Hukum
Menikahi Wanita Hamil dan Status Anak Hasil Perkawinan Wanita Hamil
(Sebuah Pengantar Diskusi)
Moh.
Dliya’ul Chaq
Perempuan
yang dinikahi dalam keadaan hamil dapat diklasifikasi pada dua macam:
1. Perempuan yang dalam
keadaan hamil diceraikan oleh suaminya.
2. Perempuan yang
hamil karena melakukan zina
Berikut
penjelasan masing-masing klasifikasi menikahi wanita hamil di atas:
1.
Perempuan yang dalam keadaan hamil diceraikan
oleh suaminya
Adapun perempuan hamil yang diceraikan
oleh suaminya, menurut kesepakatan ulama’ hukumnya tidak boleh dinikahi sampai habis
‘iddahnya. Dan ‘iddah-nya ialah sampai melahirkan sebagaimana
dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ
أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil
waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq: 4)
Dan hukum menikah dengan perempuan
hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana
dalam firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ
حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kalian ber’azam
(bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al-Baqarah:
235)
Alasan keharaman dan ketidakabsahan menikahi
wanita hamil yang cerai dari suaminya adalah karena pada masa iddah terdapat
larangan menikah sebab wanita pada asa iddah sejatinya masih memiliki ikatan
perkawinan dengan suami yang menceraikannya da nada beberapa konsekwensi hokum yang
masih terikat dengan suami yang menceraikannya tersebut seperti rujuk, mut’ah
talak, nafkah, dan lain sebagainya.
2.
Perempuan yang hamil karena melakukan
zina
Sedangkan hokum menikahi Perempuan
yang hamil karena melakukan zina, para ulama’ berbeda pendapat:
- Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
dijadikan pedoman dalam praktik peradilan Agama, disebutkan dalam pasal 53:
1)
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan
dengan pria yang menghamilinya;
2)
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1)
dapat dilangsung tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3)
Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil,
tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Terkait masalah nasab / hubungan anaknya
dengan orang tuanya, dalam KHI pasal 99, yang isinya sebagai berikut, “Anak
yang sah adalah: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
b. hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh
isteri tersebut”
KHI tidak menjelaskan lebih detail
tentang hal lain, seperti usia kehamilan saat menikah dan lain sebagainya.
- Madzhab Hanafiyah
Menurut Imam Hanafi, “Wanita hamil
karena zina itu tidak ada iddahnya, bahkan boleh mengawininya, tetapi tidak
boleh melakukan hubungan seks hingga dia melahirkan kandungannya”. Pendapat
ini didasarkan pada sabda Nabi saw:
لا توطء حامل
حتى تضع . . . .
”Janganlah kamu melakukan hubungan
teseks terhadap wanita hamil sampai dia melahirkan …..”
- Madzhab Malikiyah
Menurut Imam Malik, beliau mengatakan
tidak boleh melangsungkan perkawinan antara wanita hamil karena zina dengan
laki-laki lain sampai dia melahirkan kandungannya. Mereka berpendapat sama
halnya dengan yang dikawini dalam bentuk zina atau syubhat atau nikah fasid, maka
dia harus mensucikan diri dalam waktu yang sama dengan iddah. Dengan alasan
sabda Nabi saw:
“tidak halal bagi seorang yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat menyiramkan airnya (sperma) kepada tanaman orang lain,
yakni wanita-wanita tawanan yang hamil, tidak halal bagi seorang yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat mengumpuli wanita tawanan perang sampai
menghabiskan istibra’nya (iddah) satu kali haid”.
Juga didasarkan sabda Nabi :“Jangan
kamu menggauli wanita hamil sampai dia melahirkan dan wanita yang tidak hamil
sampai haid sat kali”.
Dengan dua hadits di atas, Imam Malik berkesimpulan
bahwa wanita hamil tidak boleh dikawini, karena dia perlu iddah. Imam Malik memberlakukan
secara umum, termasuk wanita hamil dari perkawinan yang sah, juga wanita hamil
dari akibat perbuatan zina.
