Ketika Pondok
Pesantren Mengelola Perguruan Tinggi
Moh.
Dliya’ul Chaq, M. HI.
A. Transformasi Kelembagaan Pesantren
Mayoritas
pesantren dalam melakukan apapun selalu didasarkan pada kekuatan instrinsik,
yaitu niat para pelakunya. Dalam tradisi pesantren, niat harus benar-benar
ditata, agar semua berhasil dijalankan dengan benar. Bahkan kualitas hasil
pendidikkan, justru yang berpengaruh adalah pada aspek niat itu. Bisa jadi
beberapa aspek belum mencukupi, asalkan dilakukan dengan niat yang lurus, benar
dan kokoh, masih dipercaya akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Akan
tetapi sebaliknya, jika niatnya tidak lurus dan tidak kokoh, sekalipun semua
aspek yang terkait dengan kegiatan itu terpenuhi, maka hasilnya tidak akan
memuaskan.
Mahasiswa
perguruan tinggi di pesantren jika berhasil menjadikan nilai-nilai pesantren
sebagai basis pengembangan keilmuannya, maka akan bisa membangun tradisi
keilmuan yang kuat. Nilai-nilai pesantren itu misalnya kebiasaan menghargai
ulama atau ilmuwan, mencintai ilmu lebih dari sebatas ijazah, memiliki motivasi
transcendent dalam mengembangkan ilmu, ikhlas, bersungguh-sungguh, berani
berkorban, menderita, dan bahkan beresiko untuk meraih tujuan, kesederhanaan,
kebersamaan dan lain-lain.
Di luar
pesantren, telah banyak kampus yang memiliki sarana prasarana yang lengkap,
mewah, manajerialnya sangat bagus dan bahkan lulusannya diakui dunia dalam hal
kecendekiawananya. Namun saat ini telah terjadi kegelisahan tentang turunnya
kualitas pendidikan karena adanya semangat yang lebih mengutamakan formalitas. Pergaulan
bebas, kebobrokan moral dan kehancuran ideologi telah banyak dialami mahasiswa,
termasuk mahasiswa alumni pesantren yang melanjutkan pendidikan tinggi di
kampus yang berbasis non pesantren.
Oleh
karenanya, integrasi antara pesantren dengan formalitas pendidikan merupakan salah
satu cara mengatasi masalah pendidikan saat ini. Pesantren sudah saatnya untuk
merubah paradigma lama dalam mengelola manajemen pendidikan menuju paradigma
manajemen pendidikan modern dengan tetap mempertahankan nilai-nilai luhur
pesantren, sebab formalitas merupakan sebuah keniscayaan era modern. Sebuah
pilihan tepat jika pesantren mendirikan perguruan tinggi, dan juga pilahn yang
sangat tepat jika santri memilih lanjut studi di perguruan tinggi berbasis pesantren.
Hal penting
terkait upaya integrasi pesantren dengan pendidikan formal, utamanya perguruan
tinggi adalah adanya perubahan pola pikir santri yang klasik dan tidak relevan
di zaman sekarang ini seperti paham bahwa “ikhlas itu tak boleh untung”,
“mencari uang dapat menghilangkan qana’ah dan ikhlas” atau perasaan
inferior santri yang cenderung minder melakukan hal-hal besar di luar sana.
Pola fikir seperti ini jelas salah sebab ikhlas adalah melakukan segala
sesuatdu dengan tujuan Allah (akhirat). Selain itu, ajaran Islam yang
mementingkan kemanfaatan bagi sesama (anfa’uhum linnas) akan terkendala.
Upaya integrasi
pesantren dengan pendidikan formal juga harus didukung kemandirian lembaga.
