Saat kaki menginjak tanah pesantren, itulah saat dimana sang pencari ilmu memulai langkah menuju kesuksesan ukhrowi dan duniawi. Sebab, kehidupan di pesantren penuh dengan pembelajaran tentang kehidupan yang sejati. Ia akan akan tahu betapa mulianya ilmu, betapa mulianya guru, betapa berharganya teman, dan ia akan sadar betapa berharganya kedua orang tuanya saat ia telah menginjakkan kaki di pesantren. Dan pada akhirnya akan menyadari bahwa dirinya hanyalah seorang hamba Allah. Setidaknya itulah santri.
Istilah santri telah dikenal masyarakat Indonesia bahkan dunia. Di Indonesia, banyak santri telah berperan dalam skala nasional dan memberikan warna. Pun telah banyak santri yang berperan dalam skala internasional. Pesantren yang dulunya dikenal kolot mulai membuka pintu dengan mengadopsi beberapa system dan model pendidikan modern non pesantren. Sebaliknya, sistem pendidikan pesantren pun telah banyak diadopsi oleh masyarakat non pesantren. Hasilnya, banyak sekali santri-santri yang mampu berperan dalam skala nasional maupun internasional. Namun anehnya, permasalahan bangsa tentang dekadensi moral tidak menjadi berkurang, bahkan banyak masyarakat yang menilai dalam kondisi darurat. Mulai dari darurat narkoba, darurat pornoaksi, darurat asusila, dan darurat lainnya. Masalah teroris dan faham-faham islam garis keras juga marak bermunculan. Sepertinya santri yang telah berperan tidak mampu mewarnai dengan warna pesantren. Malah terlihat ikut terwarnai oleh warna non pesantren. Tapi semoga saja tidak.
Pertanyaannya adalah, bagaimana menjadi santri yang mampu mewarnai dunia, mampu bersaing dan berkontribusi dalam lingkup internasional. Menurut penulis, jika melihat santri masa lalu dengan produk pesantren salaf sepertinya secara kualitas akhlaknya melebihi santri masa kini, walaupun secara kualitas dan kuantitas kelimuan bisa dibilang sama atau bahkan lebih baik masa kini. Oleh karenanya, santri masa kini perlu kembali menerapkan metode nyantri yang telah dicanangkan ulama’ salaf ASWAJA dan tetap mengambil metode pembelajaran moderan dalam rangka al-Mukhafadhoh ‘alal Qodimisshalih wal AKhdzu Bil Jadidil Ashlakh” sehingga istilah santri sebagai personifikasi orang yang sopan, berakhlak, bertaqwa, bermanfaat, rendah hati, memiliki keilmuan yang mumpuni benar-benar bukan tinggal kenangan dan bukan sekedar nama hari besar nasional.
Metode nyantri yang telah dicanangkan ulama’ salaf ASWAJA dan telah banyak dilaksanakan oleh santri masa lalu, sebagaimana dijelaskan dalam ta’lim al-muta’allim, ihya’ ulumuddin, adab al-alim wa al-muta’allim dan beberpa kitab lainnya, menurut penulis dapat disimpulkan pada lima pokok:
Meluruskan Niat di Pesantren
Niat adalah menjadikan sesuatu sebagai yang diinginkan disertai dengan melaksanakan pekerjaan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Dan tempatnya niat ada dalam hati. Dalam bahasa lain, niat adalah motivasi hati.Niat menempati peran penting untuk mencapai keberhasilan usaha, sebagaimana keterangan sebuah hadits:
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ اللَّيْثِىِّ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ :« أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ».
Hadits ini menunjukkan bahwa kunci keberhasilan usaha adalah niat. Segala bentuk keberhasilan sejatinya adalah hak Allah. Maka jika apapun niatnya adalah Allah semata (ikhlash lillahi ta’ala), maka orang yang niat akan dekat dengan Allah. Dan siapapun yang dekat dengan Allah maka pasti apapun akan diberikan oleh Allah SWT. Maka jelaslah bahwa niat menempati posisi yang paling penting dalam setiap usaha mencapai keberhasilan, termasuk usaha menuntut ilmu.
Dalam Sunan al-Bayhaqi diriwayatkan, ketika fathu makkah, Rasulullah melindungi semua kafir Mekkah yang melakukan perjanjian damai dengan beliau, kecuali empat laki-laki yang tetap diperintahkan untuk membunuhnnya, yaitu Ikrimah bin Abi Jahal, Abdullah bin Khuthol, Maqis bin Shobabah, Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarakh. Sejak pengumuman itu kemmpat orang ini melarikan diri. Abdullah bin Khuthol dan Maqis bin Shobabah ditemukan masyarakat lalu dibunuh. Ikrimah bin Abi Jahal melarikan diri dengan menyebrangi laut merah dengan naik kapal. Namun saat berada di tengah laut, terjadi badai. Semua peumpang panic dan takut. Lalu beberapa dari mereka berteriak, “ikhlaslah terhadap Tuhan kalian karena Tuhan tidak membutuhkan kalian”. Lalu Ikrimah bin Abi Jahal berkata, “Wallahi, jika memang ikhlas dapat menyelamatkanku, Ya Allah jika memang hal ini dapat menjadi perjanjian kita, maka Aku akan dating pada Muhammad dan menyerahkan tanganku kepada tangannya (dengan ikhlas)”. Lalu badai pun berhenti. Dan Ikrimah pun menyerahkan diri pada Nabi Muhammad dengan ikhlas karena Allah. Rasulullah memaafkan dan akhirnya Ikrimah bin Abu Jahal masuk Islam dan mengikti berbagai peperangan melawan orang yang memerangi Islam.
Dalam menuntut Ilmu, niat yang ikhlas adalah kewajiban. Rasulullah bahkan mengancam dalam sebuah hadits:
عن أبي هريرة ــ رضي الله عنه ــ قال قال : رسول الله ــ صلى الله عليه وسلم ــ ( من تعلم علماً مما يبتغى به وجه الله عز وجل لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضاً من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة ــ يعني ريحها ــ ) رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه بسند صحيح
“Dari Abu Hurayrah, Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang belajar ilmu bukan bertujuan karena Allah tetapi ingin mendapatkan harta dunia maka ia tidak akan mencium bau surga:”
Maka tidak benar jika niat mencari ilmu bertujuan agar kelak dihormati orang, agar mudah mencari pekerjaan, agar kelak menjadi pandai ceramah sehingga dibayar mahal, agar mendapatkan ijazah, dan lain sebagainya.
Memahami tujuan di Pesantren
Pesantren adalah tempat belajar agama Islam. Dengan adanya pesantren, maka agama allah akan menjadi luhur (kalimatullohi hiya al-ulya). Tujuan berada di pesantren adalah untuk mencari ilmu sebab mencari ilmu adalah sebuah kewajiban. Perintah untuk mencari ilmu bertujuan untuk menghilangkan kebodohan. Perintah untuk menghilangkan kebodohan dapat dilihat saat pertama Nabi Adam diberi ilmu oleh Allah SWT. Selain itu juga dapat dilihat dari ayat yang pertama kali diturunkan pada nabi Muhammad adalah perintah untuk membaca. Membaca adalah salah satu bnetuk belajar atau mencari ilmu. Dengan demikian, tujuan di pesantren adalah untuk menghilangkan kebodohan agar dapat meluhurkan agama Allah. Hal ini diistilahkan oleh Syekh Muhammad Jamaluddin Ahmad dengan Li I’la’I Kalimatillah.
Melaksanakan segala yang menjadi wasilah mencapai tujuan
Orang yang telah menginjakkan kaki di pesantren berarti ia telah memilih keputusan untuk mencari kebahagiaan dunia akhirat. Setiap orang yang mengambil keputusan harus rela dengan berbagai resiko yang dihadapi (الرضا بالشيء رضى بما يتولد منه) dan harus konsentrasi terhadap keputusannya agar tujuannya segera tercapai dengan cara konsentrasi dan konsisten melaksanakan segala segala yang menjadi wasilah mencapai tujuan. Menurut Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ulumuddin, orang yang mencari ilmu harus meminimalisir segala hal yang berhubungan dengan aktifitas duniawi yang dapat menjauhkan dari aktifitas mencari ilmu. (أن يقلل علائقه من الاشتغال بالدنيا ويبعد عن الأهل والوطن فإن العلائق شاغلة وصارفة). Menurut Imam al-Ghazali, manusia hanya diberi Allah satu hati (ما جعل الله لرجل من قلبين في جوفه), maka tidak mungkin terisi dengan bebagai hal. Maka skala prioritas harus ada dalam setiap hati manusia. Sedangkan prioritas bagi pencari ilmu di pesantren adalah mengaji ilmu-ilmu agama Islam. Maka jika pencari ilmu tersibukkan dengan sesuatu yang bukan menjadi niat dan tujuan awal maka dipastikan akan terjadi deorientasi (berpaling dari tujuan awal), sebagaimana dalam kaidah:
الاشتغال بغير المقصود إعراض عن المقصود
Menjunjung Tinggi Akhlak (Bersih Hatinya dan Sopan Perilakunya)
Akhlak memiliki peran penting dalam kehidupan di dunia. Begitu pentingnya akhlak hingga Rasulullah diutus ke muka bumi ini hanya untuk menyempurnakan akhlak sebagaimana hadits Rasulullah:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
Mengingat ilmu adalah kunci kehidupan, maka para pencari ilmu harus benar-benar memiliki akhlak yang terpuji dan meninggalkan akhlak yang tercela. Jika diibaratkan, maka ilmu ibarat pancoran air dan pencari ilmu adalah gelas untuk mewadahi air. Maka jika gelasnya kotor karena tidak berakhlak dan suka bermaksiat maka air yang yang masuk ke dalam gelas pun juga kotor. Jika diminum akan membahayakan.
Akhlak dalam mencari ilmu memiliki cakupan yang luas, bukan hanya akhlak terhadap sesama, tetapi juga akhlak terhadap Tuhan, terhadap guru, dan juga terhadap ilmu.
Akhlak Terhadap Tuhan
Bagi seorang pencari ilmu, akhlak terhadap Allah harus benar-benar dijaga dengan baik dengan cara menghindari maksiat, baik maksiat batiniah atau lahiriah. Dalam bahasa lain yang digunakan dalam ta’lim muta’allim adalah harus taqwa kepada Allah dalam keadaan sirri (sendirian) atau ‘alaniyah (dihadapan orang lain). Maksiat kepada Allah benar-benar terbukti secara medis dan dalam berbagai fakta dapat merusak otak, konsentrasi dan hafalan. Imam al-Syafi’I pernah mengalami hal ini. Suatu saat, Imam al-Syafi’i tanpa sengaja melihat wajah wanita yang sangat cantik. Setelah kejadian itu Imam al-Syafi’I benar-benar sulit menghafal pelajarannya yang diterima dari gurunya bernama Syekh Waqi’. Lalu Imam al-Syafi’I menyampaikan kondisi ini secara jujur kepada Syekh Waqi’. Dan gurunya itu menasehatinya agar meninggalkan maksiat sebab ilmu adalah cahaya. Dan cahaya tidak akan diberikan pada orang yang bermaksiat. Bukti lain bahwa maksiat dapat merusak otak dan menghilangkan konsentrasi belajar adalah meminum khamer, pacara, melihat yang berbau porno dan lain sebagainya.
Selain itu, wajar jika orang yang mencari ilmu harus menininggalkan maksiat dan berakhlak yang baik pada Allah karena sejatinya orang yang belajar ilmu dan para ulama’ adalah orang yang sedang bersama Allah dan bersanding sejajar dengan Allah dan malaikatnya, sebagaimana firman Allah:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (١٨)
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Akhlak Terhadap Guru
Guru bagi pencari ilmu adalah orang yang paling utama yang harus dihormati sebab guru adalah sumber ilmu. Sang pencari ilmu tidak akan dapat memahami ilmu jika bukan karena jasa guru. Imam al-Ghazali mengibaratkan guru adalah dokter dan murid adalah pasien yang sedang sakit, maka segala nasehatnya harus dilaksanakan. Dalam Ta’lim al-Muta’allim, ihya’ ulumuddin dan beberapa kitab akhlak lainnya, di antara akhlak yang harus dilakukan terhadap guru adalah:
Melaksanakan nasehat atau petunjuk guru secara total atau pasrah
Khidmah (meladeni: jawa) guru
Tawadlu’ terhadap guru
Dilarang menyakiti hati guru
Dilarang menirukan gaya guru
Dilarang duduk ditempat duduknya guru
Dilarang membicarakan kejelekan guru
Dilarang bertanya yang tujuannya nge-tes atau mencar-cari kekurangan ilmu guru, tetapi bertanyalah karena tidak tahu.
Hormati segala yang berhubungan dengan guru, seperti anak guru, tempat duduk guru, sandal guru dan lain sebagainya.
Sabar menerima perintah apapun dari guru, termasuk hukuman
Alasan ilmiah-logis bahwa guru harus dihormati dan dimuliakan adalah selain guru memiliki jasa yang sangat besar terhadap kesuksesan pencari ilmu, guru adalah kepanjangan tangan Tuhan dalam menyampaikan ilmu. Maka sangat tepat jika terdapat berbagai ulama’ yang menyatakan bahwa bagi seorang murid, Ridlolloh fi Ridlosysyaikh (Ridlonya Allah berada pada Ridlonya Guru). Terkait hal ini, penulis sempat dinasehati oleh Syekh Muhammad Jamaluddin Ahmad saat penulis dan beberapa teman telah menyelesaikan studi di tingkat Madrasah Aliyah. Beliau dawuh, “Dimanapun kalian kuliah, domisililah di pondok. Dan jangan sekali-kali melihat atau mengomongkan kejelekan kyai”. Sepertinya beliau sudah melihat gejala-gejala bahwa mahasiswa walaupun dari pesantren sering membicarakan dan melihat kejelekan guru-gurunya. Semoga tidak menjalar ke pesantren.
Maka taatilah kyai, taatilah guru. Jangan sekali-kali mengeluh atas apa yang telah diberikan oleh kyai atau guru-guru karena sejatinya akan berpengaruh terhadap ilmu yang diperoleh.
Akhlak Terhadap Sesama
Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa adab menuntut ilmu adalah membersihkan hati dari sifat-sifat yang tercela karena ilmu adalah ibadah yang dilakukan oleh hati, bukan ibadah yang hanya dilakukan oleh badan (تقديم طهارة النفس عن رذائل الأخلاق ومذموم الأوصاف إذ العلم عبادة القلب). Selain itu Imam al-Ghazali juga menyatakan bahwa pencari ilmu harus menghiasi diri dengan sifat yang terpuji (أن يكون قصد المتعلم في الحال تحلية باطنه وتجميله بالفضيلة وفي المآل القرب من الله سبحانه والترقي إلى جوار الملأ الأعلى من الملائكة والمقربين). Maka sifat iri, dengki, sombong, ‘ujub (bangga terhadap diri sendiri), pamer (riya’), pemarah, suka menuruti syahwat, dan lain sebagainya harus dihilangkan dari hati orang yang sedang mencari ilmu. Imam al-Ghazali memberikan alas an, bahwa orang berilmu (pencari ilmu) adalah orang-orang yang derajaktnya sangat tinggi di sisi Allah (يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات) maka tidak pantas jika memiliki sifat-sifat yang tercela. Selain itu, kemanfaatan ilmu bukan untuk dirinya sendiri melainkan juga harus disebarkan pada orang lain. Maka sangat sulit akan disebarkan atau diterima orang lain jika tidak memiliki akhlak diri yang baik yang menghilangkan rasa simpati orang lain hingga enggan menerima ilmu yang diajarkannya.
Akhlak Terhadap Ilmu
Ilmu dan sarana ilmu yang lain juga harus mendapatkan perhatian akhlak bagi orang yang sedang mencari ilmu. Di antaranya, suci saat belajar/mengaji/sekolah, membawa buku/kitab dengan tangan kanan, menaruh buku di tempat yang jauh dari kaki. Imam al-Ghazali menyatakan dalam kitab ihya’ ulumuddin, bahwa jangan mempelajari fan ilmu lain sebelum menguasai ilmu yang sedang dipelajari dan harus selalu muthola’ah (belajar). Artinya bahwa salah satu cara menghormati ilmu adalah dengan menguasai dan selalu belajar (muthola’ah).
Hidup sesuai aturan Pesantren
Sebagaiman yang telah dijelaskan bahwa orang yang telah menginjakkan kaki di pesantren berarti ia telah memilih keputusan untuk mencari kebahagiaan dunia akhirat. Setiap orang yang mengambil keputusan harus rela dengan berbagai resiko yang dihadapi (الرضا بالشيء رضى بما يتولد منه). Maka bagaimanapun aturan pesantren harus ditaati. Sejatinya peraturan pesantren adalah perintah dari guru yang tertulis. Maka mentaati peraturan pesantren sama halnya dengan mentaati guru.
Selain lima hal pokok di atas, Sykeh Muhammad Jamaluddin Ahmad juga menyampaikan pada santri-santrinya, bahwa rukun santri adalah Shalat berjamaah, mengaji, sekolah dan taat peraturan. Sementara itu Imam al-Syafi’I pernah menyatakan dalam sebuah syair yang terkenal:
ألا لا تنال العلم إلا بستة ... سأنبيك عَنْ مجموعها ببيان
ذكاء وحرص واصطبار وبلغة ... وإرشاد أستاذ وطول زمان
“Wahai saudarakku ingatlah engkau tidak akan mendapatkan ilmu, kecuali dengan enam syarat : kecerdasan, kerakusan (akan ilmu), sabar, memiliki biaya, mendapat petunjuk guru (ada guru yang mengajari), dan menempuh waktu yang lama”
Kunci kesuksesan dunia akhirat adalah adalah berprasangka baik terhadap Allah. Prasangka baik atau kemantapan dalam hati adalah doa yang mustajabah, sebagaimana dalam hadits qudsi:
عَنْ حِبَّانَ بْنِ أَبِي النَّضْرِ ، قَالَ : خَرَجْتُ عَائِدًا لِيَزِيدَ بْنِ الأَسْوَدِ ، فَلَقِيتُ وَاثِلَةَ بْنَ الأَسْقَعِ وَهُوَ يُرِيدُ عِيَادَتَهُ ، فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ ، فَلَمَّا رَأَى وَاثِلَةَ بَسَطَ يَدَهُ وَجَعَلَ يُشِيرُ إِلَيْهِ ، فَأَقْبَلَ وَاثِلَةُ حَتَّى جَلَسَ ، فَأَخَذَ يَزِيدُ بِكَفَّيْ وَاثِلَةَ فَجَعَلَهُمَا عَلَى وَجْهِهِ ، فَقَالَ وَاثِلَةُ : كَيْفَ ظَنُّكَ بِاللهِ ؟ قَالَ : ظَنِّي بِاللهِ وَاللهِ حَسَنٌ ، قَالَ : فَأَبْشِرْ ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم ، يَقُولُ : قَالَ اللَّهُ , عَزَّ وَجَلَّ : أَنَا عِنْدَ ظَنَّ عَبْدِي بِي ، إِنْ ظَنَّ خَيْرًا فَلَهُ ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ.
Maka, yakinlah bahwa langkah anda yang telah memilih pesantren sebagai awal menuju kebahagiaan adalah benar dan akan diwujudkan oleh Allah SWT.
Post a Comment