Jangan di Klik

Featured Post Today
print this page
Latest Post

Perdebatan Dasar Hukum Amaliah Nishfu Sya’ban



Perdebatan Dasar Hukum Amaliah Nishfu Sya’ban
(Moh. Dliya’ul Chaq)
Bag. 1 

Perdebatan mengenai amaliah nishfu Sya’ban dikalangan ulama’ tidak menemukan titik temu. Berbagai pendapat muncul di kalangan ulama’:
1.    Sebagian menyatakan bahwa amaliah itu memiliki dasar yang jelas dari hadits, sehingga boleh bahkan dianjurkan untuk dilaksanakan.
2.    Sebagian menyatakan bahwa amaliah tersebut tidak berdasar dari hadits ataupun qur’an secara tegas tetapi boleh untuk melakukannya sebab bulan Sya’ban adalah bulan istimewa
3.   Sebagian menyatakan bahwa amaliah tersebut tidak memiliki dasar dari hadits maupun al-Qur’an sehingga amaliah ini tergolong bid’ah yang dilarang oleh agama.
Golongan yang tidak memperbolehkan amaliah nishfu Sya’ban cenderung menetapkan segala hukum harus berdasarkan pada al-Qur’an atau hadits yang secara tegas menerangkan amaliah ibadah tersebut. Amaliah ibadah yang tidak pernah diungkapkan atau dilakukan oleh rasulullah saw tidak boleh dilakukan karena tergolong bid’ah.
Sementara golongan yang memperbolehkan / menganjurkan amaliah nishfu Sya’ban lebih cenderung menetapkan hukum berdasarkan al-qur’an, hadits, factor pendorong lain yang memungkinkan amaliah ibadah dilaksanakan serta malakukan interpretasi terhadap syariah. Sehingga amaliah ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah menurut golongan ini dapat dilaksanakan asalkan memiliki dalil pendukung dari qur’an maupun hadits baik secara langsung maupun tidak langsung selama masih dalam koridor tidak menyalahi syariah / nash yang lain yang lebih spesifik melarangnya.
Model berfikir para ulama’ Islam seperti ini sudah ada sejak masa Sahabat Rasulullah saw pasca rasulullah saw wafat. Sayyidina Umar bin Khattab sering menetapkan hokum yang secara eksplisit terlihat bertentangan dengan nash qur’an maupun hadits namun ketetapan hukumnya memiliki dasar lain, atau bahkan hanya bersandar pada mashlahat ummat. Berlanjut pada masa itu, terdapat dua golongan yakni ahli hadits (ulama’ daerah hijaz) dan ahli ra’yu (ulama’ daerah jauh dari Hijaz, misalnya Iraq). Ahli hadits cenderung menetapkan hokum selalu berdasar hadits, sementara ahli ra’yu cenderung lebih pada penggunaan nalar yang dipadukan dengan nash (qur’an / hadits).
Melihat fenomena seperti ini, masyarakat muslim seharusnya tidak perlu untuk menghukumi kelompok muslim lain yang berbeda pandanganya. Hal ini karena sebenarnya sama-sama memiliki dasar. Selain itu, kontruksi pengetahuan yang dimiliki seseorang tentunya dipengaruhi oleh informasi ilmu yang diperolehnya ketika belajar. Maka, ketika informasi ilmu yang diperolehnya berasal dari golongan A, maka pasti akan berbeda dengan orang yang golongan B. Transmisi keilmuan yang berbeda pastinya akan membentuk pola pikir yang berbeda juga. Maka tidaklah salah berbeda menurut agama Islam. Dalam salah satu kaidah dijelaskan bahwa apapun hasil ijtihad (mengerahkan kemampuan berfikir untuk menemukan sesuatu) tidaklah boleh disalahkan dengan ijtihad yang lain. Bahkan dalam sebuah hadits, ijtihad hakim jika benar akan mendapat dua pahala, sedangkan jika salah tetap akan mendapat pahala walaupun cuma satu pahala. Dalam al-Qur’an juga ditegaskan bahwa manusia diciptakan Allah memang berbeda-beda. Artinya, perbedaan adalah sunnatulloh yang tidak mungkin dihindari. Yang salah adalah berselisih/bertengkar sampai menuduh kafir terhadap muslim lainnya.
Terkait masalah amaliah ibadah nishfu Sya’ban, golongan yang memperbolehkan dan golongan yang menganjurkan diantaranya adalah Imam al-Ghazali, Ibnu Taymiyah, Imam Syafi’I, dan lain sebagainya. Dasar yang digunakan oleh golongan ini adalah beberapa hadits:
1.      Diriwayatkan dari Siti A’isyah ra berkata, “Suatu malam rasulullah salat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: “Hai A’isyah engkau tidak dapat bagian?”. Lalu aku menjawab: “Tidak ya Rasulullah, aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama”. Lalu beliau bertanya: “Tahukah engkau, malam apa sekarang ini”. “Rasulullah yang lebih tahu”, jawabku. “Malam ini adalah malam nisfu Sya’ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki” (H.R. Baihaqi)
2.      Diriwayatkan dari Siti Aisyah ra bercerita bahwa pada suatu malam ia kehilangan Rasulullah SAW. Ia lalu mencari dan akhirnya menemukan beliau di Baqi’ sedang menengadahkan wajahnya ke langit. Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah Azza Wajalla turun ke langit dunia pada malam nishfu Sya’ban dan mengampuni (dosa) yang banyaknya melebihi jumlah bulu domba Bani Kalb.” (HR Turmudzi, Ibnu Majah, Musnad Imam Ahmad hadits no.24825)
3.      Rasulullah saw bersabda,: “Allah mengawasi dan memandang hamba hamba Nya di malam nisfu sya’ban, lalu mengampuni dosa dosa mereka semuanya kecuali musyrik dan orang yg pemarah pada sesama muslimin” (Shahih Ibn Hibban hadits no.5755)
4.      Diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah pada malam nishfu Sya’ban mengawasi seluruh mahluk-Nya dan mengampuni semuanya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan.” (Sunan Ibn Majah 1:445; Al-Targhib 2:118; Musnad Ahmad 2:368, h.6604)
5.      Nabi bersabda: Tatkala datang malam Nisfu Sya’ban Allah memberikan ampunanNya kepada penghuni bumi, kecuali bagi orang syirik (musyrik) dan berpaling dariNya (HR Ahmad).
6.      Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib KW bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika malam nishfu Sya’ban tiba, maka salatlah di malam hari, dan berpuasalah di siang harinya, karena sesungguhnya pada malam itu, setelah matahari terbenam, Allah turun ke langit dunia dan berkata, Adakah yang beristighfar kepada Ku, lalu Aku mengampuninya, Adakah yang memohon rezeki, lalu Aku memberinya rezeki , adakah yang tertimpa bala’, lalu Aku menyelamatkannya, demikian seterusnya hingga terbitnya fajar.” (HR Ibnu Majah)
7.      Diriwayatkan dari Abu Umamah al Bahili, Bersabda Rasulullah SAW : Lima malam yang tidak akan ditolak doa didalamnya, Malam pertama bulan Rajab, malam Nisfu Sya'ban, Malam Jumat, Malam Idul Fitri dan Malam Idul Adha. (Hadits Marfu' dalam Tarikh Dimasyqi Ibn Asakir)
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسُ لَيَالٍ لا تُرَدُّ فِيهِنَّ الدَّعْوَةُ : أَوَلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ ، وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، وَلَيْلَةُ الْجُمُعَةِ ، وَلَيْلَةُ الْفِطْرِ ، وَلَيْلَةُ النَّحْرِ

8.      Rasulullah Saw bersabda, :”Apabila sudah datang malam Nisfu Sya’ban, maka berdirilah untuk salat di malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya, karena Allah swt turun ke langit dunia pada Nisfu Sya’ban sampai tenggelam matahari pada hari itu. Ia berfirman: Siapakah yang memohon ampunan untuk aku ampuni, siapa yang memohon rezeki untuk aku beri, siapa yang mendapat musibat untuk aku sembuhkan, dan seterusnya, sampai terbit fajar”. (Sunan Ibn Majah, tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, 1: 444, nomor hadis 1388; Al-Targhib 2:119; Taj al-Jami’ al-Ushul 2:93)
9.      Diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda “Bulan Sya’ban itu bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadan. Ia adalah bulan diangkatnya amal-amal oleh Tuhan. Aku menginginkan saat diangkat amalku aku dalam keadaan sedang berpuasa (HR Nasa’I dari Usamah).
10.   Ibn Ishak meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa pernah Rasulullah memanggil isterinya, Aisyah dan memberitahukan tentang Nisfu Sya’ban. “Wahai Humaira, apa yang engkau perbuat malam ini? Malam ini adalah malam di mana Allah yang Maha Agung memberikan pembebasan dari api neraka bagi semua hambanya, kecuali enam kelompok manusia”.
11.   Dari Ummu Salamah: Aku tidak melihat Nabi saw berpuasa dua bulan terus menerus kecuali Sya’ban dan Ramadhan (Al-Taj al-Jami’ al-Ushul 2:93)
12.   Dari “Aisyah: Aku tidak melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasanya sampai sebulan kecuali di bulajn Ramadhan, dan aku tidak melihatnya paling banyak berpuasa kecuali di bulan Sya’ban (Al-Taj al-Jami’ al-Ushul 2:93)
13.   Nabi saw bersabda: Apabila datang malam Nisfu Sya’ban, salatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya (Sunan Ibn Majah 1:444)
14.   Nabi saw bersabda: Siapa yang berpuasa pada hari Nisfu Sya’ban, ia memperoleh pahala seperti berpuasa dua tahun: tahun yang lalu dan tahun yang akan datang (Kanz al-‘Ummal 14:178, h. 38293)
15.   Sehubungan dengan hal itu Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan pengakuan Aisyah ra.” lam yakunin Nabiyi sha mim yashumu aksara min sya’baana finnahu kaana yashumuhu kulluhu kaana yashumuhu illa qalilan. Maksud Aisyah dalam periwayatan ini bahwa Nabi Muhammad SAW paling banyak berpuasa pada bulan Sya’ban.

Dari beberapa hadits terkait keistimewaan bulan sya’ban serta hadits yang secara tegas menyatakan nishfu sya’ban, beberapa ulama’ berpendapat bahwa nishfu sya’ban dengan mengamalkan beberapa amaliah ibadah diperbolehkan, di antara beberapa pendapat ulama’-ulama’ tersebut adalah:
1.      Syaikh‘Abdul Qadir al-Jailaniy berkata, “Malam Nishfu Sya’ban adalah malam yang paling mulia setelah Lailatul Qodr.” (Kalaam Habiib ‘Alwiy bin Syahaab)
2.      Berkata Imam Syafii rahimahullah : “Doa mustajab adalah pada 5 malam, yaitu malam jumat, malam idul Adha, malam Idul Fitri, malam pertama bulan rajab, dan malam nisfu sya’ban” (Sunan Al Kubra Imam Baihaqiy juz 3 hal 319).
3.      Dalam  al-Fawaaidul Mukhtaaroh Diceritakan bahwa Ibnu Abiy as-Shoif al-Yamaniy berkata, “Sesungguhnya bulan Sya’ban adalah bulan sholawat kepada Nabi saw, karena ayat Innallaaha wa malaaikatahuu yushalluuna ‘alan Nabi … diturunkan pada bulan itu. (Lihat Kitab Ma Dza Fiy Sya’ban)
4.      Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengistilahkan malam Nisfu Sya’ban sebagai malam yang penuh dengan syafaat (pertolongan). Menurut al-Ghazali, pada malam ke-13 bulan Sya’ban Allah SWT memberikan seperti tiga syafaat kepada hambanya. Sedangkan pada malam ke-14, seluruh syafaat itu diberikan secara penuh. Dengan demikian, pada malam ke-15, umat Islam dapat memiliki banyak sekali kebaikan sebagai penutup catatan amalnya selama satu tahun. Karena pada malam ke-15 bulan Sya’ban inilah, catatan perbuatan manusia penghuni bumi akan dinaikkan ke hadapan Allah SWT.
5.      Ibnu Taimiyyah menghidupkan Nishfu Sya’ban dengan amalan khusus. Ibnu Taimiyah, (Ulama Besar yang selalu menjadi rujukannya wahabi/salafy) mengkhususkan amalan sholat pada nishfu Sya’ban dan memujinya: Dalam karyanya Majmu’ Fatawa pada jilid 24 halaman 131 mengenai amalan Nishfu Sya’ban sebagai berikut: “Apabila seorang itu menunaikan sholat pada malam Nishfu Sya’ban secara individu atau berjamaah secara khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebilangan masyarakat Islam maka hal itu adalah Baik”. Pada halaman 132 di kitab yang sama itu, Ibnu Taimiyyah mengakui adanya hadits yang mengkhususkan untuk ibadah sholat malam Nishfu Sya’ban, “(Berkenaan malam Nishfu Sya’ban) maka telah diriwayatkan mengenai kemuliaan dan kelebihan Nishfu Sya’ban dengan hadits-hadits dan atsar, di nukilkan dari golongan Salaf (orang-orang dahulu) bahwa mereka menunaikan sholat khusus pada malam Nishfu Sya’ban, sholatnya seseorang pada malam itu secara perseorangan sebenarnya telah dilakukan oleh ulama Salaf dan dalam perkara tersebut terdapat hujjah/dalil maka jangan di-ingkari, manakala sholat secara jama’ah (pada malam nishfu sya’ban) adalah dibina atas hujah/ dalil kaedah pada berkumpulnya manusia dalam melakukan amalan ketaatan dan ibadat”. Sedangkan dalam karyanya Iqtido’ As-sirot Al-Mustaqim pada halaman 266 beliau mengatakan, “(Malam Nishfu Sya’ban) telah diriwayatkan mengenai kemuliaannya dari hadits-hadits Nabi dan pada kenyataan para sahabat telah menjelaskan bahwa itu adalah malam yang mulia dan dikalangan ulama As-Salaf yang meng- khususkan malam Nishfu Sya’ban dengan melakukan sholat khusus padanya dan berpuasa bulan Sya’ban, ada pula hadits yang shohih. Ada dikalangan Salaf (orang yang terdahulu), sebagian dari ahli Madinah dan selain mereka sebagian dikalangan Khalaf (orang belakangan) yang mengingkari kemuliannya dan menyanggah hadits-hadits yang diriwayatkan padanya seperti hadits: ‘Sesungguhnya Allah swt. mengampuni padanya lebih banyak dari bilangan bulu kambing bani kalb’. Akan tetapi disisi kebanyakan ulama ahli Ilmu atau kebanyakan ulama Madzhab kami dan ulama lain adalah memuliakan malam Nishfu Sya’ban, dan yang demikian adalah kenyataan Imam Ahmad bin Hanbal dari ulama Salaf, karena cukup banyak hadits yang menyatakan mengenai kemuliaan Nishfu Sya’ban, begitu juga hal ini benar dari kenyataan dan kesan-kesan ulama As-Salaf, dan telah dinyatakan kemuliaan Nishfu Sya’ban dalam banyak kitab hadits Musnad dan Sunan”.
6.      Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan bahwa para tabi’in di negeri Syam seperti Khalid bin Mi’dan dan Makhul telah berjuhud (mengkhususkan beribadah) pada malam nishfu sya’ban. Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan. Selanjutnya Al-Qasthalany berkata perbedaan pendapat para ulama Syam hanya dalam bentuk cara ibadah pada malam nishfu Sya’ban. Ada yang mengamalkan dimasjid secara berjama’ah yaitu pendapat Khalid bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir dan disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih. Ada lagi yang mengamalkan sendiri-sendiri dirumah atau ditempat lainnya, pendapat ini disetujui oleh Al-Auza’i dan para ulama Syam umumnya.
7.      Dr Wahbah al-Zuhaily menulis dalam Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, menulis, “Disunnahkan menghidupkan dua malam hari raya (Idul Fithri dan Idul Adhha) serta malam-malam sepeuluh terakhir di bulan Ramadhan untuk Laylatul Qadr, sepuluh malam Dzul Hijjah, malam Nisfu Sya’ban dengan melakukan ibadah seluruh malam atau sebagain besar malam itu, berdasarkan hadis-hadis yang shahih yang menetapkannya” (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh 2:47).
Bersambung....
0 comments

AMALIAH DAN DOA NISHFU SYA’BAN



AMALIAH DAN DOA NISHFU SYA’BAN
(Moh. Dliya’ul Chaq)



Banyak sekali ragam amaliah dan doa nishfu sya’ban (separuh bulan sya’ban). Namun yang sering digunakan masyarakat Indonesia di Jawa Timur adalah:
1.      Puasa di siang harinya
2.      Sholat Sunnah Mutlaq sebanyak 2 rakaat (membaca surat al-kafirun pada rakaat pertama dan membaca surat al-Ikhlas pada rakaat kedua)
Ada juga yang menganjurkan Shalat sunnah 4 raka’at  2 salam dan setiap raka’at setelah membaca Surat Al-fatehah membaca Surat al-qodar 1x, Surat al-ikhlas 3x, Surat al-falaq 1x, Surat an-Nas 1x dan Setelah Salam pada shalat yang kedua membaca Shalawat 10x (shalawat apapun), membaca Surat Yasin Setelah itu lakukan Shalat Tasbih.
3.      Membaca surat Yasin 3 kali dg niat :
a.   Agar diberi umur panjang beserta taufik untuk taat kepada Alloh Ta’ala.
b.   Niat untuk penjagaan dari bala’ dan bencana serta untuk keluasan rizki.
c.   Niat agar diberi kekayaan hati dan mati dalam husnul khotimah.
4.      Membaca doa di bawah ini (setelah membaca Yasin tiga kali):
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.
اَللَّهُمَّ يَاذَا الْمَنِّ وَلاَ يُمَنُّ عَلَيْهِ، يَاذَاالْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ، يَاذَا الطَّوْلِ وَاْلإِنْعَامِ، لآ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ ظَهْرَ اللاَّجِيْنَ، وَجَارَ الْمُسْتَجِيْرِيْنَ، وَمَأْمَنَ الْخَائِفِيْنَ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِيْ عِنْدَكَ فِيْ أُمِّ الْكِتَابِ شَقِيًّا أَوْ مَحْرُوْمًا أَوْ مَطْرُوْدًا أَوْ مُقَتَّرًا عَلَيَّ فِي الرِّزْقِ فَامْحُ مِنْ أُمِّ الْكِتَابِ شَقَاوَتِيْ وَحِرْمَانِيْ وَتَقْتِيْرَ رِزْقِيْ، وَأَثْبِتْنِيْ عِنْدَكَ سَعِيْدًا مَرْزُوْقًا مُوَفَّقًا لِلْخَيْرَاتِ، فَإِنَّكَ قُلْتَ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ فِيْ كِتَابِكَ الْمُنْزَلِ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكَ الْمُرْسَلِ (يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ). إِلَهِي بِالتَّجَلِّـى اْلأَعْظَمِ فِيْ لَيْلَـةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ الْمُكَرَّمِ اَلَّتِي يُفْرَقُ فِيْهَا كُلُّ أَمْرٍ حَكِيْمٍ وَيُبْرَمُ، إِكْشِفْ عَنِّيْ مِنَ الْبَلاَءِ مَا أَعْلَمُ وَمَا لاَ أَعْلَمُ وَاغْفِرْ لِيْ مَا أَنْتَ بِهِ أَعْلَمُ. اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنْ أَعْظَمِ عِبَادِكَ حَظًّا وَنَصِيْبًا فِيْ كُلِّ شَيْءٍ قَسَمْتَهُ فِيْ هَذِهِ اللَّيْلَةِ مِنْ نُوْرٍ تَهْدِي بِهِ، أَوْ رَحْمَةٍ تَنْشُرُهَا، أَوْ رِزْقٍ تَبْسُطُهُ، أَوْ فَضْلٍ تَقْسِمُهُ عَلَى عِبَادِكَ الْمُؤْمِنِيْنَ، يَا اَللهُ يَا اَللهُ  يَا اَللهُ لآ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ. اَللَّهُمَّ هَبْ لِيْ قَلْبًا تَقِيًّا نَقِيًّا مِنَ الشِّرْكِ بَرِيًّا، لاَ كَافِرًا وَلاَ شَقِيًّا، وَقَلْبًا سَلِيْمًا خَاشِعًا ضَارِعًا. اَللَّهُمَّ امْلأْ قَلْبِيْ بِنُوْرِكَ وَأَنْوَارِ مُشَاهَدَتِكَ وَجَمَالِكَ وَكَمَالِكَ وَمَحَبَّتِكَ وَعِصْمَتِكَ وَقُدْرَتِكَ وَعِلْمِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
(Dapat ditambah Do'a Syeikh Abdul Qodir Al Jaelani di malam Nisfu Sya'ban)
اَللَّهُمَّ إِذْ أَطْلَعْتَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ عَلَى خَلْقِكَ، فَعُدْ عَلَيْنَا بِمَنِّكَ وَعِتْقِكَ، وَقَدِّرْ لَنَا مِنْ فَضْلِكَ، وَوَسِّعْ رِزْقَكَ، وَاجْعَلْنَا مِمَّنْ يَقُوْمُ لَكَ فِيْهَا بِبَعْضِ حَقِّكَ. اَللَّهُمَّ مَنْ قَضَيْتَ فِيْهَا بِوَفَاتِهِ فَاقْضِ مَعَ ذَلِكَ رَحْمَتَكَ، وَمَنْ قَدَّرْتَ طُوْلَ حَيَاتِهِ فَاجْعَلْ مَعَ ذَلِكَ نِعْمَتَكَ، وَبَلِّغْنَا مَا لاَتَبْلُغُ اْلآمَالُ إِلَيْهِ يَا خَيْرَ مَنْ وَقَفَتِ اْلأَقْدَامُ بَيْنَ يَدَيْهِ يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ خَلْقِهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.

Biasanya dilaksanakan setelah maghrib. Namun sebenarnya waktunya mutlak. Artinya boleh dikerjakan ba’da isya’ asalkan pada malam hari itu.


0 comments

Taushiyah Syekh Abdul Qadir al-Jaylani Melalui Syekh Dr. Muhammad Fadhil Al-Jaylani



Taushiyah Syekh Abdul Qadir al-Jaylani
Melalui
Syekh Dr. Muhammad Fadhil Al-Jaylani
 (Pengumpul Materi: Moh. Dliya’ul Chaq)[1]



Syekh Dr. Muhammad Fadhil Al-Jaylani berasal dari Istambul Turki adalah cucu keturunan Syekh Abdul Qadir al-Jaylani. Beliau adalah peneliti dan Muhaqqiq terhadap karya-karya Ulama’ Islam Dunia. Bermula dari perintah kakeknya (Syekh M. Shiddiq al-Qadiri al-Jaylani) untuk hidup di Madinah sejak berusia belasan tahun, beliau akhirnya menetap di Madnah tanpa mengetahui alas an dan rahasia perintah kakeknya tersebut. Kakeknya adalah mursyid Thariqah Qadiriyyah.
Keseharian Syekh Dr. M. fadhil al-Jaylani di Madinah sering membaca buku di Perpustakaan Masjid. Suatu hari saat berusia 24 tahun, beliau menemukan katalog dan keterangan bahwa kakek buyutnya, Syekh Abdul Qadir al-Jaylani, pernah menulis karya Tafsir. Berawal dari itulah Syekh Dr. Muhammad Fadhil al-Jaylani berniat untuk mencari keberadaan tafsir tersebut.
Melalui izin dari kakeknya dan ayahnya (Syekh Wafiq al-Jaylani), akhirnya beliau mulai melakukan pencarian tafsir tersebut. Bahkan ayah beliau juga ikut berusaha untuk meneliti, sehingga akhirnya kemursyidannya (thariqah qadiriyyah) di Istambul diberikan kepada murid ayahnya.
Selama puluhan tahun keluar masuk perpustakaan muslim dan non muslim di seluruh dunia, akhirnya beliau menemukan manuskrip tafsir tersebut. Pada saat pencarian tersebut, beliau bahkan juga menmukan banyak manuskrip Sykeh Abdul Qadir al-Jaylani yang berada di tangan sbeberapa orang non muslim dan perpustakaan non muslim. Bahkan puluhan-ratusan ribu manuskrip ulama’ Sufi dan ulama’ muslim lainnya yang berada di tangan non Muslim. Dan saat ini, di tangan beliau sudah 40.000 manuskrip yang mayoritas terkait tentang tasawwuf.
Akhirnya pada sekitar tahun 2009/2010, Dr. Rohimuddin (dari Indonesia) ketika berada di Mesir sempat melihat tafsir al-Jaylani yang dijual di bursa buku di Mesir pada waktu itu. Dr. Rohimuddin bertanya kepada penjual, “apakah ini tafsir Syekh Abdul Qadir al-Jayalani ataukan al-Jaylani yang lainnya?”, Penjual buku itu menjawab, “Ini Shulthonul Awliya’ Syekh Abdul Qadir al-Jaylani”. Ternyata di samping took itu terdapat kerumunan orang yang ditengah-tengahnya adalah Syekh Dr. Fadhil al-Jaylani. Akhirnya Dr. Rohimuddin memperjelas pertanyaan pada Syekh Dr. Fadhil, “Apakah Syekh Abdul Qadir benar-benar memiliki karya tafsir? Selama ini saya todak pernah tahu.”. Beliau menjawab, “Para ulama’ saja tidak tahu. Dan inilah tafsir beliau yang saya temukan selama puluhan tahun”. Akhirnya terjadi kesepakatan bahwa beliau akan diundang ke Indonesia. Tiga bulan sejak pertemuan itulah, Syekh Dr. Muhammad Fadhil pertama kali datang di Indonesia.
Syekh Dr. Muhammad Fadhil menyampaikan taushiyah di Tambakberas yang isinya:
1.         Thoriqh, doa, wirid, dan ibadah lainnya hendaklah diamalkan secara terus menerus (‘ala thariqati al-dawam wa al-istimrar). Segala sesuatu yang baik harus diamalkan secara langgeng, terus menerus dan Ikhlas (Kullu Sya’in Bi al-Dawan wa al-Istimror wa al-Ikhlash). Termasuk wirid setelah sholat maktubah, yakni membaca sholawat, istighfar, al-Fatihah, Surat al-Ahad, Ayat Kursi, Subhanalloh (33x) wa al-Hamdulillah (33x) wa Allohu Akbar (34x) dan Kalimah Laa Ilaaha Illalloh (33x). Inilah keterangan yang saya kutup dari manuskrip Syekh Abdul Qadir al-Jaylani.
2.         Wirid adalah amal ibadah yang dilakukan secara terus menerus (didawamkan). Oleh karenanya, dalam keadaan apapun jangan meninggalkannya, baik dalam keadaan duduk, berdiri ataupun kegiatan lainnya. Ucapkan terus kalimah Laa Ilaaha Illalloh.
3.         Selain wirid thariqah qadiriyah, Syekh abdul Qadir al-Jaylani juga melaksanakan wirid berupa shalat tahajjud, Shalat di waktu Isyraq, Shalat Dluha, dan ibadah badaniyah lainnya. Insya Allah, bagi yang mengamalkannya akan mendapatkan rizqi berupa ketetapan iman, hati bersih, rizqi berupa anak yang sholeh, dan rizqi lainnya termasuk rizqi yang kesekiannya berupa harta benda yang halal. Rizqi yang halal sangatlah penting bagi kita karena akan menghasilkan dzurriyah (keturunan) yang sholihin.
4.         Bacalah surat al-Mulk (Tabarok) dan al-Waqiah sebelum tidur, bukan karena fadhilahnya, tetapi saya sampaikan ini karena wirid ini adalah wirid Syekh abdul Qadir al-Jaylani yang lainnya yang saya temukan dalam beberapa manuskrip.
5.         Thoriqah Qadiriyah akan saya ijazahkan dalam forum ini secara ‘ammah (umum). Tata cara baiat / ‘ahdu terdapat banyak keterangan di manuskrip Syekh Abdul Qadir al-Jaylani yang saya temukan berjudul al-Futuhat.
6.         Thoriqah Syekh Abdul Qadir al-Jaylani adalah Tharoqah yang sampai kepada Sayyidina Ali kw, suami Sayyidah Fathimah binti Rasulullah. Sayyidina Ali menerima wirid tersebut dari Rasulullah SAW dengan keduanya duduk bersila sambil mempertemukan kedua lutut dan bermalaman. Rasul Bersabda, “Bagi pengamal thoriqoh ini, selama matahari berjalan di langit, maka pahalanya akan sampai padanya”
7.         Selama ini, saya (Sykeh Dr. Muhmmad Fadhil al-Jaylani) telah menrima thariqah wirid qadiriyyah dari ayah dan kakek. Setelah saya melakukan penelitian, ternyata wirid yang saya peroleh adalah sama dengan manuskrip syekh Abdul Qadir al-Jaylani yang saya temukan.[2]
8.         Terdapat sholawat Bahsair / bashoir (penulis tidak jelas teksnya karena pengungkapan orang turki terkadang bashoir dibaca basair) yang berasal dari Syekh Abdul Qadir al-Jaylani. Fadhilahnya banyak sekali, di antaranya sebagai obat kelemahan faham, hafal, atau fikir.
Terakhir, Syekh Dr. Muhammad Fadhil menyampaikan, “Saya wasiat kepada kalian untuk membaca Tafsir al-Jaylani” (Ushikum Bi Qira’ati Tafsir al-Jaylani). Wallahi akan banyak sekali faidahnya. Saya telah menyasikan sendiri beberapa orang membaca tafsir itu setiap waktu dengan mendapat banyak faidah. Apalagi dibaca dalam halaqah (majelis ilmu) secara rutin.

Itulah beberapa Taushiyah Syekh Abdul Qadir al-Jaylani melalui Syekh Dr. Muhammad Fadhil Al-Jaylani. Stelah memberikan taushiyah tersebut, Syekh Dr. Muhammad Fadhil Al-Jaylani mengijazahkan kepada semua hadirin:
1.    Thariqah Qadiriyyah
2.    Shalawat Bashair
3.    Tafsir al-Jaylani.






[1]Dirangkum oleh penulis yang menghadiri acara “Forum silaturrahim dan Ijazah” yang dihadiri dan disampaikan oleh Dr. Muhmmad Fadhil al-Jaylani pada Rabu 11 Juni 2014 (10.00 WIB s.d selesai) di Aula Yayasan PP. Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, Forum silaturrahim. Acara ini dihadiri oleh Para Pengasuh Pondok Tambakberas dan Dewan Guru dan Dosen di Lingkungan Tambakberas. Rombongan Dr. M. Fadhil di antaranya adalah Dr. Dhiyauddin dan Dr. Rohimuddin.
[2]Dr. Rohimuddin pernah mengkoreksikan wirid thariqah qadiriyah yang didapatkan dari Syekh Dr. Fadhil kepada Habib Luthfi Pekalongan. Ternyata Habib Luthfi menyatakan bahwa wirid itu kurang. Ketika beliau menyampaikan pada Dr. Fadhil, menurut beliau tidak kurang melainkan terkadang beberapa mursyid terdahulu menambahkan (melalui pengalaman spiritualnya) beberapa lafadz. Dan itu diperbolehkan. ArtinyaThariqah Qadiriyyah sangat mungkin berbagai versi. Namun berdasarkan manuskrip yang ditemukan Syekh Dr. Muhammad Fadhil, wirid thariqah qadiriyyah yang beliau peroleh adalah orisinil dari Syekh Abdul Qadir al-Jaylani didukung dengan bukti manuskrip yang beliau temukan.
3 comments
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. EKSPLORIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger