Moh. Dliya'ul Chaq bin Basuni Manaf
Malam ini, selasa 12 juni 2018, saya terjadwal sebagai imam sholat isya' dan tarawih di salah satu masjid di kelurahan Sememi Kecamatan Benowo Kabupaten Surabaya. Seperti biasa, setelah tarawih rampung sebelum witir, saatnya kultum. Katanya sih kultum, tapi prakteknya ada sampai 30 menit. Wauw kan...
Akupun mengikuti tradisi itu. Kultum maksudnya, bukan kultipulum. Sebenarnya tema pembahasan baru ketemu saat tengah2 tarawih. Aneh bukan? Seorang Imam tidak khusyu' karena "angen-angen" materi kultum. Ya tapi inilah yang terjadi. Karena aku bukan ustadz dan tidak pernah ingin ngustadz.
Yah..
Ramadlan adalah bulan yang paling istimewa dan luar biasa. Di dalam bulan ini, ummat muslim begitu mudah dan ringan untuk melakukan kebaikan yang tidak akan bisa dilakukan di luar ramadlan. Di antaranya, ummat muslim berbondong-bondong menuju masjid untuk sholat 20 rakaat (tarawih), yang menurut dugaan saya hal ini tidak akan bisa diadakan di luar bulan ramadlan. Entah kenapa, yang jelas Ramadlan benar-benar luar biasa. Rasulullah pun bersabda:
"seandainya ummatku tahu (sejatinya) apa yang ada dalam bulab ramadlan, maka pasti mereka menginginkan seluruh bulan dalam satu tahun adalah Ramadlan".
Kita pun sering kali tidak sadar melakulan kebaikan di bulan ramadlan. Saat datang ikut shalat tarawih, ada pengumandangan ajakan sholat oleh "bilal" tarawih. Bilal tarawih ini benar2 tidak pernah ada di zaman Rasulullah. Tetapi secara subtantif sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam manapun sebab bacaan-bacaannya lebih mengajak pada jamaah untuk berdoa, baik itu sholawat atau taradli. Dan tanpa sadar, para jamaah telah berdoa / membaca shalawat dan taradli beberapa kali. Shalawat adalah berdoa untuk Rasulullah agar diberi rahmat, salam dan barokah oleh Allah. Sedangkan taradli adalah berdoa untuk sahabat Rasulullah agar diberi ridlo oleh Allah swt. Intinya mendoakan orang lain. Tapi pertanyaannya adalah, kenapa kita mendoakan Rasulullah yang jelas2 mendapatkan rahmat dan apapun dari Allah. Dan juga kenapa kita mendoakan sahabat Rasul yang pastinya lebih baik dari kita, ummat saat ini karena banyak dari sahabat yang telah dijamin masuk surga. Padahal kita lebih buruk dari mereka.
Jawabannya mungkin kita bisa melihat hadits Rasulullah saw yang
diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dari Shafwan, ia adalah Ibnu ‘Abdillah bin Shafwan, dan umur ad-Darda’ di bawahnya, beliau berkata: “Aku pergi ke Syam dan mendatangi Abud Darda’ Radhiyallahu anhu di rumahnya, tetapi beliau tidak ada di rumah, yang ada hanyalah Ummud Darda’ رَحِمَهَا اللهُ تَعَالَى, ia berkata: ‘Apakah tahun ini engkau akan pergi haji?’ ‘Ya,’ jawabku. Dia berkata: ‘Do’akan kami dengan kebaikan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ. كُلَّمَا دَعَا ِلأَخِيْهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِيْنَ. وَلَكَ بِمِثْلٍ.
‘Do’a seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang dido’akannya adalah do’a yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada Malaikat yang menjadi wakil baginya. Setiap kali dia berdo’a untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka Malaikat tersebut berkata: ‘Aamiin dan engkau pun mendapatkan apa yang ia dapatkan.’”
‘Abdullah berkata: “Lalu aku pergi ke pasar dan bertemu dengan Abud Darda’ Radhiyallahu anhu, lalu beliau mengucapkan kata-kata seperti itu yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Hadits ini menunjukkan bahwa berdoa untuk orang lain selain mustajabah juga sejatinya adalah mendoakan dirinya sendiri. Karena ketika berdoa untuk orang lain, Malaikat mengamini dan juga berdoa agar Allah memberikan sesuatu yang sama (dengan doa untuk saudaranya) pada orang yang berdoa.
Maka mendoakan rahmat dan salam bagi Rasulullah sejatinya adalah berdoa untuk diri sendiri agar mendapatkan rahmat dan salam dari Allah. Mendoakan para sahabat rasul dengan radliyallohu 'anhu sejatinya adalah doa kepada diri orang yang berdoa sendiri agar mendapat Ridlo dari Allah. Itulah yang sejatinya. Begitupun saat ziarah makam para wali dan ulama', seperti makam wali songo, kita selalu berdoa allohummaghfir lahu (ya Allah berilah ampunan padanya).
Jadi berdoa untuk Rasulullah, para sahabat dan para wali bukan berarti Rasullah belum mendapatkan keselamatan dari Allah sehingga kita memintakannya, bukan berarti Allah belum meridloi para sahabat Rasul, bukan berarti para wali masih banyak dosa yang butuh kita mintakan ampunan, bukan. Tetapi sejatinya doa2 kita itu kembali kepada kita sendiri sebagaimana hadits di atas.
Kita adalah makhluk yang lebih buruk dari mereka sehingga tak pantasalah kita mendoakan mereka. Bahkan yang pantas adalah mereka mendoakan kita karena mereka lebih dekat dengan Allah.
Maka sekalipun tidak pernah ada pada masa Rasulullah, taradli dianjurkan oleh ulama'. Para perawi hadits selalu melakukan ini. Hanya saja saat menyebut nama sahabat Ali bin Abi Thalib, beberapa ulama' khususnya ulama' tasawuf menggunakan redaksi karromallohu wajhah, bukan radliyallohu 'anhu. Kenapa? Karena sahabat Ali selama hidupnya tidak pernah melihat aurotnya sendiri, lebih-lebih orang lain. Dan ini pernah dibuktikan oleh para sahabat.
Saat perang shifin (kelompok muawiyah vs kelompok ali) terjadi, saat pasukan sudah berhadap-hadapan, sudah menjadi tradisi dilangsungkan duel satu lawan satu. Saat itu sahabat Ali yang maju lebih dulu untuk menantang muawiyah. Tetapi muawiyah tidak berani, digantikan oleh 'Amr bin' Ash. Sahabat Ali memang jago duel dan terkenal dengan pedangnya yang namanya dzulfiqor (zulfikar). Dan dalam duel itu, sahabat ali menang dan pedang telah berada di leher 'Amar bin' Ash. Namun 'Amr ingat betula bahwa sahabat Ali adalah oramg yang pantang melihat aurat, sehingga kehebatan sahabat Ali tersebut ternyata di hadapan' Amar bin 'Ash menjadi kelemahan. Dalam kondisi yang demikian, sahabat' Amr bin 'Ash membula bajunya sehingga aurotnya terlihat. Sontak sahabat Ali berpaling untuk menghindar dari melihat aurat, sehingga' Amr bin Ash dapat menyelamatkan diri.
Karena kehebatannya dalam menjaga pandangan mata dari aurat, maka para ulama' bedoa dengan karromallohu wajhah untuk sahabat Ali. Berharap agar yang berdoalah yang mendpatkan kemuliaan itu. Maka berdoa untuk orang lain sejatinya adalag berdoa untuk sendiri.
Maka, pelajaran penting yang dapat kita ambil pada malam ini adalah marilah kita berdoa kebaikan untuk orang lain karena sejatinya doa itu adalah untuk diri kita, dan mistajabah. Sekali kita berdoa keburukan pada orang lain, maka keburukan akan menimpa kita. Maka damaikanlah hati kita agar mudah melihat sisi baik orang lain sehingga mudah mendoakan kebaikan untuk orang lain. Dan ketika kita berdoa kebaikan untuk orang lain, maka kebaikan akan menghampiri kita. Dan jika kita selalu berdoa kebaikan untuk orang lain maka hidup kita akan sangat bahagia dan sukses karena kita akan dihampiri banyal kebaikan. Maka sukses kita, tergantung pada kita melihat orang lain. Su'udzon dan khusnudzdzon itulah yang alan menentukan lebahagiaan dan kesuksesan kita.
Dan di malam ke 27 ini, marilah kita lestarikan dan istiqomah menjaga aurat sebagaimana sahabat Ali. Serta istiqomah dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan di luar bulan ramadlan, sebab 11 bulan itu penilaian yang lebih lama dari Allah serta ujian apakah Ramadlan kita benar2 media pembelajaran amal untuk masa-masa di luar ramadlan. Mugi kito sedoyo angsal keistimewaan ramadlan. Sebab rasulullah dawuh:
"Rugilah seorang hamba yang bertemu Ramadlan tetapi dosa-dosanya tidak diampuni Allah".
Post a Comment