Bagaimanapun juga, lembaga swasta, termasuk pesantren, tegolong lembaga swadaya
masyarakat sehingga perkembangan infrastruktur tidak melaju cepat sebagaimana
lembaga negeri dengan sumber dana yang jelas. Pesantren sebagai lembaga
pendidikan yang netral juga tidak mungkin bergantung pada pihak ketiga yang
berkepentingan. Upaya untuk membangun lembaga pesantren yang mandiri dari sisi
pendanaan merupakan keniscayaan. Perguruan tinggi, pesantren, ataupun lembaga
pendidikan lainnya yang tidak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam hal
pendanaan lambat laun akan mengelami kemerosotan sebab paradigm masyarakat yang
mulai menunjuk kelengkapan sarana parasarana dan infrastruktur serta manajemen
yang baik sebagai indicator keberhasilan lembaga.
Oleh
karena itu, kekuatan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang telah berhasil
mencetak kader-kader bangsa harus dimanfaatkan dengan cerdas. Perubahan pola pikir
lama menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
luhur pesantren selama tujuan utamanya adalah tetap mencetak ulama’ yang
akademis atau akademisi yang ulama’.
B. Bentuk Ideal Perguruan Tinggi di Pesantren
a.
Fokus
Kajian Keilmuan Ideal
Transformasi
kelembagaan pesantren mulai awal hingga perkembangan terakhir ini, merupakan
reaksi terhadap berbagai tuntutan yang selalu berkembang dan berubah. Banyak
pesantren yang telah memiliki lembaga pendidikan formal sejak pendidikan anak
usia dini sampai pendidikan tinggi. Semua itu adalah tanggapan / reaksi
terhadap tuntutan perubahan.
Pesantren
memiliki peran penting dalam membangun dan memperjuangkan NKRI. Indonesia
dibangun dan diperjuangkan oleh kekuatan ulama. Kekuatan Indonesia terletak
pada kohesifitas kuat antara para ulama dan santri. Kepatuhan santri dengan
ulama, dan kooperatifnya ulama dengan penguasa membuat bangsa ini sulit di
ombang-ambing oleh kekuatan asing. Bagaimanapun pesantren telah mewarnai pendidikan
bangsa ini.
Pendidikan
akhlak (moral) dan agama merupakan focus utama pesantren dalam mencetak
kader-kader bangsa yang berkarakter. Banyak juga pesantren yang telah mencoba
untuk andil dalam pembangunan bangsa dengan mengintegrasikan pendidikan agama
dan pendidikan umum (non agama). Namun demikian, muncul kekhawatiran akan pudarnya
nilai dan fokus utama pendidikan di pesantren sebab realita yang telah terjadi.
UII mislanya, keterkaitan dengan pesantren telah memudar. Pesantren mahasiswa
di UIN ataupun IAIN sampai saat ini belum mampu menunjukkan keberhasilannya
dalam mencetak “santrinya” yang hebat dalam membaca kitab kuning, memiliki
karakter santri salaf, dll.
Mereka (UII,
UIN, IAIN) bahkan dapat diaggap adalah gagal dalam melakukan integrasi ilmu
agama dan ilmu umum walaupun telah ditunjang infrastruktur yang lengkap dan
memadai. Apalagi jika seandainya ada pesantren yang mencoba untuk mengintergrasikannya,
maka sangat sulit diterima secara logis. Bahkan terkesan memaksakan. Hal inilah
menjadikan mayoritas lembaga pendidikan formal di pesantren mulai tingkad PAUD
sampai dengan pendidikan tinggi terkesan sebagai “makmum”. Sebenarnya tidak ada
yang salah mengingat tujuannya mulia, namun pemaksaan integrasi keilmuan yang
demikian malah akan melemahkan lembaga pesantren.
Kekuatan
yang dimiliki pesantren seharusnya dijadikan modal utama untuk dikembangkan, bukan
malah dialih jalurkan. Artinya, pesantren yang memiliki kekuatan di bidang
pendidikan akhlak, pendidikan agama (akidah dan syariah) dan penguasaan kitab
kuning (kitab turats) seharusnya dijadikan modal utama pengembangan. Transformasi
kelembagaan niscaya tetap dilakukan dengan tetap focus pada pengembangan
pendidikan yang menjadi “wilayah tugas” pesantren, yakni pengembangan keilmuan
agama Islam.
Maka
menurut penulis, focus kajian / konsentrasi utama keilmuan lembaga pendidikan
tinggi di Pesantren yang paling baik adalah kajian keilmuan agama Islam, bukan keilmuan
umum. Biarlah keilmuan umum menjadi “wilayah tugas” mereka yang memiliki basic
keilmuan non pesantren. Bahkan mereka lebih prosesional dalam mengelola lembaga
tersebut.
b.
Manajemen
Lembaga Pendidikan Formal di pesantren yang Ideal
Adalah keniscayaan bahwa perubahan
pola pikir SDM pesantren yang klasik dan tidak relevan di zaman sekarang ini
seperti paham bahwa “ikhlas itu tak boleh untung dan tidak boleh mendapatkan
banyak”, “mencari uang dapat menghilangkan qana’ah dan ikhlas” atau perasaan
inferior santri yang cenderung minder melakukan hal-hal besar di luar sana.
Perubahan pola pikir ini akan berdampak pada perubahan manajerial dan finansial
di pesantren.
Kekuatan
manajerial dan kekuatan finansial saat ini menjadi kekuatan penting untuk
meraih perubahan dan perkembangan. Namun banyak pesantren yang belum memiliki kekuatan
tersebut sehingga transformasi kelemabgaan yang dilakukan terkesan jalan di
tempat.
Upaya manajerial
untuk menjamin mutu pendidikan harus dilakukan oleh perguruan tinggi di
pesantren. Adanya lembaga penjamin mutu menjadi salah satu upaya untuk mengawal
mutu pendidikan pesantren. The Faunding
Layanan cepat
berbasis jaringan luas hingga mudah diakses juga harus dilakukan oleh perguruan
tinggi berbasis pesantren sebab memudahkan SDM dalam hal pelayanan akan memperbanyak
waktu belajar. Mengingat banyak sekali mahasiswa yang terkendala pelayanan
sehingga menyurutkan konsentrasi belajar. Selain itu, penilaian dan rekam jejak
lembaga tersebut dapat langsung diinformasikan terhadap masyarakat.
Ketersediaan
sarana prasarana juga menjadi keharusan bagi perguruan tinggi di pesantren
mengingat tujuan dari pendirian perguruan tinggi di pesantren adalah mengembangkan
keilmuan yang telah ada. Maka dukungan sarpras adalah wajib bagi perguruan
tinggi di pesantren. “Belajar di manapun dapat dilaksanakan” memang dapat
dibenarkan jika lembaga memiliki tenaga potensial dan inovatif. Namun faktanya,
SDM saat ini masih sangat lemah untuk melakukan inovasi. Selain itu, paradigm masyarakat
menjadikan ketersediaan sarpras sebagai indicator kesuksesan sebuah lembaga.
Jika tidak menampung hal itu, maka lambat laun akan ditinggalkan oleh
masyarakat. Mungkin masih ada masyarakat yang percaya, tetapi masyarakat yang
mungkin “terpaksa” masuk ke dalam situ karena berbagai alasan. Jika hanya “masyarakat
terpaksa” yang masuk ke dalam situ, maka kecil kemungkinan alumninya akan
melakukan perubahan untuk masyarakat ketika lulus.
Namun semua
upaya tersebut tidak akan mungkin terealisasi jika tidak didukung dengan kekuatan
finansial yang mandiri. Sangat mungkin perguruan tinggi berbasis pesantren dapat
melaksanakan upaya pengembangan di atas tanpa didukung kekuatan finansial,
namun perjalanannya akan butuh waktu yang lama sementara masyarakat saat ini
membutuhkan lembaga yang dinilai “sudah jadi”. Oleh sebab itu, perguruan tinggi
di pesantren haruslah memiliki badan usaha yang mampu menopang finasial kampus
sehingga kampus akan bergerak bebas dan cepat dalam melakukan pengembangannnya.
Perguruan
tinggi yang mampu memiliki kekuatan di atas dengan tetap mempertahankan
nilai-nilai luhur pesantren pasti akan berkembang pesat dan mampu duduk
bersanding bahkan di atas universitas Havard di Amerika yang mulanya adalah
pesantren bagi pendeta. Wallahu A’lam Bisshowab.
Post a Comment