- Madzhab Syafi’iyah
Menurut Imam Syafi’I, “Hubungan
seks karena zina itu tidak ada iddahnya, wanita yang hamil karena zina itu
boleh dikawini, dan boleh melakukan hubungan seks sekalipun dalam keadaan
hamil”. Hal Ini didasarkan pada sabda Nabi saw :
لها الصداق بها
استحللت من فرجها و الوالد عبد لك
”bagi dia maskawinnya, karena kamu
telah meminta kehalalannya untuk mengumpulinya sedang anak itu hamba bagimu . .
. “
Menurut Imam
Nawawi, Apabila seorang perempuan berzina, maka tidak ada iddah baginya, baik
ia dalam keadaan tidak hamil maupun hamil. Karena itu, jika ia dalam keadaan
tidak hamil, maka boleh bagi penzina dan lainnya yang bukan menzinainya
menikahinya dan jika ia hamil karena zina, maka makruh menikahinya sebelum
melahirkan anaknya.” (Maktabah Syamilah: Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Juz.
XVI, hlm. 242)
Menurut
Sayyed Abdullah bin Umar dan Syaikh Muhammad al-Asykhar al-Yamany mengatakan, Boleh
nikah wanita hamil karena zina, baik oleh pezina itu sendiri maupun lainnya dan
boleh disetubuhi ketika itu tetapi makruh. (Usaha Keluarga: Bughyatul
Mustarsyidin, Semarang, hlm. 201)
Menurut
Ibrahim al-Bajuri, disebutkan: Jika seorang lelaki menikahi perempuan yang
sedang hamil karena zina, pastilah sah nikahnya. Boleh me-wathi-nya sebelum
melahirkannya, menurut pendapat yang paling shahih.
- Madzhab Hanabilah
Menurut Imam Ahmad, beliau mengatakan
tidak boleh melangsungkan perkawinan antara wanita hamil karena zina dengan
laki-laki lain sampai dia melahirkan kandungannya. Mereka berpendapat sama
halnya dengan yang dikawini dalam bentuk zina atau syubhat atau nikah fasid, maka
dia harus mensucikan diri dalam waktu yang sama dengan iddah. Dengan alasan
sabda Nabi saw:
“tidak halal bagi seorang yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat menyiramkan airnya (sperma) kepada tanaman orang lain,
yakni wanita-wanita tawanan yang hamil, tidak halal bagi seorang yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat mengumpuli wanita tawanan perang sampai
menghabiskan istibra’nya (iddah) satu kali haid”.
Juga didasarkan sabda Nabi :“Jangan
kamu menggauli wanita hamil sampai dia melahirkan dan wanita yang tidak hamil
sampai haid sat kali”.
Dengan dua hadits di atas, Imam Ahmad berkesimpulan
bahwa wanita hamil tidak boleh dikawini, karena dia perlu iddah. Imam Ahmad memberlakukan
secara umum, termasuk wanita hamil dari perkawinan yang sah, juga wanita hamil
dari akibat perbuatan zina. Bahkan menurut Imam Ahmad, wanita hamil karena zina
harus bertaubat, baru dapat melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang
mengawininya.
Permasalahan
yang muncul di masyarakat adalah, Bagaimana hokum perkawinan wanita hamil
karena zina dengan orang yang bukan menzinahinya yang telah jelas kehamilannya
karena zina dengan orang yang bukan menikahinya?
Imam
an-Nawawi menyatakan, “Laki-laki hendaknya tidak menikahi perempuan pezina
dan perempuan sebaiknya tidak menikahi lelaki pezina tapi tidak haram apabila
hal itu dilakukan. Begitu juga apabila seorang pria menikahi wanita yang tidak
diketahui pernah berzina, kemudian diketahui setelah terjadi hubungan intim
bahwa wanita itu pernah berzina sebelum menikah atau setelahnya maka wanita itu
tidak haram baginya dan tidak boleh bagi suami mengambil lagi maskawinnya juga
tidak boleh mem-fasakh nikahnya. Dan boleh bagi suami untuk merneruskan atau
menceraikan wanita tersebut. Begitu juga apabila istri menemukan fakta bahwa
suami pernah berzina sebelum menikah atau setelah menikah, sebelum dukhul atau
setelahnya, maka tidak ada khiyar atau pilihan untuk berpisah kalau sudah jadi
istri dan wanita itu tidak haram bagi suaminya. Baik perzina itu dihad atau
tidak, ada saksi atau mengaku tidak haram zinanya salah satu suami istri atau
zina keduanya atau maksiat lain kecuali apabila berbeda agama keduanya karena
sebab syirik atau iman.”
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
dijadikan pedoman dalam praktik peradilan Agama, disebutkan dalam pasal 53:
1)
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan
dengan pria yang menghamilinya;
2)
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1)
dapat dilangsung tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3)
Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil,
tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Selanjutnya, bagaimana
status nasab anak yang dilahirkan dari wanita hamil karena zina yang dinikahi
oleh laki-laki yang bukan menzinahinya. Dalam hal ini para ulama’ sepakat
tentang nasab anak zina, yaitu mengikuti ibunya. Nasab anak pasti mengikuti
ibunya didasarkan pada kelahiran (wiladah), baik berasal dari perkawinan yang
sah maupun fasid (tidak terpenuhi syarat dan/atau rukun), perzinaan maupun wat’I
(persetubuhan) secara syubhat (terjadi kekeliruan).
Sementara
ketika menghubungkan nasab anak yang dilahirkan dari wanita hamil karena zina baik
yang dinikahi oleh laki-laki yang menzinahinya atau bukan menzinahinya, di sini
terjadi selisih faham. Sebenarnya ulama’ salaf sepakat bahwa anak zina nasabnya
hanya ikut pada ibunya. Sementara di sisi lain, menurut ulama’, penentuan nasab
didasarkan fakta pernikahan, wathi syubhat dan hubungan tubuh budak-sayyid.
Dalam
hal menentukan nasab yang didasarkan fakta perkawinan, terdapat beberapa syarat:
1.
Adanya kemungkinan isteri hamil dari suaminya ditandai
dua hal, yaitu:
a.
Suami tergolong orang yang dapat menghamilkan isteri,
karena dia sudah dewasa (baligh) atau murahiq (berumur dua belas tahun);
b.
Adanya kemungkinan terjadi persetubuhan antara suami dan
isteri setelah akad nikah, baik secara kebiasaan ataupun secara rasio (akal).
Tiga mazhab (selain Hanafiyyah) hanya membenarkan kemungkinan tersebut menurut
kebiasaan. Sedangkan, Hanafiyyah membenarkan kemungkinannya secara rasio. Hal
ini berdasarkan adanya kemungkinan bahwa suami tergolong orang yang mempunyai karamah,
yang dapat mendekatkan sesuatu yang jauh. Artinya, jarak suami dan isteri jauh,
yang secara kebiasaan tidak mungkin terjadi persetubuhan.
2.
Isteri melahirkan anak setelah 6 bulan sejak akad nikah.
Jika dia melahirkan anak kurang dari 6 bulan, maka nasab anak tidak dapat
dihubungkan kepada suaminya sebagai bapak dari anak. Hal ini karena 6 bulan
merupakan batas minimal masa janin dalam kandungan ibunya. Dengan demikian,
jika isteri melahirkan anak sebelum 6 bulan, maka hal itu menunjukkan bahwa
kandungan itu terjadi sebelum akad nikah. Artinya, nasab anak tidak boleh dihubungkan
kepada suami, kecuali jika suami mengakui bahwa anak itu adalah anaknya dan dia
tidak mejelaskan bahwa anak itu berasal dari hamil akibat zina. Dalam hal ini,
penetapan nasab anak berdasarkan pengakuan (iqrar), tidak berdasarkan firash.
Keadaan ini dimungkinkan ketika lelaki menikahi perempuan secara diam-diam (sirri)
sebelum pernikahan secara terang-terangan atau lelaki menyetubuhi perempuan
melalui akad nikah fasid atau secara shubhah(keliru), yang berakibat hamil
sebelum akad nikah secara terang-terangan. Hal demikian didasarkan bahwa nasab
merupakan sesuatu yang harus berhati-hati dalam penetapannya. Bahkan, ia
termasuk sesuatu yang dapat direkayasa penetapannya selama dapat menutupi
kehormatan seorang (‘ird) dan mendorong manusia kepada jalan yang baik.
Golongan Ja’fariyah
berpendapat jika isteri melahirkan anak dalam perkawinan yang sah dan 6 bulan
atau lebih sejak persetubuhan, maka anak dihubungkan nasabnyakepada suami.
Sedangkan, jika ia melahirkan anak sebelum itu atau lebih dari sembilan bulan
sejak persetubuhan, maka nasab anak tidak boleh dihubungkan dengan suaminya,
kecuali dia mengakuinya (iqrar) dan tidak mengatakan bahwa anak itu berasal
dari zina dan dia tidak diketahui dustanya. Bahkan, Ja’fariyah secara tegas
menyatakan jika lelaki menikahi perempuan hamil yang telah dizinainya, kemudian
melahirkan anak kurang dari 6 bulan sejak akad nikah, maka anak tidak boleh dihubungkan
nasabnya kepada lelaki tersebut sebagai bapaknya, kecuali jika dia mengakuinya
dan tidak mengatakan bahwa anak itu hasil zina serta dia tidak diketahui
dustanya. Dengan demikian, pengakuan merupakan salah satu cara penetapan nasab,
selain perkawinan yang sah dan yang disamakannya serta pembuktian (bayyinah).
Maka
terjadi selisih faham tentang penentuan nasab ketika terjadi perkawinan wanita
hamil karena zina, apakah didasarkan pada fakta bahwa wanita tersebut hamil
sebelum menikah sehingga anaknya tergolong anak zina, ataukah diikutkan pada syarat
penentuan nasab yang didasarkan fakta perkawinan dengan melihat kemungkinan
wathi’ setelah menikah atau masa hamil tidak kurang dari 6 bulan.
Sedangkan dalam Pasal 99 KHI menyatakan: Anak yang sah adalah: a.
anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;, b. hasil perbuatan
suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Pasal 100 KHI menyatakan: Anak yang lahir di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 101 KHI, Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang
isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li`an.
Pasal 102 , (1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir
dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu
180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau
setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di
tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama., (2)
Pengingkaran yang diajukansesudah lampau waktu terebut tidak dapat diterima
Pasal 103, (1) Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn
dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. (2) Bila akta kelahiram alat
buktilainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan
yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah. (3) Atas dasar ketetetapan
pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran
yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama trwebut mengeluarkan akta kelahiran bagi
anak yang bersangkutan.
yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama trwebut mengeluarkan akta kelahiran bagi
anak yang bersangkutan.
Pasal 104, (1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan
kepada ayahnya. Apabila ayahya stelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan
dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau
walinya. (2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan
penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.
Pasal 105, Dalam hal terjadinya perceraian : a. Pemeliharaan anak
yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b.
Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih
diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; c. biaya
pemeliharaanditanggung olehayahnya.
Pasal 106, (1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan
harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak
diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang
mendesak jika kepentingan dan keslamatan anak itu menghendaki atau suatu
kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi., (2) Orang tua bertanggung jawab
atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari
kewajiban tersebut pada ayat (1).
kewajiban tersebut pada ayat (1).
Apakah laki-laki/perempuan yang menikahi wanita yang
hamil akibat zina/laki-laki pezina tetapi laki-laki / perempuan tersebut baru
mengetahui setelah terjadi perkawinan, apakah boleh untuk mengajukan talak/cerai?
Pasal
72 KHI ayat 2 dijelaskan: (2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan
terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Sedangkan
dalam ayat 3 diejalskan: (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah
sangka itu menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah
itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat menggunakan haknya
untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Dalam
pasal 116 KHI, Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a.
salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.
salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
c.
salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat
setelah perkawinan berlangsung;
setelah perkawinan berlangsung;
d.
salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain;
e.
sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f.
antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g.
Suami menlanggar taklik talak;
k.
peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam
rumah tangga.
Sementara
menurut Imam Nawawi: “Laki-laki hendaknya tidak
menikahi perempuan pezina dan perempuan sebaiknya tidak menikahi lelaki pezina
tapi tidak haram apabila hal itu dilakukan. Begitu juga apabila seorang pria
menikahi wanita yang tidak diketahui pernah berzina, kemudian diketahui setelah
terjadi hubungan intim bahwa wanita itu pernah berzina sebelum menikah atau
setelahnya maka wanita itu tidak haram baginya dan tidak boleh bagi suami
mengambil lagi maskawinnya juga tidak boleh mem-fasakh nikahnya. Dan boleh bagi
suami untuk merneruskan atau menceraikan wanita tersebut. Begitu juga apabila
istri menemukan fakta bahwa suami pernah berzina sebelum menikah atau setelah
menikah, sebelum dukhul atau setelahnya, maka tidak ada khiyar atau pilihan
untuk berpisah kalau sudah jadi istri dan wanita itu tidak haram bagi suaminya.
Baik perzina itu dihad atau tidak, ada saksi atau mengaku tidak haram zinanya
salah satu suami istri atau zina keduanya atau maksiat lain kecuali apabila
berbeda agama keduanya karena sebab syirik atau iman.
Adapaun salah
satu hasil bahtsul masail PCNU Bandung terkait perkawinan wanita hamil karena
zina sebagai berikut.
Ekses negatif (mafsadat) era globalisasi komunikasi tanpa batas
seperti sekarang ini, telah banyak menelan korban. Terutama para remaja, akibat
pergaulan bebas sering ditemukan kasus anak perempuan usia sekolah mengalami
hamil di luar nikah. Ini sudah barang tentu menjadi masalah pelik bagi kedua
orang tuanya. Sebagai tindak lanjut orang tua ketika mengalami kasus tersebut,
umumnya mereka menikahkan anak perempuannya tersebut sesegera mungkin. Yang
menjadi pertanyaan,
a. Bolehkan perempuan hamil zina dinikahkan?
b. Kalau boleh apakah bisa kepada siapa saja dinikahkannya?
c. Bagaimana nasab anak yang dikandung tersebut kepada laki-laki yang menikahi ibu kandungnya?
a. Bolehkan perempuan hamil zina dinikahkan?
b. Kalau boleh apakah bisa kepada siapa saja dinikahkannya?
c. Bagaimana nasab anak yang dikandung tersebut kepada laki-laki yang menikahi ibu kandungnya?
Jawaban:
a. Boleh
b. Para
ulama sepakat membolehkan perkawinan antar pezina. Namun bila wanita pezina
dinikahkan dengan yang bukan pezina, terdapat perbedaan pendapat, yang mana
menurut Tabi`în Hasan al-Bashriy, status zina dapat memfasakh pernikahan
tersebut. Sedangkan mayoritas ulama membolehkannya, ini karena mereka
memosisikan QS. Al-Nûr:3 sebagai sekedar pencelaan saja (الذمّ), bukan sebagai pengharaman (التحريم).
Adapun secara rinci terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut:
1)
Boleh dinikahkan serta di-dukhûl
kapan saja, sedang hamil maupun tidak, namun makruh di- dukhûl
bila sedang hamil, ini menurut ulama Syafi`iyah.
2)
Boleh dinikahkan kapan saja, tetapi kalau hamil
tidak boleh di-dukhûl
sebelum melahirkan, ini pendapatnya ulama Hanafiyah kecuali Abû Yusûf, dan Ibn
Hadâd al-Kanâniy dari golongan Syâfi`iyah.
3)
Tidak boleh dinikahkan sebelum istibrâ’
apakah dengan 3 kali haid atau sampai melahirkan, ini pendapatnya ulama
Mâlikiyah dan ditambah harus taubat dulu menurut ulama Hanâbilah.
4)
Tidak boleh dinikahkan bila sedang hamil saja,
ini pendapatnya Abû Yusûf dan Zufar.
c. Adapun
nasab anak tersebut bila si ibunya dinikahkan dengan yang menghamilinya, maka
dinasabkan ke suaminya jika anak lahir di atas 6 bulan atau kurang dari 4 tahun
pasca pernikahan, namun tidak dinasabkan ke suaminya jika anak lahir kurang
dari enam bulan pasca pernikahan, kecuali apabila si suami melakukan ikrar
pengakuan anak. Namun bila dinikahkannya bukan kepada yang menghamilinya, maka
jika anak lahir di atas 6 bulan pasca pernikahan, anak tersebut secara zhahir
saja dinasabkan kepada suaminya, dan ia wajib menafikannya (tidak mengakui
anak).
Ibarat:
• Fiqh al Islâmiy wa Adillatuh, IX/6648-6650:
• Fiqh al Islâmiy wa Adillatuh, IX/6648-6650:
يحل
بالاتفاق للزاني أن يتزوج بالزانية التي زنى بها، فإن جاءت بولد بعد مضي ستة أشهر
من وقت العقد عليها، ثبت نسبه منه، وإن جاءت به لأقل من ستة أشهر من وقت العقد لا
يثبت نسبه منه، إلا إذا قال: إن الولد منه، ولم يصرح بأنه من الزنا. إن هذا
الإقرار بالولد يثبت به نسبه منه لاحتمال عقد سابق أو دخول بشبهة، حملاً لحال
المسلم على الصلاح وستراً على الأعراض.
أما زواج غير الزاني بالمزني
بها، فقال قوم كالحسن البصري: إن الزنا يفسخ النكاح. وقال الجمهور: يجوز الزواج
بالمزني بها.
• Al-Bayân,
X/148.
وإن
تزوج امرأة، وأتت بولد لأقل من ستة أشهر من حين العقد.. انتفى عنه بغير لعان؛ لأن
أقل مدة الحمل ستة أشهر بالإجماع، فيعلم أنها علقت به قبل حدوث الفراش.
• Mughniy al-Muhtâj,
V/61.
تنبيه:
سكت المصنف عن القذف وقال البغوي: إن تيقن مع ذلك زناها قذفها ولاعن وإلا فلا
يجوز؛ لجواز كون الولد من وطء شبهة، وطريقه كما قال الزركشي، أن يقول: هذا الولد
ليس مني وإنما هو من غيري، وأطلق وجوب نفي الولد، ومحله إذا كان يلحقه ظاهرا.
• Bughyah al
Mustarsyidîn, 235.
نكح
حاملاً من الزنا فولدت كاملاً كان له أربعة أحوال ، إما منتف عن الزوج ظاهراً
وباطناً من غير ملاعنة ، وهو المولود لدون ستة أشهر من إمكان الاجتماع بعد العقد
أو لأكثر من أربع سنين من آخر إمكان الاجتماع ، وإما لاحق به وتثبت له الأحكام
إرثاً وغيره ظاهراً ، ويلزمه نفيه بأن ولدته لأكثر من الستة وأقل من الأربع السنين
، وعلم الزوج أو غلب على ظنه أنه ليس منه بأن لم يطأ بعد العقد ولم تستدخل ماءه ،
أو ولدت لدون ستة أشهر من وطئه ، أو لأكثر من أربع سنين منه ، أو لأكثر من ستة
أشهر بعد استبرائه لها بحيضة وثم قرينة بزناها ، ويأثم حينئذ بترك النفي بل هو
كبيرة ، وورد أن تركه كفر ، وإما لاحق به ظاهراً أيضاً ، لكن لا يلزمه نفيه إذا ظن
أنه ليس منه بلا غلبة ، بأن استبرأها بعد الوطء وولدت به لأكثر من ستة أشهر بعده
وثم ريبة بزناها ، إذ الاستبراء أمارة ظاهرة على أنه ليس منه لكن يندب تركه لأن
الحامل قد تحيض ، وإما لاحق به ويحرم نفيه بل هو كبيرة ، وورد أنه كفر إن غلب على
ظنه أنه منه ، أو استوى الأمران بأن ولدته لستة أشهر فأكثر إلى أربع سنين من وطئه
، ولم يستبرئها بعده أو استبرأها وولدت بعده بأقل من الستة ، بل يلحقه بحكم الفراش
، كما لو علم زناها واحتمل كون الحمل منه أو من الزنا ، ولا عبرة بريبة يجدها من
غير قرينة ، فالحاصل أن المولود على فراش الزوج لاحق به مطلقاً إن أمكن كونه منه ،
ولا ينتفي عنه إلا باللعان والنفي ، تارة يجب ، وتارة يحرم ، وتارة يجوز ، ولا
عبرة بإقرار المرأة بالزنا ، وإن صدقها الزوج وظهرت أماراته.
Post a Comment