Jangan di Klik

Relasi Kaidah Fiqih dengan Konsep Maslahah sebagai ‘Illat Hukum


Relasi Kaidah Fiqih dengan Konsep Mas{lahah sebagai ‘Illat Hukum
Oleh: Moh. Dliya’ul Chaq*[1]

Artikel ini telah dipublikasikan di Jurnal Ilmiah dengan nama Jurnal Tafaqquh. Untuk Download Versi Pdf. Klik
atau lihat di link berikut: http://jurnal.iaibafa.ac.id/index.php/tafaqquh/article/view/86


Abstract
Pattern formulation of rules of jurisprudence to find points of unity in jurisprudence existing products together with qiyâs pattern, a pattern similar to the pattern even qiyâs position and function yet still debated scholars. Become more attractive especially when some scholars claim that the whole issue of jurisprudence back on one thing rather than on, the rule was interesting maṣlaḥah, while the maṣlaḥah beneficiaries according to some scholars can be used as a source or illat law. Through content analysis models interactif and with literature data found; was maṣlaḥah has a strong relationship with the rules of fiqh concretely; the rules of fiqh is equivalent to illat law because the rules of fiqh is the point of unity of a cross section of various products in the form of jurisprudence meaning kullî of some legal juz’i, in which juz’i law derived from the Qur’an, hadîth, ijmâ’, and qiyâs order to maintain the benefit of the people in the world and the hereafter, and because of the rules of fiqh is the one maṣlaḥah itself where maṣlaḥah the one can be used as a illat if established, supported and demonstrated by naṣṣ and do not contradict naṣṣ.

Keywords: Rule Fiqh, Maṣlaḥah, Illat Law.


A.    Pendahuluan
Al-Qawâid al-fiqhîyah yang lazim di sebut kaidah fiqih merupakan salah satu bidang ilmu dalam Islam. Melalui kaidah fiqih, studi terhadap fiqih dapat ditempuh dengan mudah dan tidak memakan waktu relatif lama sebab kaidah fiqih merupakan titik kesatuan (al-jâmi’) di antara berbagai cabang produk fiqih lintas bab yang telah ada, yang kemudian dirumuskan dalam sebuah kalimat yang maknanya dapat mencakup dan menyatukan berbagai cabang produk fiqih tersebut.[2] Pola perumusan kaidah fiqih dengan mencari titik kesatuan pada produk fiqih yang telah ada sama dengan pola qiyâs, hanya saja titik temu dalam qiyâs di sebut sebagai ‘illat. Sekalipun pola kaidah fiqih sama dengan pola qiyâs namun kedudukan dan fungsi kaidah fiqih sebagai dasar istidlâl hukum masih diperdebatkan ulama’. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa kaidah fiqih tidak dapat dijadikan dasar istidlâl.[3]
Padahal, inisiatif ulama’ mencari titik kesatuan produk fiqih akhirnya terumuskan dalam berbagai kaidah fiqih yang jumlahnya menurut Tâj al-Dîn al-Subkî melebihi 200 kaidah.[4] Berbeda dengan al-Dabbâs yang merumuskan kaidah fiqih menjadi 17 Kaidah.[5] Sementara menurut Izz al-Dîn bin Abd al-Salâm bahwa seluruh produk fiqih kembali pada satu kaidah yaitu menarik mas}lah}ah dan menolak bahaya.[6] Hal ini mengasumsikan bahwa inti dari kaidah fiqih adalah mas}lah}at. Sementara itu, beberapa ulama’ berpendapat bahwa mas}lah}at tidak dapat dijadikan sumber ataupun ‘illat hukum, sementara ada yang menyatakan bahwa mas}lah}at (hikmah) dapat dijadikan sebagai ‘illat hukum atau sumber hukum.[7] Oleh karenanya, fokus kajian ini adalah mencari jawaban atas pertanyaan, apakah konsepsi mas}lahat dapat dijadikan sebagai ‘illat hukum memiliki relasi kuat dengan keberadaan kaidah fiqih, dan apakah kaidah fiqih setara dengan ‘illat hukum yang layak dijadikan sebagai dasar penentuan hukum.

B.    Pengertian dan Cakupan Kaidah Fiqih
Al-Subkî, sebagaimana dikutip Mukhtar Yahya, mendefinisikan kaidah fiqih dengan kaidah-kaidah umum (al-amr al-kullî) yang meliputi (menampung) seluruh cabang masalah fiqih yang menjadi pedoman untuk menetapkan hukum setiap peristiwa fiqhiyah.[8]
Mus}t}afâ Ah}mad Zarqâ sebagaimana dikuti al-Burnû, mendefiniskan kaidah fiqih dengan pokok (us}ûl) fiqih yang umum (kullî) yang tertulis dalam peraturan yang menampung hukum-hukum tasyr>‘î yang luas/umum yang permasalahan fiqih baru dapat masuk dalam tema kaidah tersebut.[9]
Sedangkan Muhammad Anîs ‘Ubâdah mendefiniskannya dengan kesimpulan (qad}îyah) yang global (kullîyah) yang dapat menampung berbagai masalah cabang hukum yang berada pada lingkup kesimpulan tersebut.[10]
Sekalipun kaidah fiqih sifatnya umum (kullîyah) dan dapat mencakup berbagai permasalahan fiqih yang ada, namun faktanya banyak sekali kaidah fiqih yang memuat eksepsi (mustathnayat) masalah. Hal inilah yang kemudian memunculkan pendapat ulama bahwa kaidah fiqih bersifat mayoritas (aghlabîyah), artinya hanya mencakup sebagian besar masalah fiqih, bukan keseluruhan (kullîyah). Oleh karenanya, kaidah fiqih dibedakan menjadi dua, yaitu kaidah sentral (kullîyah) dan marginal (juz’îyah). Disebut kaidah fiqih yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawâid al-Kubrâ al-Asasîyat. Sementara kaidah marginal memiliki cakupan yang lebih sempit dan memiliki berbagai eksepsi hukum.[11]
Namun demikian, menurut al-Burnû bahwa jika sekalipun kaidah fiqih yang bersifat aghlabîyah banyak memuat eksepsi/pengecualian sehingga bertentangan dengan kaidah qiyâs. Tetapi qiyâs juga terdapat pengecualian yang tidak merusak aturan qiyâs. Seperti, hukum diperbolehkannya jual beli pesanan (salam) atau persewaan (ijârah) yang merupakan eksepsi dari qiyâs sebab ‘illat hukumnya tidak sesuai dengan aturan qiyâs.[12] Oleh karenanya, logika seperti ini seperti dijadikan sebagai salah satu alasan penguat bahwa sifat aghlabîyah yang menempel pada kaidah fiqih tidak merusak sifat umum (kullîyah) yang menempel pada kaidah fiqih. Selain itu menurut al-Burnû, bahwa  masalah fiqih yang dikecualikan dari satu kaidah fiqih hakekatnya masuk pada kaidah fiqih yang lain. Oleh karenanya sifat aghlabîyah kaidah fiqh atau adanya eksepsi dalam kaidah fiqih tidak merusak makna bahwa kaidah fiqih sifatnya umum (kullîyah) dan dapat mencakup berbagai permasalahan fiqih yang ada.[13]
Dengan demikian, sifat umum (kullîyah) pada kaidah fiqih menunjukkan bahwa kaidah fiqih dapat mencakup dan diterapkan pada berbagai permasalahan fiqih yang ada yang memiliki kesamaan pokok dengan masalah yang sudah terselesaikan dengan kaidah fiqih.

C.    Perumusan Kaidah Fiqih
Abû al –H{asan Ubaydillah bin al-Husain al-Karkhî (w. 340 H) adalah ulama’ h{anafîyah yang dikenal sebagai ulama’ pertama yang menulis kitab kaidah fiqih madhhab hanafî dalam karyanya Risalah al-Karkhi. Kitab ini berisi 17 kaidah milik Abû T{âhir al-Dabbâs dan ditambah kaidah-kaidah lain milik al-Karkhî hingga jumlahnya mencapai 39 kaidah. Menurut Muhammad al-Burnû kitab ini sebenarnya tidak berisi kaidah saja, sebab di dalamnya juga memuat beragam d}âbit}, rumusan hukum dan pedoman ber-madhhab bagi ulama’ hanafîyah. Selain itu istilah kaidah belum digunakan oleh al-Karakhî sehingga tidak ada pemilahan antara kaidah dan d}âbit}. Al Karakhi ini dalam kitabnya hanya memakai satu istilah, yakni al-as}l (pedoman asal/pokok), baik untuk menunjukkan d}âbit}, kaidah atau pedoman madhhab.[14]
Langkah al-Karakhi menuliskan kaidah-kaidah fiqih dalam kitab tersendiri mendorong para ulama’ dari berbagai madhhab untuk melakukan hal yang sama. Terlebih ketika ramai kabar bahwa di sebuah daerah yang di sebut Harah terdapat seorang sorang alim ber-madhhab h{anafîyah bernama Abu T{âhir al-Dabbâs,[15] yang merumuskan kesimpulan fiqih madhhab h}anafîyah menjadi 17 kaidah dan selalu mengulang-ulang bacaan kaidah tersebut setiap selesai shalat isya’ di sebuah masjid di daerah yang di sebut mâ wara’ al-nahar setelah semua jama’ah keluar dari masjid. Ketika al-Harawi ber-madhhab shâfi’îyah mendengar kabar tersebut, ia berusaha menyelinap ke dalam masjid dan berhasil mendengarkan al-Dabbâs mengulangi bacaan kaidah tersebut. Namun sampai pada kaidah yang ke tujuh, al-Harawi batuk sehingga al-Dabbâs mengeluarkan al-Harawî dari masjid itu. Sejak saat itulah kaidah fiqih mulai di kenal masyarakat.[16]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa inisiatif merumuskan kaidah fiqih muncul dari Abu T{âhir al-Dabbâs. Teori perumusan kaidah fiqih diciptakan oleh al-Dabbâs dengan cara mencari kesimpulan atau titik temu yang dapat menyatukan / mencakup (al-jâmi’) berbagai produk fiqih yang telah ada pada saat itu. Kesimpulan atau titik temu tersebut disusun dalam sebuah kalimat yang kemudian di sebut sebagai kaidah fiqih. Di lihat dari proses perumusannya pada saat itu, tujuan awal dari inisiatif perumusan kaidah fiqih adalah untuk memudahkan belajar dan menghafal fiqih.

D.    Fungsi dan Kedudukan Kaidah Fiqih
Ketika pada mula perumusan kaidah fiqih berfungsi untuk memudahkan belajar dan menghafal fiqih sebab pola perumusannya berawal dari pencarian titik kesamaan di antara berbagai produk fiqih yang ada, namun dalam perkembangannya fungsi tersebut diperdebatkan.
Mus}t}afâ Ahmad Zarqâ berpendapat bahwa sedikit sekali kaidah fiqih yang tidak memiliki eksepsi, dan jika menerapkan kaidah fiqih dalam kondisi demikian, sama halnya dengan menetapkan hukum berdasarkan istih}sân murni. Oleh karenanya kaidah fiqih tidak dapat dijadikan sebagai dasar istinbât} hukum.[17] Ibnu Nujaym juga senada dengan menyatakan bahwa kaidah fiqih tidak dapat dijadikan sandaran hukum sebab sifat dari kaidah fiqih bukanlah kullîyah (umum mencakup seluruh bab) tetapi aghlabîyah (mayoritas). Selain itu, alasan lainnya adalah bahwa tidak logis menjadikan sesuatu yang merupakan himpunan dari sejumlah persoalan furû’ (fiqih) sebagai dalil shara’.[18]
Sementara itu, al-Burnû berpendapat bahwa kesimpulan para ulama’ tersebut tidak dapat diberlakukan secara umum, mengingat sebagian kaidah fiqih ada yang langsung didasarkan dan disandarkan pada dalil-dalil dari Qur’an dan Sunnah, ada pula yang awalnya dirumuskan dari produk fiqih yang memiliki dalil dari Qur’an dan Sunnah.  Oleh karena itu, menetapkan hukum dengan kaidah fiqih diperbolehkan karena sama halnya dengan menetapkan hukum berdasarkan nas}s}, kecuali jika kaidah fiqih tersebut tidak memiliki dasar sama sekali dari nas}s} maka tidak diperbolehkan. Hanya saja jika terdapat masalah kontemporer yang tidak ditemukan dalam nas}s} atau dalil us}ûl, maka diperbolehkan menggunakan kaidah fiqih.[19]



E.    Mas}lah}at dan Kedudukannya Sebagai ‘Illat atau Sumber Hukum
Secara etimologis, mas}lah}ah dapat berarti kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata al-mas}lah}ah adakalanya dilawankan dengan kata al-mafsadah dan adakalanya dilawankan dengan kata al-mad}arrah, yang mengandung arti kerusakan.[20]
Secara terminologis, mas}lah}ah telah diberi muatan makna oleh beberapa ulama us}ûl al-fiqh.  Al-Ghazâlî, mengatakan bahwa makna genuine dari mas}lah}ah adalah menarik/mewujudkan kemanfaatan atau menyingkirkan/menghindari kemudaratan (jalb al-manfa’ah atau daf’ al-mad}arrah). Menurut al-Gazâlî, yang dimaksud mas}lah}ah, dalam arti terminologi adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam (sharî’ah) yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta kekayaan. Ditegaskan oleh al-Gazâlî bahwa setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi salah satu dari kelima hal tersebut dikualifikasi sebagai mas}lah}ah. Sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dinilai sebagai al-mafsadah. Maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu yang dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dikualifikasi sebagai mas}lah}ah.[21]
Menurut al-Shât}ibî pada dasarnya sharî’at ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mas}âlih al-’ibâd) baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah dalam pandangan beliau menjadi maqâshid al-syarî’ah (tujuan-tujuan syariat).[22] Selanjutnya al-Shât}ibi mengkalsifikasi maqâs}id menjadi tiga, yaitu d}arûriyat, h}âjiyat dan tah}sînat. D{arûriyat artinya harus ada demi kemaslahatan hamba yang jika tidak ada akan menimbulkan kerusakan misalnya rukun Islam. H}âjiyat maksudnya sesuatu yang di perlukan untuk menghilangkan kesempitan seperti rukhs}ah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit. Tah}sînat artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan misalnya akhlak yang mulia, menghilangkan najis dan menutup aurat dalam keadaan sendirian dan tidak akan mengerjakan shalat. Sedangkan d}arûriyat beliau jelaskan lebih rinci dengn merangkum lima tujuan, yaitu menjaga agama (hifz} al-dîn), menjaga jiwa (hifz} al-nafs), menjaga akal (hifz} al-’aql), menjaga keturunan (hifz} al-nasl), dan menjaga harta (hifz}  al-mâl).[23]
Mewujudkan mas}lah{ah merupakan tujuan utama hukum Islam (maqâs}id sharîah). Setiap hukum yang ditentukan oleh Shâri’ (pencipta hukum) pasti bertujuan pada terealisasinya kemakmuran dan kesejahteraan di dunia maupun akhirat. Norma hukum yang dikandung teks-teks suci sharîah (nus}ûs} al-sharîah) pasti dapat mewujudkan mas}lah}ah, sehingga tidak ada mas}lah}ah di luar petunjuk teks sharî’ah. Oleh karenanya, tidaklah tepat pemikiran yang menyatakan mas}lah}ah harus diprioritaskan bila berlawanan dengan teks-teks suci sharîah.[24] Sebab, mas}lah}ah itu sesungguhnya adalah memelihara dan memperhatikan tujuan-tujuan sharîah berupa kebaikan dan kemanfaatan yang dikehendaki oleh sharî’ah, bukan oleh hawa nafsu manusia.[25] Dalam arti lain, mas}lah}at sejatinya adalah inti sari dari teks shara’ sehingga tdak mungkin dipertentangkan dengan teks shara’ yang lain. Begitupun sebaliknya, interpretasi terhadap teks shara’ dapat bahkan harus bertumpu pada mas}lah}at. Maka, sejatinya mas}lah}ah adalah sumbu peredaran dan perubahan hukum Islam.
Bahkan, dalam tataran aplikasi, maslahah termanifestasikan pada metode-metode/dalil-dalil ijtihad untuk menetapkan hukum shara’, seperti al-qiyâs, al-mas}lah}ah al-mursalah, al-istih}sân, sadd al-dharî’ah, dan al-’urf. Oleh karena itu, setiap metode/dalil ijtihad yang bertumpu pada prinsip mas}lah}ah dapat dikualifikasi sebagai upaya menggali kandungan makna teks suci sharî’ah (istidlâl bi al-nus}ûs} al-shar’îyah).[26]
Dengan demikian, oprasional mas}lah}at sebagai sumber atau ‘illat hukum harus mempertimbangkan nas}s} shara’. Jika mas}lah}at memiliki dasar khusus sebuah dalil nas}s} yang mengesahkan atau memiliki sandaran dalil yang makna umumnya (ma’nâ kulîy) / dilâlah-nya mendukung mas}lah}at tersebut walaupun bertentangan dengan makna nas}s} lainnya sekalipun makna kulli tersebut dibentuk berdasarkan makna juz’î (parsial) yang didasarkan pada nas}s} shara’ maka mas}lah}at model ini dinyatakan sebagai mas}lah}at mu’tabarah yang dapat dijadikan sumber ataupun ‘illat hukum. Begitupun sebaliknya, jika mas}lah}at tersebut bertentangan dengan dengan nas}s} shara’ baik secara eksplisit maupun implisit dan tidak ditemukan nas}s} lain yang makna atau dilâlah-nya mendukung keberadaan mas}lah}at tersebut maka mas}lah}at model ini di sebut mas}lah}at mulghâ yang tidak dapat dijadikan sumber ataupun ‘illat hukum. Sedangkan jika mas}lah}at tersebut keberadaannya tidak didukung dan tidak bertentangan dengan nas}s} shara’, maka mas}lah}at yang demikian ini disebut mas}lah}at mursalat yang dapat dijadikan sumber ataupun ‘illat hukum.
Oleh karenanya, sesuai dengan pendapat al-Shât}ibî, bahwa salah besar jikalau akal memiliki otoritas melebihi nas}s} shara’ yang berkonsekuensi sharî’at dapat dibatalkan oleh akal.[27] Artinya segala mas}lah}at yang akan dijadikan sebagai sumber atau ‘illat hukum haruslah dicarikan sandaran nas}s} shara’ sehingga mas}lah}ah yang mulanya bersifat relatif, subjektif dan tergantung individu akan dapat dinafikan dengan adanya nas}s} shara’ tersebut.
Penelitian atas nas}s} al-Qur’an dan Hadits memang menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan bahwa doktrin sharîah senantiasa dilekati h}ikmah dan ‘illah yang bermuara kepada mas}lah}ah, baik bagi masyarakat maupun bagi orang perorangan.[28] Bahkan, doktrin hukum Islam (sharî’ah) dimaksud bukan saja di bidang muâmalat umum tetapi juga ibadah mah}d}ah. Jadi, semua bidang hukum dengan aneka norma hukum yang telah digariskan oleh al-Qur’an dan Hadith berhulu dari, sekaligus bermuara kepada mas}lah}ah bagi kehidupan umat manusia. Hal ini karena Allah tidak butuh kepada sesuatupun, sekalipun itu ibadah mah}dah. Tegasnya, manusialah yang diuntungkan dengan adanya kenyataan bahwa mas}lah}ah menjadi alas tumpu hukum Islam (sharî’ah) itu.[29]
Sekalipun jelas terdapat rumusan mas}lah}at mu’tabarah, namun para ulama’ masih memperdebatkan mas}lah}at dijadikan sebagai ‘illat hukum. Muhammad Husain Abdillah menyatakan bahwa para ulama dalam masalah ini terbagi menjadi 3 (tiga) pendapat. Pertama, pendapat ulama Ash’arîyah dan Z}âhirîyah yang menolak bahwa sharî’at didasarkan pada ‘illat mas}lah}at. Artinya, mas}lah}at bukanlah ‘illat (motif) penetapan suatu hukum sharî’at karena mungkin saja Allah menetapkan hukum sahrî’at yang tidak mengandung mas}lah}at. Namun mereka tetap mengakui bahwa hasil istiqrâ’ yang menyimpulkan seluruh hukum shara’ bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan menjaga agama, akal, keturunan, jiwa, dan harta. Kedua, pendapat Shâfi’îyah dan H}anafîyah yang menyatakan bahwa mas}lah}at layak menjadi ‘illat hukum. Akan tetapi mas}lah}at ini lebih difahami sebagai pertanda hukum (amârat al-h}ukm) bukan sebagai latar belakang/motif penetapan hukum (bâ’ith ‘ala al-h}ukm). Jadi, mas}lah}at dipahami lebih dekat pada sebab (al-sabab) daripada ‘illat. Ketiga, pendapat Muktazilah, Mâturidîyah, Mâlikîyah, dan sebagian ulama H{anâbilah yang memandang bahwa hukum-hukum sharîa’t didasarkan pada ‘illat mas}lah}at tanpa ada taqyîd (pembatasan). Namun mereka mensyaratkan penetapan mas}lah}at sebagai ‘illat tidak boleh bertentangan dengan nas}s} shara’.[30]
Taqy al-Dîn al-Nabhanî merupakan bagian dari yang menyatakan bahwa mas}lah}at tidak dapat dijadikan ‘illat sebab mas}lah}at merupakan hikmah penerapan sharî’at. Jadi, pada dasarnya al-Nabhanî mengakui adanya hubungan mas}lah}at dengan sharî’at. Menurut al-Nabhanî bahwa maqâs}id al-sharîah (yaitu mewujudkan kemaslahatan) merupakan tujuan dari sharî’at secara keseluruhan (kullî) bukan tujuan sharî’at sebagai satu persatu hukum (li kulli h}ukmin bi ‘aynihi).[31] Artinya, terwujudnya kemaslahatan merupakan hasil penerapan sharî’at secara keseluruhan bukan hasil penerapan dari masing-masing hukum. Setiap ayat tidak selalu menyebutkan hikmah walaupun terdapat ayat yang menyebutkan hikmahnya. Oleh karenanya jika setiap ayat memiliki hikmah (mas}lah}at) independen maka pastinya penentuan hikmah (mas}lah}at) tersebut berdasarkan akal. Padahal penentuan hukum tidak dapat berdasarkan akal, oleh karenanya hikmah (mas}lah}at tidak dapat dijadikan ‘illat.[32]
Jika dinalisa, pendapat al-Nabhânî tentang larangan menjadikan mas}lah}at sebagai ‘illat bertumpu pada satu alasan, yakni kekhawatiran al-Nabhânî jika penentuan hukum akan didasarkan pada akal sebab menurutnya tidak semua hukum/sharî’at/nas}s} tidak menjelaskan hikmah secara khusus dan tegas. Hal ini telah dijawab oleh para ulamâ’ sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa penemuan mas}lah}at haruslah didasarkan atau didukung nas}s} shara’ (mas}lah}at mu’tabarah) kecuali mas}lah}at yang tidak bertentangan dengan nas}s} dan tidak ada nas}s} yang mendukungnya (mas}lah}at mursalah) seperti mas}lah}at tidur di malam hari agar tubuh sehat, mencatatkan kelahiran anak agar mendapat legalitas kejelasan hak anak dan lainnya.
Pendapat al-Nabhânî memang berbeda dengan hasil penelitian al-Shât}ibî dan Ibnu ‘Ashûr atas nas}s} al-Qur’an dan Hadits memang menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan bahwa doktrin sharîah senantiasa dilekati h}ikmah dan ‘illah yang bermuara kepada mas}lah}ah, baik bagi masyarakat maupun bagi orang perorangan.[33] Hadirnya  hikmah dan ‘illah  dalam norma hukum Allah (baik berupa al-amr maupun al-nahy) itu pada gilirannya menjamin eksisnya mas}lah}ah. Pada sisi lain, formulasi sejumlah legal maxim (al-qawâ’id al-fiqhîyah) bertumpu pada penemuan hikmah dan ‘illah yang nota bene menjadi garansi eksisnya mas}lahah. Dengan demikian, mas}lah}ah merupakan poros dan titik beranjak bagi formulasi al-ah}kâm al-shar’îyah dan al-qawâ’id al-shar’îyah.[34]



F.     Kaidah Fiqih Sebagai ‘Illat Hukum
Inisiatif ulama’ mencari titik kesamaan produk fiqih akhirnya terumuskan dalam berbagai kaidah fiqih yang jumlahnya menurut Tâj al-Dîn al-Subkî melebihi 200 kaidah.[35] Adapun  al-Dabbâs merumuskan kaidah fiqih menjadi 17 Kaidah.[36] Sementara menurut Izz al-Dîn bin Abd al-Salâm menyatakan bahwa seluruh produk fiqih kembali pada satu kaidah yaitu menarik mas}lah}ah dan menolak bahaya.[37] Bahkan sebagian ulama’ menyatakan bahwa produk fiqih hanya kembali pada satu kaidah yakni menarik mas}lah}ah.[38]
Hal ini mengasumsikan bahwa inti dari kaidah fiqih adalah mas}lah}at. Hal ini bisa dibuktikan dengan berbagai macam kaidah fiqih yang ada, misalnya kaidah “al-mashaqqah tajlîb al-taysîr” yang artinya kesulitan/keberatan itu menarik kemudahan. Aplikasi kaidah ini adalah terkait dengan jama’ dan qashar shalat. Mashaqqah yang ada berupa safar yang jaraknya telah ditentukan oleh fiqih. Dengan adanya mashaqqah maka hukum menjadi lebih ringan dengan diperbolehkannya jama’ dan qas}ar shalat.[39] Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa kaidah fiqih memiliki relasi kuat dengan mas}lah}at. Bahkan, kaidah fiqih adalah implementasi konkrit mas}lah}at.
Ketika kaidah fiqih merupakan makna kullî (makna umum) yang terumuskan berdasarkan hukum-hukum juz’î (parsial), yang mana hukum juz’î tersebut telah bersumber dari Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas dengan tujuan menjaga kemaslahatan umat di dunia dan akherat, maka sebenarnya makna kullî tersebut terkadang secara tidak langsung telah merujuk pada dasar-dasar hukum juz’î, sehingga kaidah fiqih yang merupakan mas}lah}at pun pada dasarnya bersumber dari dalil shara’ dan dapat dijadikan sumber atau ‘illat hukum.
  
G.    Kesimpulan
Hasil kajian ini dapat disimpulkan dalam dua poin. Pertama, mas}lah}ah yang merupakan reprsentasi dari maqâs}id sharî’ah memiliki relasi kuat dengan kaidah fiqih karena kaidah fiqih adalah implementasi mas}lah}at yang konkrit.
Kedua, kaidah fiqih setara dengan ‘illat hukum (1) karena kaidah fiqih merupakan titik kesatuan (al-jâmi’) dari berbagai produk fiqih lintas bab yang berupa makna kullî (makna umum) dari beberapa hukum juz’î (parsial), yang mana hukum juz’î bersumber tersebut dari Qur’an, hadîth, ijmâ’, dan qiyâs demi menjaga kemaslahatan umat di dunia dan akherat, dan (2)_karena kaidah fiqih adalah mas}lah}at itu sendiri di mana mas}lah}at dapat dijadikan sebagai ‘illat jika ditetapkan, didukung dan ditunjukkan oleh nas}s} shara’ serta tidak bertentangan dengan nas}s} shara’.




Daftar Pustaka

‘Abdillâh, Muḥammad Ḥusain. Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Bayariq, 1995.
‘Ashûr, Ṭâhir Ibn. Maqâṣid al-Sharî’ah al-Islâmîyah. Kairo: Dâr al-Salâm, 2006.
Ahmad, Moh. Djamaluddin. Al-Inâyah Sharh al-Farâid al-Bahîyah. Jombang: Pustaka al-Muhibbin, 2010.
Ashshidieqi, M. Hasbi. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Burnû (al), Muḥammad Ṣidqî bin Aḥmad. Al-Wajîz Fî Îḍâḥ al-Qawâ’id al-Fiqh al-Kullîyah. Riyâḍ: Maktabat al-Tawbah, 1994..
Fâsiy (al), Allâl. Maqâsid al-Sharî’ah al-Islâmiyyah wa Makârimuha. Rabat: Maktabah al-Wihdah al-’Arabîyah, t.th.
Gazâlî (al), Abû Ḥâmid Muḥammad. al-Mustaṣfâ min ‘Ilm al-Usûl. Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1997. Vol. I.
Ḥakîm, Abd al-Ḥamîd. Al-Sulam. Jakarta: al-Sa’adiyah Putera, t.th. Vol. II
Hisân, Husayn Hâmid. Naẓarîyat al-Maṣlaḥah fi al-Fiqh al-Islâmîy. Beirut: Dâr al-Nahḍah al-’Arabîyah.
Manẓûr, Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram al-Ifrîqi Ibn. Lisân al-’Arab. Riyad: Dâr Alam al-Kutub, 2003. Vol. II.
Nabhani (al), Taqiyuddîn. Al-Syakhṣîyah al-Islâmîyah. Quds: Manshûrat Hizb al-Taḥrîr, 1953. Vol. III.
Nadwî (al), Ali Ahmad. Al-Qawâid al-Fiqhîyah. Beirut: Dar al-Kalam, 1998.
Qarḍâwî (al), Yûsuf. Madkhal li Dirâsat al-Sharî’ah al-Islâmîyah. Kairo: Maktabah Wahbah, 2001.
Shâṭibî (al), Abû Isḥâq. Al-Muwâfaqât Fi Ushûl al-Sharî’at. Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmîyah, 2003. Vol. I.
Suyûṭî (al), Jalâl al-Dîn Abd al-Rahman bin Abû Bakr. Al-Ashbah wa al-Naẓâir. Surabaya: al-Hidayah, t.th.
Yahya, Mukhtar. Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam. Bandung: Al-Ma’arif, 1986.
Zarqâ (al), Al-Madkhal al-Fiqhî. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010. Vol. II.






[1] Fakultas Syari’ah Program Studi Akhwal al-Syakhsiyyah Institut Agama Islam Bani Fatah Jombang. email: yayakrafi@gmail.com
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. EKSPLORIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger