PROBLEMATIKA
PENENTUAN HARI RAYA DI INDONESIA PERSPEKTIF FIQH MADHHAB PENGUASA
Moh. Dliya’ul Chaq
Institut Agama Islam Bani Fattah Jombang,
Indonesia
E-mail: yayakrafi@gmail.com
Artikel ini telah dipublikasikan di Jurnal Ilmiah dengan nama Jurnal Tafaqquh. Untuk Download Versi Pdf. Klik
atau lihat di link berikut: http://jurnal.iaibafa.ac.id/index.php/tafaqquh/article/view/86
Abstract
Determination holiday
in Indonesia always interesting to follow because always ended on absence of
power force by government in bringing together the determination method
holiday, punctuality holiday as well as the implementation of the holiday.
Though fiqh legitimizes power forcefully of the government for not invite
sinners, in the corridors maṣlaḥah and related issues for the people. Fiqh
escorted through governments or that emerges from government in level of
history more effectively and show government authority as fiqh dug by khulafâ’
al-râshidûn. Then it becomes interesting if the determination holidays in
Indonesia viewed from perspective fiqh sect government. Through the model of
content analysis interactif and with the document literature found two
conclusions that perspective fiqh sect government (1) The Indonesian government
has full authority to set the time and method of determining holiday with a
model of collective diligence, in the sense chose a method of determining
holiday and time holiday with representatives of community organizations. And
(2) government decree through collective diligence on holiday must be obeyed
and have binding force against Muslims in Indonesia.
Keywords: Determination of Holiday, Fiqh Sect Government
Problematika Penentuan Hari Raya di Indonesia
Penentuan hari raya di
Indonesia selalu menarik untuk diikuti setiap tahunnya, selain karena tidak
mampunya pemerintah dalam menyelesaikan masalah yang sama sejak bertahun-tahun
yang lalu, juga karena dalam setiap sidang ithbâṭ yang dipimpin oleh menteri agama selalu ada
pembiaran atas nama toleransi dan keberagaman terhadap mereka yang tidak
mematuhi ketetapan pemerintah tentang hari raya. Jika yang terjadi selalu
demikian, maka sidang seperti itu tidak perlu dilakukan sebab selain hasilnya
tidak memiliki kekuatan, biaya penyelenggaraan sidang seperti itu tidaklah
murah.
Yang menarik lagi
adalah banyaknya metode penentuan hari raya di Indonesia yang dimiliki oleh
berbagai organisasi massa yang ada di Indonesia. Masing-masing organisasi
mempertahankan metode penentuan hilâl. Memang secara fiqh hal ini legitimate.
Dua metode yang selalu dipertentangkan sejak fiqh klasik sampai sekarang yaitu ru’yat
al-hilâl (ru’yat al-hilâl bi al-‘ayn) dan ilmu ḥisâb (ru’yat
al-hilâl bi al-‘ilm). Dua metode ini berdasar pada ḥadîth Rasulullah saw:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم: أَنَّهُ
ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: «لاَ تَصُومُوا
حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ أُغْمِىَ عَلَيْكُمْ
فَاقْدِرُوا لَهُ»
Artinya:
“Dari Ibn Umar ra. Dari Rasulullah saw,
bahwa Rasulullah saw menyebut bulan Ramadlan dan bersabda, “Jangan kalian puasa
sampai melihat hilâl (bulan tanggal satu), dan jangan kalian berhari raya
sampai melihat hilâl (bulan tanggal satu). Jika awan dilingkupi mendung, maka
sempurnakalah (30 hari).” [1]
Metode ru’yat al-hilâl
telah jelas dinyatakan dalam ḥadîth itu. Dan menurut Imam al-Nawâwî dalam
karyanya Sharḥ Ṣaḥîḥ al-Muslim dikatakan kalimat فَاقْدِرُوا
لَهُ
memunculkan tiga pemaknaan, yaitu (1) memperkirakan adanya hilâl jika
langit cerah dan memperkirakan tidak terlihatnya hilâl jika langit tidak
cerah. Ini adalah pendapat Ibn Ḥanbal
yang mengikuti pendapatnya ‘Abdullâh Ibn ‘Umar, (2) memperkirakan dengan ḥisâb (ilmu astronomi). Sebagaimana pendapat
Ibn Surayj (Shâfi’iyyah), Muṭraf bin ‘Abdillâh (tâbi’în)
dan Ibn Qutaybah (ahli ḥadîth), dan (3) menyempurnakan 30 hari sebagaimana
pendapat Imam al-Ḥanafî, Imam Mâlik, Imam
al-Shâfi’î dan Jumhur ulama’ salaf serta khalaf. [2]
Sejaka masa fiqh klasik
sampai sekarang di Indonesia, dua metode ini digunakan dan dipertentangkan
sehingga di Indonesia menjadi problematika di yang tidak terselesaikan sampai
sekarang, terlebih dua organisasi massa terbesar di Indonesia yang terus
berbeda. Sebagian fanatik terhadap metode ilmu ḥisâb, yaitu menentukan
hari raya berdasarkan perhitungan edar rembulan, seperti organisasi
Muhammadiyah. Sedangkan NU fanatik dengan metode ru’yat al-hilâl melihat
hilâl (rembulan) secara langsung saat tanggal 28 di bulan sebelum hari
raya. Peluang untuk menyatukan dua ormas terbesar ini sejatinya ada, sebab NU
masih mengakui keberadaan ilmu ḥisâb sebagai penentu kalender.
Perbedaan ilmu ḥisâb versi NU dan Muhammadiyah adalah bahwa
Muhammadiyah menjadikan ilmu ḥisâb sebagai metode utama penentu hari
raya dengan kriteria wujûd al-hilâl. Dalam Muktamar Tarjih Muhammadiyah
XXVI di Padang Tahun 2003 dapat diambil kesimpulan:
Pertama, Ḥisâb
mempunyai fungsi yang sama dengan ru’yat sebagai pedoman penetapan awal
bulan ramadlan, syawal dan dzulhijjah.
Kedua, Ḥisâb
sebagaimana tersebut pada poin satu yang digunakan oleh Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah ialah ḥisâb
hakiki dengan kriteria wujûd al-hilâl.
Ketiga, Mutlak yang digunakan
adalah mutlak yang didasarkan pada wilâyat al-ḥukm (Indonesia).
Keempat, Apabila
garis batas wujûd al-hilâl pada awal bulan qamariyah tersebut membelah
wilayah Indonesia maka kewenangan menetapkan awal bulan tersebut diserahkan
kepada kebijakan pimpinan pusat Muhammadiyah.[3]
Sedangkan NU dan
mayoritas ormas islam di Indonesia menjadikan ru’yat al-hilâl sebagai
metode utama. Dan NU menjadikan ilmu ḥisâb sebagai metode pendamping
dan pembantu ru’yat al-hilâl sehingga muncul istilah imkân al-ru’yah.
Dengan kata lain, ilmu ḥisâb digunakan untuk memperkirakan apakah hilâl
mungkin dilihat atau tidak. Berdasarkan observasinya, kemungkinan hilâl
dapat dilihat jika hasil perhitungan ilmu ḥisâb adalah hilâl
berada di atas ufuk tidak kurang dari 2 derajat. Artinya, jika berdasarkan
perhitungan ilmu ḥisab hilâl kurang dari 2 derajat, maka hilâl
tidak mungkin di rukyah tetapi tetap harus melakukan ru’yat al-hilâl
sebagai bentuk pelaksanaan terhadap perintah ru’yat dalam naṣṣ.
Inilah ketetapan NU saat ini.
Jadi jika NU memberikan
batas minimal hilâl dapat di ru’yat (2 derajat) yang dihitung
dengan ilmu ḥisâb dan menjadikan ru’yat al-hilâl sebagai metode
utama, sedangkan Muhammadiyah menjadikan ilmu ḥisâb sebagai metode yang
setara dengan ru’yat al-hilâl dan tidak memberi batas minimal hilâl
dapat dilihat. Artinya, selama hasil perhitungannya adalah hilâl tidak
nol atau tidak kurang dari nol di atas ufuk maka hilâl dianggap ada atau
wujud. Dua cara pandang ini sulit untuk disatukan sehingga sering terjadi
perbedaan pelaksanaan hari raya di Indonesia. Belum lagi mereka yang
menggunakan perhitungan kalender dengan metode adat aboge.
Sepertinya para
pengguna metode hanya memperhatikan content metode dalam fiqh klasik dan
ilmu ḥisâb, tidak memperhatikan peran pemerintah terkait penentuan hari
raya. Pengenyampingan peran pemerintah ini akibat dari anggapan sebagaian
masyarakat bahwa puasa dan hari raya adalah wilayah privat bukan wilayah publik.
Menurut penulis, penentuan puasa dan hari raya adalah urusan publik yang
memerlukan peran pemerintah karena; Pertama, penentuan puasa dan hari
raya berpengaruh terhadap aktifitas dan tugas di masyarakat di Indonesia; Kedua,
penentuan puasa dan hari raya tidak dapat dilakukan oleh masing-masing individu;
dan Ketiga, penentuan puasa dan hari raya yang berbeda rentan
menimbulkan gesekan sesama umat muslim di wilayah masyarakat umum.
Upaya pelaksanaan hari
raya yang serentak telah dilakukan oleh pemerintah tapi dengan cara yang tidak
tegas. Dan hasilnya nihil, sampai tahun 2016 pun hari raya tidak serentak. Memang
pernah terjadi hari raya yang berlangsung secara serentak di Indonesia, namun
itu bukanlah hasil upaya pemerintah, melainkan karena sebuah kebetulan, yaitu
kesamaan hasil dari kelompok yang pro ilmu ḥisâb dengan kelompok yang
pro ru’yat al-hilâl serta kelompok yang pro perhitungan berdasarkan
adat.
Seharusnya pemerintah
menampakkan otoritas untuk menentukan hari raya mengingat masalah ini termasuk
masalah publik. Bahkan, fiqh yang diproduksi oleh pemerintah atau penguasa
dalam tataran sejarah berlaku sangat efektif. Hal ini dapat dilihat pada fiqh
masa khulafâ’ al-râshidûn yang sangat efektif.[4] Oleh karenanya,
artikel ini membahas problematika penentuan hari raya di indonesia perspektif
fiqh mazhab penguasa dengan fokus pembahasan pada (1) apakah pemerintah
Indonesia memiliki otoritas penuh dalam menetapkan waktu dan metode penentuan
hari raya dan (2) apakah pemerintah Indonesia berhak menghukum pelanggar
ketetapan pemerintah tentang hari raya.
Penentuan Hari Raya Dalam Fiqh
Peneyempurnaan Tanggal 30 (Ikmâl al-Thalâthîn)
Di antara cara untuk
menetapkan hari raya adalah menyempurnakan bulan Ramadlan 30 hari. Metode ini
dilakukan jika hilâl (bulan sabit tanda tanggal satu) belum terlihat,
yang didasarkan pada ḥadîth Rasulullah di atas.
Ḥadîth tersebut tidak secara
jelas menyebutkan kalimat 30 hari, tetapi dalam ḥadîth lain disebutkan.
Bahkan ḥadîth sejenis yang menjelaskan hal ini jumlahnya sangat banyak
dan kualitas ḥadîthnya ṣaḥîh
li dhâtih
atau ṣaḥîḥ li ghayrih.[5] Namun demikian, dalam
karya al-Nawâwî yang berjudul Sharḥ Ṣaḥîḥ al-Muslim terdapat
perbedaan pemakanaan kalimat فَاقْدِرُوا لَهُ:
Pertama, bermakna memperkirakan
adanya hilâl jika langit cerah dan memperkirakan tidak terlihatnya hilâl
jika langit tidak cerah. Ini adalah pendapat Ibn Ḥanbal yang mengikuti pendapatnya ‘Abdullâh Ibn
‘Umar.[6] Dalam faṭḥ al-bârî
karya Ibn Ḥajar al-Asqalânî dan ‘awn al-ma’bûd karya Shams al-Ḥaqq
terdapat kutipan pendapat Ibn al-Jawzî (Ibn al-Qayyim al-Jawzî) yang
menjelaskan bahwa terkait masalah ini terdapat tiga pendapat Ibn Ḥanbal, yaitu (1) wajib puasa jika tidak
terlihat hilâl walaupun tanggal 30 Ramadlan, (2) tidak boleh puasa
apapun, (3) dikembalikan kepada keputusan pemerintah atau imam.[7]
Kedua, Bermakna
memperkirakan dengan ḥisâb (ilmu astronomi). Sebagaimana pendapat Ibn
Surayj (Shâfi’iyah), Muṭraf bin ‘Abdillâh (tâbi’în) dan Ibn Qutaybah (ahli ḥadîth).[8]
Ketiga, Bermakna
menyempurnakan 30 hari sebagaimana pendapat Imam al-Ḥanafî, Imam Mâlik, Imam
al-Shâfi’î dan Jumhur ulama’ salaf serta khalaf.[9] Pendapat ini diperkuat
dengan dalil ḥadîth lain yang secara jelas menyebut kalimat 30 hari.
Jika merujuk pendapat fuqahâ’
berbagai mazhab tersebut, penyempurnaan tanggal 30 itu dilakukan jika dalam
kondisi langit tertutup mendung sehingga menyulitkan manusia untuk melihat hilâl.[10] Imam al-Nawâwî
menyampaikan bahwa mayoritas ulama menyatakan jika hilâl sulit dilihat
karena tertutupi awan maka harus disempurnakan menjadi 30 hari, bukan dengan
cara melakukan ḥisâb ilmu falak (perhitungan kalender dengan ilmu
astronomi) karena menurut Imam al-Nawâwî, jika perintahnya harus melakukan ḥisâb
ketika hilâl tertutup mendung, maka akan menyulitkan bagi umat sebab
hanya orang tertentu yang mampu menguasai ḥisâb ilmu falak.[11]
Teramati bahwa pendapat
di atas tentang penyempurnaan 30 hari dalam bulan Ramadlan, memperkirakan hilâl
(bulan) dengan ilmu astronomi atau memperkirakan adanya hilâl jika
langit cerah adalah upaya untuk menghindari pelaksanaan hukum dalam kondisi
keraguan (shakk). Hukum Islam harus dilaksanakan dalam kondisi hati yang
mantap dan yakin. Segala hukum yang masih diragukan harus diupayakan menuju
kondisi yakin. Menurut kaidah fikih, ketika dalam kondisi ragu maka upaya yang
harus dilaksanakan adalah mengembalikan kepada hukum asal. Dalam hal ini, jika hilâl
(bulan) tidak terlihat karena mendung, maka dikembalikan kepada hukum asal,
yaitu tidak ada hilâl yang muncul sehingga dihukumi tetapnya bulan
ramadlan. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih:
الْأَصْلُ الْعَدَمُ
الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
Dengan demikian, metode penetapan Idul Fitri
dengan menyem-purnakan tanggal 30 Ramadlan ketika hilâl tidak terlihat
pada tanggal 29 (terbenamnya matahari tanggal 28) adalah upaya yang paling
tepat untuk menghilangkan keraguan.
Ru’yat al-Hilâl (Melihat Hilâl)
Menurut Abu al-Barakât Ḥusayn bin ‘Ammâr (Ḥanafîyah)
bahwa hukum ru’yat al-hilâl bi al-‘ayni adalah farḍu kifâyah.[14] Dalam hal penerimaan
hasil ru’yat al-hilâl, fuqahâ’ berbagai mazhab berbeda pendapat:
a. Menurut
Fuqahâ’ Ḥanafîyah
Menurut
Wahbah Zuḥaylî bahwa fuqahâ’ Ḥanafîyah menyatakan penentuan awal ramadlan dan
hari raya harus dengan melihat hilâl menggunakan mata kepala (ru’yat
al-hilâl bi al-‘ayn). Oleh karenanya, penentuan dengan ḥisâb atau
ilmu falak (ru’yat al-hilâl bi al-‘ilm) tidak diperbolehkan.[15] Dan ru’yat al-hilâl
dapat diterima dan dijadikan pedoman untuk memutuskan hari raya jika:
Pertama, dipersaksikan di
depan hakim oleh minimal dua laki-laki atau satu lak-laki dan dua perempuan
yang adil dalam keadaan langit tertutup sesuatu yang menghalangi pandangan
melihat hilâl seperti mendung, awan, debu, dan lain sebagainya.[16] Menurut Abû Bakar al-Ḥaddâdî
al-‘Ibâdî persaksian dalam keadaan langit tertutup mendung atau sejenisnya
diterima karena sangat mungkin satu orang melihat hilâl dalam keadaan
seperti ini walaupun yang lainnya tidak melihat.[17]
Kedua,
dipersaksikan
di depan hakim oleh orang banyak dalam keadaan langit cerah dan tidak tertutup
sesuatu yang menghalangi pandangan melihat hilâl seperti mendung, awan,
debu, dan lain sebagainya. Jika langit cerah dan dipersaksikan sedikit orang,
maka persaksiannya tidak bisa diterima oleh hakim karena sangat mungkin bahwa
apa yang dilihatnya adalah salah mengingat mayoritas orang tidak melihatnya.[18]
Perdebatan
ulama’ ḥanafîyah terkait persaksian dan penerimaan ru’yat al-hilâl
ramadlan dan syawal adalah tentang kualitas dan kuantitas pelaku ru’yat
al-hilâl. Terkait kuantitas pelaku ru’yat al-hilâl, ulama’ mayoritas
ḥanafîyah membatasi minimal dengan dua orang laki-laki atau satu laki-laki
dengan dua wanita jika kondisi langit tidak cerah dan harus orang banyak jika
kondisi langit cerah. Namun Abû Bakar al-Ḥaddâdî al-‘Ibâdî menyatakan
sebenarnya tidak ada batasan walupun banyak yang merujuk pendapat Abû Yûsuf
yang menyatakan batasan minimalnya dianggap banyak (jika kondisi langit cerah)
adalah 50 orang. Namun menurut al-Ḥaddâdî al-‘Ibâdî bahwa pendapat yang benar
adalah dikembalikan kepada imam (pemerintah) berapapun jumlah pelaku ru’yat
al-hilâl.[19]
Terkait
kualitas pelaku ru’yat al-hilâl, mayoritas ḥanafîyah menyatakan bahwa
pelaku ru’yat al-hilâl dapat diterima hasil ru’yatnya jika
tergolong ‘adâlah.[20] Di antara yang
berpendapat demikian adalah Abû Hanîfah,[21] al-Hasan,[22] al-Sarakhsî,[23] Ibn Nujaym,[24] Ibn Mawdûd al-Mûṣilî,[25] dan al-Ḥaddâdî al-‘Ibâdî.[26] Adanya persyaratan ini
menurut Ibn Nujaym dan al-Sarakhsî karena hilâl hari raya berdampak pada
banyak orang yang pberhenti puasa ramadlan sehingga sama halnya dengan masalah
yang berhubungan dengan hak orang banyak.[27] Oleh karenanya orang
yang diterima persaksiannya ketika melihat hilâl ramadlan atau hari raya
harus jelas-jelas memiliki sifat ‘adâlah. Dan menurut pendapat Abû Ḥanîfah
yang dinukil Ibn Nujaym bahwa orang yang tidak jelas ‘adâlah-nya (mastûr
al-ḥâl) maka persaksiannya diterima.[28] Jika orang yang
melihat hilâl dan mempersaksikan keterangannya tidak ‘adâlah atau
sudah taubat dari perbuatan yang mencederai ‘adâlahnya maka
persaksiannya tetap tidak dapat diterima sebagaimana pendapat Abû Ḥanîfah dan
al-Hasan.[29] Sementara al-Sarakhsî
menyatakan bahwa orang yang taubat dari sifat yang mencederai ‘adâlahnya
maka persaksiannya dapat diterima sebagai-mana sahabat Rasul menerima
persaksian Abû Bakrah yang sempat menuduh zina orang lain dan ia telah
bertaubat.[30] Sementara ulama’ ḥanafîyah
yang tidak mensyaratkan ‘adâlah dalam persaksian hilâl idul fitri
di antaranya adalah al-Ṭaḥâwî.[31]
Perdebatan
ulama’ ḥanafîyah terkait persaksian dan penerimaan ru’yat al-hilâl
ramadlan dan syawal adalah tentang sikap pelaku ru’yat al-hilâl bagi
dirinya sendiri. Mayoritas ḥanafîyah di antaranya diungkap oleh Ibn Mawdûd
al-Mûṣilî, Abû Bakar al-Ḥaddâdî al-‘Ibâdî dan Ibn Nujaym bahwa orang yang
melihat hilâl ramadlan, wajib baginya melakukan apa yang dilihatnya
walaupun persaksiannya ditolak oleh hakim. Jika ia tidak puasa karena melihat hilâl,
maka wajib baginya qaḍâ’.[32] Bahkan menurut Abû
Bakar al-Ḥaddâdî al-‘Ibâdî hal ini menunjukkan bahwa penentuan awal puasa
tidak disyaratkan untuk dipersaksikan di depan hakim karena hal ini adalah
urusan agama yang cukup dengan berita dari orang yang memiliki sifat ‘adâlah
maka orang yang mendengarkannya boleh untuk mengikutinya.[33] Jika hilâl yang
dilihat adalah hilâl syawal maka wajib mengikuti imam atau pemimpin.
Jika orang yang melihat hilâl syawal persaksiannya ditolak hakim namun
ia tetap membatalkan puasa karena berpedoman pada apa yang dilihatnya, maka
wajib baginya qaḍâ’.[34] Sedangkan menurut al-Ḥasan, Ibn Sîrîn dan Imam ‘Aṭâ’ menyatakan
bahwa orang yang melihat hilâl ramdlan atau syawal tetap wajib mengikuti
Imam atau pemerintah apapun keadaannya.[35] Ibn Nujaym al-Ḥanafî
menyatakan bahwa dasar dari ketentuan harus berpuasa bagi orang yang melihat hilâl
ramadlan walaupun persaksiannya ditolak hakim adalah QS. al-Baqarah: 185;
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu
ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di
antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”.
Sedangkan
dasar untuk kewajiban tetap berpuasa (mengikuti putusan hakim yang menolaknya)
bagi orang yang melihat hilâl hari raya adalah ḥadîth Rasulullah,[36] sebagai berikut:
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «صَوْمُكُمْ يوم تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يوم تُفْطِرُونَ»
Artinya: “Dari Abu Hurayrah bahwa Nabi bersabda:
Puasa kalian adalah di mana kalian semua berpuasa, dan hari raya kalian adalah
di mana kalian semua berhari raya” [37]
Menurut
Ibn Nujaym, melaksanakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh
banyak orang dalam hal penentuan hari raya adalah petunjuk bahwa apa yang
dilihatnya adalah salah.[38] Ibn Nujaym juga
menyatakan bahwa ‘illat kewajiban mengikuti imam walaupun orang tersebut
melihat hilâl hari raya adalah ikhtiyâṭ (hati-hati dalam
memutuskan hukum).[39] Dan menurut Ibn Mawdûd
al-Mûṣilî bahwa konsekwensi ketika awal puasa atau hari raya sudah ditetapkan
pemerintah melalui persaksian, maka wajib bagi seluruh penduduk Negara untuk
mengikutinya.[40]
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa fuqahâ’ ḥanafîyah lebih memilih ketetapan pemerintah dalam menentukan
hari raya. Adapun pemerintah dalam menetapkannya harus mendasarkan pada
persaksian orang-orang yang melakukan ru’yat al-hilâl bi al-‘ayn, bukan
pada ru’yat al-hilâl bi al-‘ilm (ilmu ḥisâb).
b. Menurut
Fuqahâ’ Mâlikîyah
Menurut
Wahbah Zuḥaylî bahwa fuqahâ’ Mâlikîyah menyatakan penentuan awal ramadlan dan
hari raya harus dengan melihat hilâl menggunakan mata kepala (ru’yat
al-hilâl bi al-‘ayn) tidak boleh berpedoman pada hasil ilmu ḥisâb
atau ilmu falak (ru’yat al-hilâl bi al-‘ilm) baik untuk diri sendiri
atau orang lain.[41] Menurut fuqahâ’ Mâlikîyah
bahwa ru’yat al-hilâl dapat diterima dan dijadikan pedoman untuk
memutuskan hari raya jika:
Pertama, dipersaksikan di
depan hakim. Artinya setiap orang yang melihat hilâl wajib mendatangi
hakim dan mempersaksikan apa yang dilihatnya.[42]
Kedua,
dipersaksikan
di depan hakim oleh minimal dua orang yang memiliki sifat ‘adâlah dalam
kondisi langit mendung. Sebagaimana dikatakan oleh Imâm Mâlik, Yûsuf bin ‘Abdillâh
al-Namrî al-Qurṭubî,[43] Aḥmad bin Muḥammad
al-Ṣâwî,[44] dan Muḥammad bin Yûsuf al-‘Abdari.[45]
Ketiga,
dipersaksikan
di depan hakim oleh orang banyak dalam kondisi langit mendung atau cerah.
Mengingat meratanya orang melihat hilâl, maka tidak disyaratkan saksi atau
pelaku ru’yat hilâl adalah orang yang memiliki sifat ‘adâlah.
Sebagaimana dikatakan oleh Yûsuf bin ‘Abdillâh al-Namrî al-Qurṭubî,[46] al-Kharshî,[47] Abu al-Barakât al-Dardîr,[48] dan Aḥmad bin Muḥammad
al-Ṣâwî.[49] Yang dimaksud orang
banyak menurut mâlikîyah adalah saksi yang mencapai bilangan yang tidak mungkin
sepakat untuk berbohong.[50]
Pendapat
mâlikîyah ini menunjukkan bahwa ‘adâlah atau kualitas pelaku ru’yat
al-hilâl menjadi syarat diterimanya persaksian ru’yat al-hilâl
ketika hanya disaksikan oleh dua orang. Oleh karenanya, persaksian wanita, para
budak atau satu laki-laki yang adil tidak dapat diterima. Pendapat ini menurut
al-‘Abdarî adalah pendapat Imam Mâlik yang diikuti oleh ulama’ mâlikîyah.[51]
Perdebatan
fuqahâ’ mâlikîyah adalah tentang kondisi langit cerah tetapi hilâl hanya
disaksikan oleh dua orang saja. Menurut sebagian mâlikîyah jika keadaan langit
cerah dan hanya persaksian dua orang maka persaksiannnya dapat diterima selama
hanya meliputi wilayah kota kecil, jika kota besar maka tidak diterima kecuali
dalam keadaan mendung. Ini adalah pendapat Ibn ‘Arafah,[52] dan al-Lukhamî.[53] Adapun pendapat yang
mashur dalam ulama’ mâlikîyah adalah diterimanya persaksian dua orang ini baik
mendung atau cerah, baik dalam wilayah kota besar atau kecil, sebagaimana
diungkapkan oleh Imam Mâlik, Muḥammad
bin Yûsuf al-Abdarî,[54] Yûsuf bin ‘Abdillâh
al-Namrî al-Qurṭubî.[55]
Menurut
fuqahâ’ mâlikîyah, hilâl syawal yang hanya dilihat oleh satu orang,
persaksiannya ditolak dan orang itu harus mengikuti keputusan hakim sehingga
tidak boleh berhari raya. Ini adalah pendapat Imam Mâlik yang diikuti Ibn al-Qâsim,
Muḥammad bin Yûsuf al-Abdarî,[56] dan Yûsuf bin ‘Abdillâh
al-Namrî al-Qurṭubî.[57] Namun orang itu wajib
niat hari raya tetapi tidak boleh makan sebagaimana pendapat Imam Ashḥâb,[58] dan al-Kharshî.[59] Bahkan Abû al-Barakât
al-Dardîr menyatakan, jika orang itu tetap berhari raya dan memperlihatkan hari
rayanya secara jelas pada masyarakat, maka pemerintah boleh menghukum (ta’zîr).[60]
Menurut
Yûsuf bin ‘Abdillah al-Namrî al-Qurṭubî, konsekwensi jika persaksiannya hanya
dilakukan oleh hakim daerah, maka keputusan hanya berlaku bagi daerah setempat.
Namun jika ditetapkan oleh pemerintah pusat maka berlaku untuk seluruh warga di
seluruh Negara tersebut.[61]
c. Menurut
Fuqahâ’ Shâfi’îyah
Terkait
hasil ru’yat al-hilâl, dalam mazhab shâfi’îyah terlihat ada perbedaan
tentang kualitas dan kuantitas serta lingkup keberlakuan hasil ru’yat al-hilâl.
Jika hilâl dilihat oleh satu orang yang tidak dipersaksikan, baik
tergolong memiliki sifat ‘adâlah atau tidak maka hasil ru’yat
seperti ini tidak berlaku umum satu negara, tetapi berlaku untuk:
Pertama, diri si pelihat hilâl.
Sebagian ulama mensyaratkan tidak boleh memperlihatkan pada khalayak tentang
hari raya yang dilakukannya (sirr). Sebagaimana pendapat Imam al-Shâfi’î,[62] al-Mâwardî,[63] Ibrâhim bin ‘Alî al-Shîrâzî.[64]
Kedua,
orang-orang
yang meyakini kebenaran pelihat hilâl sebagai-mana pendapat Zayn al-Dîn
al-Malîbârî.[65]
Sedangkan
ru’yat al-hilâl yang dapat diterima dan dijadikan pedoman untuk memutuskan
hari raya secara umum untuk masyarakat luas, menurut shâfi’îyah jika
dipersaksikan di depan hakim oleh minimal satu orang yang memiliki sifat ‘adâlah,
sebagaimana yang diungkap oleh ‘Abd al-Raḥmân
al-Jâzirî dan Wahbah Zuhayli.[66]
Tetapi pendapat lain mengatakan minimal
dipersaksikan dua orang yang ‘adâlah sebagaimana pendapat Imam al-Shâfi’î,
al-Mâwardî,[67] dan Ibrâhîm bin ‘Alî
al-Shîrâzî.[68] Namun demikian, Imam
al-Mâwardî menyatakan bahwa jika hilâl hanya dilihat oleh masyarakat
luas di daerah tertentu dalam keadaan mendung, sementara daerah lain tidak
terlihat karena mendung, maka persaksian hilâl itu hanya berlaku pada
daerah yang melihat saja, tidak pada daerah lain yang mendung dan tidak
terlihat.[69]
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa hasil ru’yat al-hilâl yang dapat
dijadikan pedoman masyarakat luas menurut mazhab ini adalah hasil ru’yat
al-hilâl yang dipersaksikan di depan hakim.
d. Menurut
Fuqahâ’ Ḥanâbilah
Ḥanâbilah
menyatakan bahwa hari raya hanya dapat diberlakukan jika dipersaksikan oleh dua
orang yang adil dan boleh perempuan. Bahkan jika ada yang melihat hilâl
hari raya seorang diri, maka orang itu pun tidak boleh berhari raya sendirian.
Atau bahkan jika ada dua orang yang melihat hilâl tetapi tidak
dipersaksikan di depan hakim, maka hasil pengelihatannya itu tidak dapat
dipakai untuk dirinya sendiri atau orang lain. Hal ini didasarkan pada ḥadîth
bahwa perintah berhari raya menggunakan bentuk jamak, berarti harus
dilaksanakan oleh orang banyak.[70]
Dari uraian fiqh empat mazhab tentang ru’yat
al-hilâl, bahwa semua mazhab sepakat dalam penentuan hari raya terdapat
campur tangan pemerintah. Pemerintah melalui hakim memiliki hak untuk menerima
dan menolak persaksian orang yang melihat hilâl. Ulama’ empat mazhab
hanya berbeda mengenai bilangan minimum orang yang bersaksi dalam melihat hilâl.
Ilmu Ḥisâb (Ru’yat al-Hilâl bi al-‘Ilmi)
Metode penentuan hari raya yang ketiga adalah
dengan ilmu ḥisâb yang bisa juga di sebut dengan ru’yat al-hilâl bi
al-‘ilm.
Dalam karya al-Nawâwî yang berjudul Sharḥ Ṣaḥîḥ
al-Muslim dikatakan terdapat perbedaan pemakanaan kalimat فَاقْدِرُوا
لَهُ.
Salah satunya adalah kelompok ulama’ yang memberi maksud dengan memperkirakan
dengan ḥisâb (ilmu astronomi), sebagaimana pendapat Ibn Surayj (Shâfi’iyah),
Muṭraf bin Abdillah (tâbi’în) dan Ibn Qutaybah (ahli ḥadîth).[71] Menurut al-Subkî, ilmu
ḥisâb dapat dijadikan dasar penetapan hari raya atau puasa, bahkan jika
terjadi persaksian yang menyalahi ilmu ḥisâb, artinya jika hasil ilmu ḥisâb
menyatakan bahwa hilâl tidak mungkin dilihat (imkân al-ru’yah)
namun terdapat saksi yang menyatakan hilâl telah terlihat, maka
persaksiannya ditolak.[72]
Kritik terhadap metode ini sangat banyak
sekali. Dimulai dari ulama’ ḥanafîyah yang jelas melarang ilmu ḥisab adalah
Alâ’ al-Dîn al-Haskafi,[73] Shams al-Aimmah
al-Khalwânî,[74] dan Ibn ‘Âbidîn.[75] Menurut Ibn ‘Âbidîn
ulama’ ḥanafîyah sepakat melarang berpedoman pada ilmu ḥisâb dan
melarang untuk mengamalkan hasil ḥisâb bahkan jika mereka adil dan
dalam jumlah banyak. Termasuk juga larangan menggunakan hasil ḥisâb
untuk dirinya sendiri.[76] Ibn ‘Âbidîn mengkritik
pendapat al-Subkî (shâfi’îyah) yang menyatakan bahwa hasil ḥisâb itu
sifatnya pasti, sedangkan persaksian melihat hilâl itu masih tidak pasti
(ḍann) sehingga ḥisâb
tanpa kemungkinan hilâl bisa dilihat (imkân al-ru’yah) pun dapat
diamalkan.[77] Menurut Ibn ‘Âbidîn
pendapat al-Subkî telah dikritik sendiri oleh Ibn Ḥajar al-Haytâmî dan Imam
al-Ramlî (shâfi’îyah) dengan menyatakan bahwa Allah dalam naṣṣ shara’
tidak mengilangkan (meniadakan) hal itu. Selain itu, bahwa kita adalah orang
awam sehingga tidak mungkin untuk melakukan ilmu ḥisâb (falak). Ibn Daqîq
al-‘Îd juga berpendapat bahwa ilmu ḥisâb tidak dapat dijadikan dasar
bahkan untuk shalat. Pendapat-pendapat ini diamini oleh Ibn ‘Âbidîn.[78]
Sebagian kecil ulama’ ḥanafîyah memang
menyatakan bahwa ilmu ḥisâb dapat dijadikan pedoman penentuan awal
puasa dan hari raya sebagaimana sempat diungkapkan oleh ‘Alâ’ al-Dîn al-Haskafî
(Ḥanafîyah) walaupun beliau tidak sepakat dengan pendapat ini.[79] Namun Ibn ‘Âbidîn
menyatakan bahwa apa yang disampaikan ‘Alâ’ al-Dîn al-Haskafî masih perlu
diperjelas sebab memiliki kemungkinan maksud, yaitu boleh untuk mempelajarinya
tetapi tidak boleh dijadikan sandaran sebagaimana pendapat Qâḍî Abd al-Jabbâr
(Ḥanafîyah) atau mungkin boleh untuk dijadikan pedoman selama banyak pendapat
ahli ḥisâb yang sama sebagaimana pendapat Ibn Muqâil (Ḥanafîyah).[80]
Adapun ulama’ mâlikîyah yang melarang ilmu ḥisab
adalah Imam Mâlik, Ibn Nâfi’, Ibn al-‘Arabî,[81] Ibn al-Ḥâjib,[82] Shams al-Dîn al-Ṭarablisî,[83] Muḥammad ‘Arafah al-Dasûqî,[84] Shihâb al-Dîn al-Qarafî,[85] Aḥmad bin Muḥammad
al-Ṣâwî,[86] Muḥammad al-Kharshî,[87] Ibn Yûnus, Muḥammad bin Yûsûf al-‘Abdarî.[88] Bahkan menurut Imam Mâlik
yang juga disampaikan oleh Ibn Nâfi’ bahwa Imam atau pemimpin yang menetapkan
puasa atau hari raya berdasarkan ilmu ḥisâb tidak boleh diikuti.[89] Al-Dasûqî beralasan
bahwa penentuan hilâl dengan ilmu ḥisâb bukanlah metode shar’îyah,[90] karena metode shara’
dalam hal ini, menurut al-Kharshî hanya dengan ru’yat al-hilâl,
persaksian dan menyempurnakan bilangan 30 dalam sebulan.[91] Menurut Muḥammad bin Yûsûf al-‘Abdarî jika shara’ sudah
menetapkan metode-metode tersebut maka tidak boleh ada tambahan metode seperti ḥisâb.[92]
Menurut al-Ṭarablisî bahwa penentuan ramadlan
dan syawal dengan ḥisâb memang sering digunakan oleh ulama’ Baghdad.
Mereka berdasar pada pendapatnya Ibn Shurayj (Shâfi’îyah). Mereka juga
menyatakan bahwa apa yang dilakukan juga didasarkan dari pendapat Imam Mâlik.
Hal ini adalah riwayat yang shâdh (sangat langka).[93] Ibn ‘Arafah (Muḥammad ‘Arafat al-Dasûqî) menyatakan bahwa saya
tidak pernah tahu ulama’ mâlikî berpedoman pada ahli astronomi dalam hal ini,
bahkan Ibn al-‘Arabî mengingkari pendapat yang disandarkan pada ulama’ shâfi’îyah.
Menurut Ibn al-‘Arabî bahwa yang memperbolehkan berpedoman pada ilmu ḥisâb
hanyalah Ibn Shurayj (Shâfi’îyah) dan beberapa tâbi’în seperti Muṭraf bin
‘Abdillâh.[94] Imam al-Qarâfî
menyampaikan ilmu ḥisâb dalam beberapa hal boleh dijadikan pedoman,
seperti penentuan waktu shalat. Namun dalam penentuan ramadlan dan syawal hal
ini tidak boleh.[95] Menurut penulis, apa
yang di sampaikan al-Qarâfî menunjukkan bahwa beliau mengakui tentang kepastian
(qaṭ’î) hasil ilmu hisâb sebagaimana yang diungkap oleh beberapa
ulama’ shâfi’îyah. Namun demikian, menurut al-Ṭarablisî dan Ibn ‘Alîsh bahwa
sekalipun memang hasilnya pasti, namun ‘illat wajibnya shalat dengan puasa
ramadlan atau hari raya berbeda. Misalnya dalam hal shalat dzuhur, Allah
menetapkan bahwa sebab wajibnya adalah zawâl al-shams (tergelincirnya
matahari), sedangkan sebab wajibnya puasa atau hari raya menurut ketetapan
Allah bukanlah munculnya hilâl (bulan), tetapi sebab terlihatnya hilâl
(ru’yat al-hilâl),[96] Sebagaimana ḥadîth:
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ t يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّىَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلاَثِينَ».
Artinya:
“Dari Muhammad bin Ziyâd berkata, aku mendengar Abu harayrah berkata bahwa
Rasulullah bersabda: Pusalah kalian karena melihat hilâl. Dan berhari rayalah
kalian karena melihat hilâl. Jika hilâl tertutupi bagi kalian, maka genapkanlah
tiga puluh” [97]
Menurut mayoritas shâfi’îyah bahwa ilmu ḥisâb
tidak dapat dijadikan pedoman dalam penentuan hari raya dan puasa, dan pendapat
ini dinilai sebagai pendapat shâfi’îyah yang paling kuat dijadikan pedoman,
sebagaimana diungkapkan Abû Bakar al-Dimyâṭî selaku muta’akkhirîn di
kalangan shâfi’iyah.[98]
Dalam faṭḥ al-bârî karya Ibn Ḥajar
al-Asqalânî dikatakan bahwa Ibn al-‘Arabî mengkritik pendapat dari Ibn Surayj
yang menyatakan bahwa kalimat فَاقْدِرُوا لَهُ dalam ḥadîth
itu ditujukan untuk orang-orang tertentu yang memiliki ilmu ḥisâb
(astronomi), sedangkan kalimat فأكملوا العدة dalam
ḥadîth lain yang sejenis ditujukan untuk orang awam. Maka menurut Ibn
al-‘Arabi ketentuan Ibn Surayj tentang kewajiban Ramadlan (juga idul fitri)
yang berbeda dengan melihat kondisinya adalah ketentuan yang jauh (sulit
dicerna).[99] Begitu juga Ibn Ṣalâḥ
juga menyatakan bahwa mengetahui perhitungan rembulan adalah masalah yang
sangat detail dan terperinci yang hanya diketahui oleh beberapa individu. Maka
ketentuan seperti ini hanya bias diterapkan khusus bagi dirinya sendiri.[100]
Imam al-Nawâwî menyampaikan bahwa mayoritas
ulama menyatakan jika hilâl sulit dilihat karena tertutupi awan maka
harus disempurnakan menjadi 30 hari, bukan dengan cara melakukan ḥisâb
ilmu falak (perhitungan kalender dengan ilmu astronomi) karena menurut Imam
al-Nawawi, jika perintahnya harus melakukan ḥisâb ketika hilâl
tertutup mendung, maka akan menyulitkan bagi umat sebab hanya orang tertentu
yang mampu menguasai ḥisâb ilmu falak.[101]
Walaupun banyak kritik bermunculan terhadap
metode ini bahkan oleh kalangan shâfi’îyah sendiri, namun al-Rawyânî berusaha
untuk tidak mempertentangkan, dengan menyatakan Ibn Surayj tidak pernah
mewajibkan untuk menggunakan ilmu astronomi, melainkan sebuah kebolehan.
Pendapat inilah yang dipilih oleh al-Qaffâl dan Abû Ṭayyib.[102]
Pemberlakuan ilmu falak di daerah yang tidak
mungkin dilakukan ru’yat al-hilâl seperti wilayah dekat kutub juga
dibantah oleh Wahbah Zuhaylî. Bolehkan menggunakan perhitungan astronomi secara
mutlak, bolehkah ru’yat al-hilâl dengan alat, dan bolehkah menerima
kabar atau perhitungan astronomi orang non muslim dalam menentukan bulan
ramadlan dan syawal. Menurut Wahbah Zuḥaylî dinyatakan bahwa dalam kondisi
yang demikian penentuan bulan Ramadlan dan Syawal tetap harus menggunakan ru’yat
al-hilâl dengan bantuan ilmu astronomi sebagai media ru’yat al-hilâl karena
harus tetap menjaga perintah hukum (khiṭâb) dalam ḥadîth Rasul saw serta
kebenaran ilmiah.[103]
Namun demikian faktanya, ilmu ḥisab
ternyata sampai saat ini tetap dipelajari oleh banyak kalangan dari berbagai
mazhab bahkan tetap dijadikan sebagai metode dalam memutuskan puasa dan hari
raya, bahkan muncul istilah ilmu ḥisab yang sifatnya taqrîbî
(hasilnya mendekati kebenaran) dan yang sifatnya taḥîqî (hasilnya lebih
tepat) sebagaimana yang terjadi di Indonesia.
Fiqh Mazhab Penguasa
Fikih mazhab penguasa merupakan istilah baru
dalam menyebut fikih hasil ijtihad khulafâ’ al-rashidûn pasca wafatnya
Rasulullah saw. Perlu diketahui bahwa pada masa khulafâ’ al-rashidûn telah
terjadi beberapa ijtihad atau pemikiran hukum yang dilakukan oleh para khalifah
dan para sahabat Rasululullah saw, bahkan ketika Rasulullah masih hidup pun
telah terjadi berbagai macam ijtihad para sahabat, hanya saja hasil ijtihad
pada masa Rasulullah terkadang akan disikapi oleh wahyu (al-Qur’an atau ḥadîth)
dan terkadang Rasulullah diam. Diamnya Rasulullah saw tersebut dinilai sebagai
sunnah taqrîrîyah (sunnah dalam bentuk penetapan).[104] Sedangkan pemikiran
hukum Islam pasca wafatnya Rasulullah saw sangat banyak mengingat problematika
yang terus berkembang hanya saja pemikiran hukum yang digali oleh khulafâ’
al-râshidûn menjadi produk hukum yang berlaku sangat efektif mengingat
bersumber dari pemerintah.[105] Di antara pemikiran hukum
khulafâ’ al-râshidûn:
Pertama, pemikiran hukum khalîfah Abû Bakar tentang
memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat pasca Rasulullah saw wafat
walaupun hal ini pada mulanya banyak ditentang oleh para sahabat yang lain
seperti ‘Umar bin Khaṭṭâb karena pemikiran khalîfah Abû Bakar ini
secara lahir dinilai bertentangan dengan naṣṣ (ḥadîth):
عَنْ عُمَرَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r: «أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ
النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَمَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللَّهُ فَقَدْ عَصَمَ مِنِّى مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلاَّ بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ عَلَى
اللَّهِ»
Artinya:
“Dari Umar bin Khaṭṭâb berkata,
Rasulullah saw bersabda: “Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka
menyatakan tidak ada tuhan selain Allah. Maka barang siapa yang telah
mengucapkan maka hartanya dan jiwanya
benar-benar terjaga dariku. Adapun ḥisâbnya kelak urusannya dengan Allah swt.”
[106]
Namun berdasarkan
musyawarah khalîfah Abû Bakar dengan para pembesar sahabat, akhirnya para pembesar
sahabat membenarkan apa yang dicetuskan oleh khalîfah Abû Bakar dan akhirnya
dijadikan sebagai keputusan khalîfah yang ditindaklanjuti dengan mengutus tentara
sebanyak sebelas peleton yang kesemuanya dipimpin oleh Khâlid bin al-Walîd.[107] Jika ditelaah,
keputusan memerangi pembangkang zakat lebih memilih naṣṣ lain (men-tarjîḥ
naṣṣ lain) sebagai landasannya, yaitu ayat tentang kewajiban untuk shalat
dan membayar zakat dalam QS. al-Baqarah: 43;
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا
مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat
dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku’.”
Kedua, pemikiran hukum ‘Umar
bin Khaṭṭâb tentang tidak memberi-kan zakat pada
golongan mu’allafat qulûbuhum walaupun ditentang beberapa sahabat lain
karena bertentangan dengan naṣṣ yang secara jelas menyebut bagian mu’allafat
qulûbuhum,[108] sebagaimana QS.
al-Taubah: 60;
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً
مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para
mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”
Sepertinya khalîfah ‘Umar
bin Khaṭṭâb melihat ulang ‘illat ditetapkan-nya mu’allafat
qulûbuhum sehingga beliau menggugurkannya. Sebagaimana ungkapan beliau
ketika beberapa golongan mu’allaf protes dengan mendatangi khalîfah
‘Umar bin Khaṭṭâb. Lalu beliau menjawab, “Ini memang dahulu
diberikan oleh Rasulullah kepada kalian agar mendekatkan atau melunakkan hatimu
(pada Islam). Sekarang Allah telah memuliakan Islam dan Islam tidak
memerlukanmu lagi. Jika kamu tetap pada Islam (terserah) dan jika tidak maka di
antara kita adalah pedang”.[109]
Jika ditelaah, selain
menganggap ‘illat telah tiada, keputusan khalîfah ‘Umar bin Khaṭṭâb
ini dilandasi oleh ḥadîth:
عَنْ عَائِذٍ بْنُ
عَمْرِوِ الْمُزَنِيِّ t عَنْ اَلنَّبِيِّ
r قَالَ: «اَلْإِسْلَامِ يَعْلُو,
وَلَا يُعْلَى»
Artinya:
“Dari ‘Aidh bin ‘Amr al-Muzanni,
Rasulullah bersabda: Islam itu tinggi derajatnya dan tidak ditinggikan (dengan
merendahkan Islam).”[110]
Ketiga, pemikiran hukum khalîfah ‘Uthmân bin ‘Affân
tentang penangkapan unta-unta liar yang tidak dirawat dalam kandang oleh
pemiliknya walaupun ditentang oleh beberapa sahabat karena dianggap
bertentangan dengan ḥadîth Rasulullah,[111] karena beliau sempat
melarang untuk menangkap unta-unta berkeliaran:
عَنْ زَيْدِ بْنِ
خَالِدٍ الْجُهَنِىِّ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ r عَنِ اللُّقَطَةِ فَقَالَ: «عَرِّفْهَا سَنَةً
ثُمَّ اعْرِفْ وِكَاءَهَا وَعِفَاصَهَا ثُمَّ اسْتَنْفِقْ بِهَا فَإِنْ جَاءَ رَبُّهَا
فَأَدِّهَا إِلَيْهِ». فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ فَضَالَّةُ الْغَنَمِ
قَالَ: «خُذْهَا فَإِنَّمَا
هِىَ لَكَ أَوْ لأَخِيكَ أَوْ لِلذِّئْبِ». فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ
فَضَالَّةُ الإِبِلِ قَالَ فَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ r حَتَّى احْمَرَّتْ وَجْنَتَاهُ - أَوِ احْمَرَّ وَجْهُهُ
- ثُمَّ قَالَ: «مَا لَكَ وَلَهَا
مَعَهَا حِذَاؤُهَا وَسِقَاؤُهَا حَتَّى يَلْقَاهَا رَبُّهَا».
Artinya:
Dari Zayd bin Khâlid al-Juhnî, bahwa ada
laki-laki vertanta pada Rasulullah saw tentang harta temuan, Lalu Rasulullah
bersabda, “umumkanlah selama satu tahun tentang ciri-cirinya dan sifatnya. Lalu
nafkahkanlah (jika tidak ada pemiliknya). Jika pemiliknya dating maka
berikanlah padanya”. Lalu orang itu bertanya tentang temuan berupa kambing,
Rasulullah saw menjawab, “Ambilla karena mungkin milikmu, atau milik saudaramu
ata akan dimakan serigala”. Lalu rasululah ditanya tentang temuan berupa unta,
maka Rasulullah saw murka sampai wajahnya memerah dan menjawab, “Apa urusanmu
dengan unta itu. Biarkanlah ia mencari minum sampai ditemukan oleh pemiliknya.”
[112]
Jika ditelaah,
sepertinya khalîfah ‘Uthmân bin ‘Affân melihat illat berupa maṣlaḥah
ketika menetapkan penangkapan unta-unta liar lalu menjualnya serta jika
pemiliknya mencarinya akan diberikan hasil penjualan tersebut. Illat pembiaran
unta pada masa Rasulullah adalah kondisi aman karena tidak ada indikasi
pencurian unta. Sementara pada masa khalîfah ‘Uthmân bin ‘Affân sepertinya
‘illat itu sudah tidak ada, artinya kondisi sudah tidak aman karena adanya
indikasi pencurian unta.[113] Oleh sebab itu,
pemilihan ‘illatnya dirubah oleh khalîfah karena dianggap lebih maṣlaḥah.
Kemudian dilakukan qiyas terhadap harta temuan selain unta dengan asal atau
dasar qiyas berupa ḥadîth di atas dalam redaksi yang awal.
Keempat, pemikiran hukum khalîfah
‘Ali bin Abî Ṭâlib tentang hukuman peminum khamr (miras) berupa 80 kali
cambukan. Berbeda dengan zina yang jumlah cambukan dijelaskan, namun jumlah
cambukan peminum khamr tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an. Keputusan ini
juga banyak ditentang sahabat karena Rasulullah saw menghukum peminum khamr
sebanyak 40 kali,[114] sebagaimana ḥadîth:
عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ أَنَّ النَّبِىَّ r أُتِىَ بِرَجُلٍ
قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَجَلَدَهُ بِجَرِيدَتَيْنِ نَحْوَ أَرْبَعِينَ
Artinya:
“Dari Anas bin Mâlik, bahwasannya ada
laki-laki yang didatangkan pada Rasulullah saw karena terbukti minum khamr.
Lalu Rasulullah mencambuknya sebanyak 40 kali cambukan.” [115]
Jika ditelaah,
sebenarnya keputusan khalîfah ‘Ali bin Abî Ṭâlib tidak bertentangan dengan
keputusan Rasulullah saw karena 40 kali cambukan juga dilakukan oleh khalîfah ‘Ali
bin Abî Ṭâlib, hanya saja terdapat tambahan 40 kali dalam hal ini. Penambahan
ini teramati lebih mengedepankan sadd al-dharî’ah. Artinya menutup pintu
bahaya yang ditimbulkan pada saat itu karena peminum khamr masih
merajalela sehingga dampaknya terhadap kejahatan lainnya sangat dikhawatirkan,
sebab pada saat itu wilayah Islam tidak hanya di sekitar Hijaz. Hal ini bisa
kita lihat pada ungkapan khalîfah ‘Ali bin Abî Ṭâlib:
عن أبي عبد الرحمن
السلمي عن علي قال شرب نفر من أهل الشام الخمر وتأولوا الآية الكريمة فاستتشار فيهم
فقلت أرى أن تستتيبهم فإن تابوا ضربتهم ثمانين وإلا ضربت أعناقهم لأنهم استحلوا ما
حرم
Artinya: “Dari Abû ‘Abdurraḥmân al-Silmi, dari Ali berkata,
“beberapa golongan di daerah Syiria banyak yang meminum khamer. Para pemimpin
mereka berusaha untuk menerjamah ayat-yata khamer, lalu mereka bermusyawarah
denganku. Maka aku berkata bahwa ajaklah peminum khamer itu bertaubat, jika
berkenan maka hukumlah dengan 80 kali, jika tidak mau maka potonglah lehernya
karena telah menghalalkan apa yang diharamkan Allah.” [116]
Teramati bahwa ijtihad
yang dilakukan oleh khulafâ’ al-râshidûn sebagaimana disebutkan beberapa
contohnya di atas semuanya terlihat bertentangan secara lahir dengan naṣṣ
tetapi sejatinya tetap sejalan dengan sharî’ah karena tetap didasarkan
pada naṣṣ lain. Model ijtihad khulafâ’ al-râshidûn yang
memunculkan fiqh mazhab penguasa ini teramati memiliki beberapa langkah: (a) ijtihad
dilakukan oleh orang yang ahli secara bersama-sama (ijtihad jama’î); (b)
ijtihad terkait masalah fiqh yang ijtihâdiyah; (c) melihat ulang fiqh
klasik terkait masalah ini; (d) membaca ulang sumber naṣṣ berikut ‘illat
hukumnya yang dijadikan sebagai media ijtihad. Jika terjadi pertentangan, maka
dilakukan tarjîḥ al-adillah atau al-jam’u; (e) membaca ulang
makna naṣṣ melalui qiyâs atau qâ’idat lughawîyah yang
lain; (f) melihat kebutuhan maṣlaḥah karena adanya maḍârat
yang timbul dalam masyarakat; (g) menetapkan hukum atau hasil ijtihad
berdasarkan naṣṣ wahyu hasil tarjîḥ, maṣlaḥah yang
didukung oleh naṣṣ (maṣlaḥat mu’tabarah) atau atau maṣlaḥah
yang tidak ditentang oleh naṣṣ (maṣlaḥat mursalah); (h) mengedepankan
sadd al-dharî’ah dalam hasil ijtihadnya; dan (i) Mengedepankan ketegasan
untuk menjaga kewibawaan pemerintah dan kewibawaan hukum.
Diilhami dari model dan
hasil pemikiran hukum khulafâ’ al-râshidûn yang kemudian dijadikan
sebagai kebijakan Negara pada saat itu, maka tentunya negara dalam hal ini ûlî
al-amr (pemerintahan) setelah masa khulafâ’ al-râshidûn di manapun
berada dapat menetapkan fikih atau ijtihad baru yang kemudian dapat dijadikan
sebagai hukum yang harus ditaati oleh seluruh rakyatnya. Ijtihad semacam ini
layak disebut sebagai fikih mazhab Negara, tentunya dengan metode ijtihad yang
benar dan dilakukan oleh mujtahid yang memiliki kualitas keilmuan di bidang hukum
Islam serta minimal mengikuti model atau metode ijtihad khulafâ’ al-rashidûn.
Penetuan Hari Raya Model Fiqh Mazhab Penguasa
Perbedaan pendapat di
Indonesia tentang penentuan awal ramadlan dan idul fitri bermula dari metode
penetapannya yang masing-masing Ormas Islam di Indonesia berbeda. Pada dasarnya
masalah khilâfiyah biasa terjadi dan wajar. Namun menjadi tidak wajar
dan serius ketika produk ketetapan pemerintah yang seharusnya dipatuhi ternyata
tidak dipatuhi. Kewibawaan pemerintah dan hukum menjadi hilang.
Content masalahnya berupa
penentuan awal ramadlan dan hari raya yang sifatnya ijtihâdîyah
sebagaimana pencarian arah qiblat dan waktu shalat. Sedangkan metode penentuan
awal ramadlan dan hari raya dalam fiqh klasik sudah khilâf walaupun
lebih banyak yang mendukung keberadaan metode ru’yat al-hilâl.
Masing-masing pendapat memiliki argumentasi ilmiah sebagaimana telah diungkap
di atas.
Pemerintah dalam
menetapkan hukum yang ingin diakui kebenarannya dan dilaksanakan oleh
masyarakat awam tentunya harus merujuk pada hukum yang mudah dicerna akal.
Sebagaimana pendapat al-Shâṭibî yang menyatakan
bahwa mujtahid dalam menetapkan tuntutan akidah atau hukum ‘amaliyah
(fikih) tentunya harus merujuk pada hukum yang mudah dicerna akal atau mudah
difahami. Jika hukum ditetapkan dan dilaksanakan secara sulit dan hanya dapat
dilakukan oleh orang-orang tertentu, maka hukum tersebut bukanlah hukum shara’
yang sifatnya umum dan tidak berlaku bagi masyarakat awam.[117] Al-Shâṭibî juga menyatakan bahwa tidak ada tuntutan
untuk menentukan hilâl dengan perhitungan ilmu astronomi sebab ilmu itu
bukanlah ilmu yang dikuasai orang arab (saat turunnya wahyu), sebab detailnya
ilmu itu dan sebab sulitnya menguasai ilmu itu. Oleh karenanya hanya cukup
dengan melihat persangkaan kuat yang menduduki derajat keyakinan. Dan orang
awam tidak ada dosa jika tidak menguasainya serta cukup untuk mengikuti
mayoritas ulama’.[118]
Teramati bahwa secara
logika ru’yat al-hilâl bi al-‘ayn memang lebih bagus dilaksanakan
daripada menggunakan ḥisâb dengan ilmu falak, sebab jumlah hari dalam
bulan qamariyyah tidak pasti seperti bulan shamsiyyah. Bulan qamariyyah
dalam satu bulan memiliki dua kemungkinan, yaitu 29 atau 30. Sementara bulan shamsiyyah
memiliki jumlah hari yang pasti. Kondisi bulan qamariyyah yang berada
dalam dua kemungkinan menurut fikih adalah kondisi keraguan dan ketidakjelasan.
Dalam kaidah fikih, kondisi seperti ini harus dikembalikan kepada al-yaqîn
(hukum yang kebenarannya didasarkan pada sebuah kepastian, bukan prasangka dan
keraguan) dengan:
Pertama, Mengembalikan kepada
kenyataan yang jelas (al-ḍâhir). Memprioritaskan ru’yat
al-hilâl bil-‘ayn dari pada ḥisâb ilmu falak (ru’yat al-hilâl
bi-‘ilm) adalah bentuk dari mengembalikan pada kenyataan yang jelas (al-ḍâhir). Mensyaratkan adanya persaksian dalam
menetapkan hari raya adalah juga bentuk dari mengembalikan pada kenyataan yang
jelas (al-ḍâhir).
Kedua, mengembalikan kepada hukum
asal (al-aṣl) sesuai dengan kaidah
fikih:
الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا
كَانَ
Menghadapi masalah fiqh
yang ijtihâdîyah-khilâfîyah semacam ini tidak ada salahnya bahkan harus
dikembalikan pada pemerintah. Dan masalah khilâfîyah yang sudah
diputuskan oleh pemerintah (hakim) menjadi selesai, sebagaimana kaidah:
حكم الحاكم في المسائل المختلف فيها يرفع الخلاف
Artinya: “Ketentuan hakim tentang masalah yang
diperselisihkan akan menghilangkan perselisihan itu”[120]
Kaidah ini selain
memberikan arahan bahwa perbedaan metode penentuan dan waktu hari raya menjadi
selesai jika telah ditetapkan pemerintah (hakim), juga mengimpilkasikan bahwa
hukum yang bertentangan dengan ketetapan pemerintah menjadi tidak diakui sama
sekali dalam Islam.
Fiqh klasik juga telah
menerangkan adanya campur tangan pemerintah dalam penentuan puasa dan hari
raya. Semua mazhab menyatakan penentuan hari raya harus dipersaksikan di depan
hakim. Di tunjang dengan naṣṣ hadîth bahwa Rasulullah saw yang saat
itu kapasitasnya selaku pimpinan Negara Madinah telah mencontohkan cara
menetapkan awal puasa dan hari raya. Sebagaimana riwayat:
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ r فَقَالَ: «إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ,
فَقَالَ: أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ:
أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ:
فَأَذِّنْ فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا»
Artinya:
“Dari Ibn Abbas bahwa A’robi dating
kepada Nabi dan berkata, “Aku melihat hilâl”. Lalu Rasul bersabda, “Apakah kau
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?”. Ia menjawab, “ya”. Rasul bersabda,
“Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?”. Ia menjawab, “iya”. Lalu
Rasulullah bersabda, “Kumandangkanlah adzan wahai bilal agar masyarakat besok
puasa”. [121]
Apa yang dilakukan oleh
Rasulullah saw merupakan petunjuk bahwa pemerintah memiliki hak untuk
menetapkan awal puasa dan hari raya sebab saat itu Rasulullah juga berkapasitas
sebagai pimpinan Negara Madinah. Sebagian ulama’ dan Ormas Islam di Indonesia
mungkin hanya melihat bahwa apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam ḥadîth
itu merupakan salah satu metode bukan metode pasti penetapan awal Ramadlan dan
hari raya. Tetapi seharusnya melihat ḥadîth harus secara komperehnsif, yaitu
perlu dilihat juga urutan teknis yang ada pada ḥadîth itu. Metode yang
terpilih pada ḥadîth itu adalah metode rukyah (ru’yat al-hilâl bi al-‘ayn).
Dan selanjutnya hasil dari pelaksanaan metode itu tetap disampaikan kepada
Rasulullah saw, tidak langsung diumumkan oleh pelaksana metode tersebut. Hal
ini menunjukkan bahwa penentuan awal ramadlan dan hari raya harus melalui
pemerintah.
Penentuan puasa dan
hari raya adalah wilayah publik bukan privat karena berpengaruh terhadap
aktifitas dan tugas di masyarakat di Indonesia, tidak dapat dilakukan oleh
masing-masing individu serta rentan menimbulkan gesekan sesama umat muslim di
wilayah masyarakat awam. Penentuan puasa dan hari raya bias dikategorikan
urusan privat, tetapi masalah ini berdampak pada mafsadah sosial yang luas.
Khalîfah Abû Bakar al-Ṣiddîq pernah menyelesaikan masalah yang sejenis, yaitu
dengan membuat kebijakan bahwa orang yang murtad dan orang yang tidak mau
membayar zakat harus diperangi padahal urusan masuk atau keluar dari Islam
adalah urusan privat.[122] Keputusan khalifah Abû
Bakar ini memang tidak luput dari pertentangan pemikiran, bahkan Umar bin Khaṭṭâb
awalnya sangat tegas menolak. Berdasarkan asas musyawarah, dalam musyawarah ini
muncul dua opsi. Pertama, membiarkan para pembangkang zakat dengan
harapan dapat membantu umat muslim dalam menghadapi Romawi dan Persia. Kedua,
memerangi mereka berarti juga menambah musuh umat muslim.[123] Musyawarah akhirnya
memutuskan opsi yang kedua sesuai dengan pendapatnya Abu Bakar.[124] Keputusan ini karena
para pembesar sahabat sadar tentang pentingnya menanggulangi dampak mafsadah sosial
serta adanya kesadaran bahwa Abû Bakar adalah pempimpin Negara pada saat itu
yang memiliki otoritas harus dipatuhi. Sebagaimana penerimaan Umar bin Khaṭṭâb
terhadap kebijakan khalifah Abû Bakar:
فَقَالَ عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ فَوَاللَّهِ مَا هُوَ إِلاَّ أَنْ رَأَيْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ
شَرَحَ صَدْرَ أَبِى بَكْرٍ لِلْقِتَالِ فَعَرَفْتُ
أَنَّهُ الْحَقُّ
Artinya:
‘Umar berkata: “Demi Allah, aku tidak
ragu-ragu lagi. Au melihat bahwa Allah telah membukakan pintu hati Abu Bakar
memerangi orang yang tidak mau membayar zakat, aku yakin bahwa tindakannya itu
benar”. [125]
Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa pemerintah memiliki otoritas untuk menentukan puasa dan hari
raya. Otoritas pemerintah untuk menentukan puasa dan hari raya tersebut harus
disertai dengan adanya otoritas pemerintah untuk ditaati. Artinya, keputusan
yang ditetapkan oleh pemerintah bersifat mengikat pada semua muslim di wilayah
Indonesia. Pemerintah Indonesia adalah pemerintah yang sah menurut hukum Islam
yang oleh NU diistilahkan dengan walî al-‘amr al-ḍarûrî bi al-shawkah.
Maka tidak ada alasan apapun untuk tidak mematuhi pemerintah. Otoritas
pemerintah dalam Islam disetarakan dengan Allah dan Rasul sebagaimana telah
dilegitimasi dalam QS. al-Nisa’: 59;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”
Menurut al-Sha’rawi,
pengulangan kata taatilah (أَطِيعُوا) pada kalimat Allah dan Rasul sementara
tidak ada pengulangan kata taatilah pada ulil amri menunjukkan makna
bahwa taat kepada ulil amri memiliki subtansi mentaati Allah dan
Rasulnya.[126] Dengan kata lain,
mentaati ulil amri adalah implementasi dari mentaati Allah dan Rasulnya.
Tentunya dalam koridor ulil amri yang tidak memerintahkan maksiat. Maka
tidak ada alasan untuk tidak mentaati pemerintah Indonesia. Terlebih masalah
penentuan awal ramadlan dan hari raya.
Mengingat dalam
penentuan hari raya di Indonesia erat kaitannya dengan banyak orang dan ormas,
maka seyogyanya dalam menetapkannya pemerintah menggunakan model fiqh mazhab
penguasa, yaitu dengan ijtihad bersama sebagaimana model khalifah Abû Bakar.
Dalam arti menyepakati metode bersama dan benar-benar mempertimbangkan maṣlaḥah secara luas.
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ
بِالْمَصْلَحَةِ
Kesimpulan
Hasil dari pembahasan
ini, dapat disimpulkan bahwa perspektif fiqh mazhab penguasa (1) pemerintah
Indonesia memiliki otoritas penuh dalam menetapkan waktu dan metode penentuan
hari raya dengan model ijtihad kolektif, dalam arti memilih metode penentuan
hari raya dan waktu hari raya bersama perwakilan ormas. Dan (2) ketetapan
pemerintah melalui ijtihad kolektif tentang hari raya harus ditaati dan
memiliki kekuatan mengikat terhadap muslim di wilayah Indonesia.
Daftar Pustaka
‘Abdarî (al), Muḥammad bin Yûsûf. al-Tâj wa Iklîl li Mukhtaṣar Khalîl. Beirut:
Dâr al-Fikr, t.th.
‘Âbidîn, Ibn. Ḥâshiyah
Radd al-Mukhtâr. Beirut: Dâr al-Fikr, 2000.
‘Alîsh, Muḥammad bin. Fatḥ al-’Alî al-Mâlik. t.tp.: Maktabah
Shamelah, t.th.
‘Ammâr, Abû al-Barakât Ḥusayn bin. Marâqî
al-Fallâḥ. t.tp.: Maktabah Shamelah, t.th.
‘Ibâdî (al), Abû
Bakar al-Ḥaddâdî. Al-Jawharat al-Munîrah. t.tp.: Maktabah Shamelah,
t.th.
Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan
Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
al-Qarafî (al), Shihâb
al-Dîn. Al-Dakhîrah. Beirut: Dâr al-Gharbî, 1994.
Asqalânî (al), Ibn Ḥajar. Bulûgh al-Marâm. t.tp.: Maktabah Shamelah,
t.th.
__________________. Fatḥ al-Bârî.
Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th.
Bukhârî (al), Muḥammad bin Ismâ’il. Jâmi’ al-Ṣaḥîḥ li
al-Bukhârî. Beirut: Dar Ibn Kathîr,
1987.
Dardîr (al), Abû
al-Barakât. Al-Sharḥ al-Kabîr li al-Dardîr. t.tp.: Maktabah Shamelah,
t.th.
Dâruquṭnî (al), Alî bin ‘Umar. Sunan
al-Dâruquṭnî. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1966.
Dimyâṭî (al), Abû Bakar. Ḥâshiyah
I’ânat al-Ṭâlibîn. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.
Ḥaqq (al), Muḥammad Shams. ‘Awn al-Ma’bûd. Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, t.th.
Hasil Muktamar Tarjih Muhammadiyah
XXVI di Padang Tahun 2003
Haskafî (al), Alâ’ al-Dîn. Durr
al-Mukhtâr. Beirut: Dâr al-Fikr, 2000.
Hitti, Philip K. History Of The
Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010.
Ḥujjâj (al), Muslim
bin, Jâmi’ al-Ṣaḥîḥ li
al-Muslim. Beirut: Dar al-Jayl, t.th.
Jazirî (al), ‘Abd
al-Raḥmân. Al-Fiqh ‘alâ Madhâhib al-Arba’ah. t.tp.: Maktabah Shamelah,
t.th.
Kharshî (al), Muḥammad. Sharḥ Muḥtaṣar Khalîl. Beirut: Dâr
al-Fikr, t.th.
Malîbârî (al), Zayn al-Dîn. Fatḥ
al-Mu’în. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.
Mâwardî (al). Al-Iqnâ’ li al-Mâwardî. t.tp.: Maktabah
Shamelah, t.th.
__________. Al-Ḥâwî al-Kabîr. Beirut:
Dâr al-Fikr, t.th.
Mubarak, Jaih. Sejarah Peradaban
Islam. Bandung: Pustaka Islamika, 2008.
Mûṣilî (al), Ibn Mawdûd. Al-Ikhtiyâr
li Ta’lîl al-Mukhtâr. t.tp.: Maktabah Shamelah, t.th.
Nawâwî (al), Yahya
bin Sharaf. Sharḥ Ṣaḥîḥ al-Muslim. Beirut: Dar Ihyâ’ al-Turâth,
t.th.
Nujaym, Zayn al-Dîn Ibn. Al-Ashbah
wa al-Naẓâ’ir. Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmîyah, 1980.
____________________. Al-Baḥr al-Râiq Sharḥ Kanzu al-Daqâ’iq. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th
Qurṭubî (al), Yûsûf bin ‘Abdillâh
al-Namrî. al-Kâfî fi al-Fiqh Ahli al-Madînah al-Mâlikî. Riyad: Maktabah
al-Riyâḍ al-Ḥadîthah, 1980.
Sarakhsî (al), Shams al-Dîn. Al-Mabsûṭ
li al-Sarakhsî. Beirut: Dâr al-Fikr, 2000.
Ṣâwî (al), Aḥmad bin Muḥammad. Balaghat al-Sâlik. Beirut:
Dâr al-Kutub, 1995.
__________________________. Ḥâshiyah
al-Ṣâwî ‘ala Sharḥ al-Ṣaghîr. t.tp.: Maktabah Shamelah, t.th.
Sha’râwî (al). Tafsir al-Sha’râwî.
t.tp.: Maktabah Shamelah, t.th.
Shâfi’î (al), Muḥammad bin Idrîs. Al-Umm. Beirut: Dâr al-Ma’rifah,
t.th.
Shâṭibî (al), Ibrahîm bin Mûsâ. Al-Muwafaqât.
t.tp.: Dâr Ibn ‘Affân, 1997.
Shawkâni (al), Muḥammad bin Alî. Nayl al-Awṭâr. t.tp.: Maktabah
Shamelah, t.th.
Shîrâzî (al), Ibrâhîm bin ‘Alî. Al-Tanbîh.
Beirut: ‘Alam al-Kutub, t.th.
Shobirin. Fiqh Madzhab Penguasa. Kudus:
Brilian Media Utama, 2009.
Subkî (al), Tâj al-Dîn. Al-Ashbah
wa al-Naẓâ’ir. Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmîyah, 1991.
Sulaiman, Abû Dâud. Sunan Abî Dâud.
Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.th.
Suyûṭî (al), ‘Abd al-Raḥmân. Al-Ashbah
wa al-Naẓâ’ir. Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmîyah, 1981.
______________________. Târîkh
al-Khulafâ’. Mesir: Maṭba’ al-Sa’âdah, 1952.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Vol 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2008.
Ṭarablisî (al), Shams al-Dîn. Mawâhib
al-Jalîl li Sharḥ Mukhtaṣar Khalîl. t.tp.: Dâr ‘Âlam al-Kutub, 2003.
Zarkashî (al). Al-Manthûr fî
al-Qawâid. Kuawait: Wizârat al-Shu’ûn, t.th.
Zuḥaylî, Wahbah. Al-Fiqh
al-Islâmiy wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr, 2000.
Post a Comment