Semua Shodaqoh Adalah Jariyah (Pahalanya Tidak Terputus)
Oleh: Moh. Dliya'ul Chaq
Keinginan memberi kepada yang tak mampu adalah naluri dan nurani setiap manusia. Sekejam-kejamnya manusia, di dalam hatinya pasti memiliki rasa sayang antar sesama dan ingin menolong yang lemah. Walaupun terkadang ia tidak mampu melaksanakan apa yang di dalam hatinya. Memang ada di dunia ini sifat pelit. Namun sepelit-pelitnya manusia, ia tetap ingin memberi kepada orang yang dianggapnya layak untuk diberi. Artinya sepelit-pelitnya manusia, di dalam hatinya pasti masih terdapat keinginan untuk memberi.
Namun memberi tidaklah mudah. Artinya, tidak semua orang mampu melaksanakan keinginan untuk memberi. Berbagai alasan dan (peng)kondisi(an) dimunculkan. Entah setan atau nafsu yang memunculkannya. Yang jelas alasan dan (peng)kondisi(an) itu menjadi alas logika untuk tidak jadi memberi. Merasa miskin, malu memberi sedikit, masih banyak waktu, ia tidak pantas diberi, dan lain sebagainya adalah di antara alasan dan peng(kondisi)an untuk tidak memberi. Padahal memberi tidak harus kaya, tidak perlu malu walaupun sedikit, tidak perlu menunda, dan juga tidak perlu melihat siapa dan untuk apa pemberian dari kita digunakan oleh mereka. Tapi memberi adalah membuat manusia di samping kita bisa tersenyum, bahagia. Oleh karenanya, dalam sebuah hadits, senyum pun dinilai shodaqoh.
Karena sulit, maka Allah memberikan iming-iming dan imbalan yang luar biasa bagi orang yang memberi. Ada yang imbalanyya berupa pahala yang tak pernah putus (jariyah). Ada banyak pengistilahan dalam memberi yang imbalannya dinilai tidak akan terputus (jariyah), yaitu wakaf dan sedekah untuk kepentingan umum lainnya.
Namun, jika ditelaah lebih lanjut, pada hakikatnya, memberi adalah shodaqoh jariyah, apapun bentuknya dan kepada siapapun diberikannya. Shodaqoh jariyah tidak terkhusus pada wakaf dan untuk kepentingan umum saja. Orang yang memberi kepada anak yatim, orang miskin atau siapapun, maka selama anak yatim, si miskin atau yang diberi itu hidup, pahalanya tidak akan terputus. Entah itu di makan atau digunakan untuk yang lainnya. Jika di makan oleh yang menerima pemberian, maka apa yang diberikan telah menjadi darah yang dalam diri yang menerima pemberian itu. Dan selama tubuh itu ada, maka selama itu pula pahala akan mengalir pada yang memberi. Terlebih jika yang menerima pemberian ternyata adalah anak sholeh atau orang memiliki ilmu manfaat. Begitupun jika tidak untuk dimakan, misalnya untuk pakaian. Di mana pakaian itu kemudian digunakan untuk bekerja dan hasil bekerjanya untuk menghidupi keluarganya atau menyekolahkannya, maka lagi-lagi pemberian itu menjadi fasilitas (washilah) mengalirnya pahala sampai kapanpun. Begitupun sedekah pada pengemis, pencari ilmu, ulama', anak, keluarga, dan lain sebagainya. Semuanya memiliki rasionalisasi jariyah.
Maka, tidak ada sedekah yang pahalanya terputus. Semua sedekah pahalanya mengalir pada pemberi sedekah. Tinggal bagaimana setiap pemberi sedekah meningkatkan kualitas dan kuantitas sedekah.
Next: Mengukur Kulitas Sedekah
Post a Comment