يستبرئها بعده أو استبرأها وولدت بعده بأقل من الستة ، بل يلحقه بحكم الفراش ، كما لو علم زناها واحتمل كون الحمل منه أو من الزنا ، ولا عبرة بريبة يجدها من غير قرينة ، فالحاصل أن المولود على فراش الزوج لاحق به مطلقاً إن أمكن كونه منه ، ولا ينتفي عنه إلا باللعان والنفي ، تارة يجب ، وتارة يحرم ، وتارة يجوز ، ولا عبرة بإقرار المرأة بالزنا ، وإن صدقها الزوج وظهرت أماراته.



Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. EKSPLORIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger