Jangan di Klik

POLIGAMI DI INDONESIA



POLIGAMI DI INDONESIA
(Sebuah Pengantar)
Oleh: Moh. Dliya'ul Chaq 
Alasan Poligami
Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan juga dalam Bab IX KHI Pasal 57 seperti dijelaskan sebagai berikut:
a.Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Syarat-syarat Poligami
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebagai berikut:
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.  Adanya persetujuan dari istri/ isteri-isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.

Prosedur Poligami
Prosedur poligami menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
Pasal 56 KHI menyatakan:
1)    Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2)    Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
3)    Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau ke empat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57 KHI menyatakan, Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.    a.Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.    b.Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.    c.Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

            Kalau Pengadilan Agama sudah menerima permohonan izin poligami, kemudian ia memeriksa berdasarkan Pasal 57 KHI :
a.     Ada atau tidaknya alasan yang memugkinkan seorang suami kawin lagi;
b.     Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tulisan, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan;
c.     Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hiduo istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
i.        Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau
ii.       Surat keterangan pajak penghasilan, atau
iii.      Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.

Pasal 58 ayat (2) KHI menjelaskan: Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
            Adapun tata cara teknis pemeriksaan menurut Pasal 42 PP Nomor 9 Tahun 1975 adlah sebagai berikut:
(1)  Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan.
(2)  Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Apabila terjadi sesuatu dan lain hal, istri atau istri-istri tidak mungkin diminta persetujuannya atau tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 5 ayat (2) menegaskan:
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mengkin dimintai persetujuannya, dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istri-istrinya selama sekurang-sekurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan (bandingkan juga dengan Pasal 58 KHI).
Dalam Pasal 43 PP Nomor 9 Tahun 1975 lebih lanjut dijelaskan, bila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang.
Kalau sang istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu alasan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 57,  Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi (Pasal 59 KHI). Apabila keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, izin pengadilan tidak diperoleh, maka menurut ketentuan Pasal 44 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan poligami seperti telah diuraikan di atas  mengikat semua pihak, pihak yang akan melangsungkan poligami dan pegawai percatat perkawinan. Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal di atas, dikenakan sanksi pidana. Persoalan ini diatur dalam Bab IX Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 :
(1)  Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
a.      Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah akan dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah);
b.      Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 12, dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman  kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2)  Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas, merupakan pelanggaran.
           
Ketentuan hukum poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin Pengadilan Agama, setelah dibuktikan kemaslahatannya. Dengan kemaslahatan dimaksud, terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan abadi atas dasar cinta dan kasih sayang yang diridhai oleh Allah SWT. Oleh karena itu, segala persoalan yang dimungkinkan akan menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut, sehingga mesti dihilangkan atau setidaknya dikurangi
Status hukum poligami adalah mubah. Mubah dimaksud, sebagai alternatisf untuk beristri hanya sebatas 4 (empat) orang istri. Hal itu ditegaskan oleh Pasal 55 KHI sebagai berikut:
(1)    Beristeri lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.
(2)    Syarat utama beristeri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(3)    Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2) tidak mungkin terpenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari satu.

Pasal-Pasal KHI Tentang Poligami
KHI Pasal 41
(1)  Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;
  1. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
  2. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2)  Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.

KHI Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.

KHI Pasal 55
(1)  Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2)  Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya.
(3)  Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.

KHI Pasal 56
(1)    Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2)    Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
(3)    Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

KHI Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a.      isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b.      isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.      isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

KHI Pasal 58
(1)   Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
a.   adanya pesetujuan isteri;
b.   adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak mereka.
(2)   Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3)   Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

KHI Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tenyang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

KHI Pasal 63
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan.

KHI Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a.   seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b.   perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.
c.   perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain;
d.   perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang-undang No.1. tahun 1974;
e.   perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f.    perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan

KHI Pasal 80
(1)  Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama.
(2)  Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
(3)  Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
(4)  sesuai dengan penghasislannya suami menanggung :
a.   nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b.   biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c.   biaya pendididkan bagi anak.
(5)  Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
(6)  Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
(7)  Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.

KHI Pasal 81
(1)   Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.
(2)   Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3)   Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4)   Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

KHI Pasal 82
(1)   Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tiggaldan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara beri mbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
(2)   Dalam hal para isteri rela dan ihlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.

KHI Pasal 94
1.     Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang,masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
2.     Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.


Pasal UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

UU 1 / 1974
UU 1 / 1974 Pasal 3
(1)   Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2)   Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.

UU 1 / 1974 Pasal 4
(1)  Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2)  Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
  1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
  2. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

UU 1 / 1974 Pasal 5
(1)   Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
  2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
  3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2)   Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

UU 1 / 1974 Pasal 15
Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

UU 1 / 1974 Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :
a.   Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;
b.   Suami atau isteri;
c.   Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d.   Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Share this article :

+ comments + 1 comments

November 30, 2017 at 2:08 AM

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. EKSPLORIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger