Jangan di Klik

Featured Post Today
print this page
Latest Post

SISTEM DISKUSI & METODE PENGAMBILAN KEPUTUSAN HUKUM ISLAM DALAM BAHTSUL MASAIL




SISTEM DISKUSI
&
METODE PENGAMBILAN KEPUTUSAN HUKUM ISLAM

DALAM BAHTSUL MASAIL

(Oleh Moh. Dliya’ul Chaq, M. HI.)

A.     Mukaddimah: Sekilas NU, Pesantren dan Bahtsul Masail

Bahtsul Masail merupakan forum kajian & penetapan hokum Islam ciri khas Nahdlatul Ulama’ dan Pesantren. Secara harfiah, bahtsul masail berarti pembahasan berbagai masalah yang berfungsi sebagai forum resmi untuk membicarakan al-masa’il al-diniyah (masalah-masalah keagamaan) terutama berkaitan dengan al-masa’il al-fiqhiyah (masalah-masalah fiqh.
Untuk melihat latar belakang Bathsul Masa’il perlu di ketahui terlebih dahulu tentang proses sejarah NU berdiri. NU adalah suatu jam’iyyah diniyyah Islamiyyah (organisasi keagamaan Islam) yang didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344 H./31 Januari 1926 M., berakidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah dan menganut salah satu madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.[1]
NU lahir dari wujud kepedulian ulama’ pesantren terhadap masalah keagamaan dan social lainnya di era penjajahan. Gerakan kepedulian ulama’ yang tercatat melatarbelakangi lahirnya NU adalah:
1.    Nahdlatul Wathan yang berarti pergerakan tanah air (1914 dan mendapat pengakuan sebagai badan hukum pada 1916) bergerak di bidang pendiidkan dan sosial kemasyarakatan dengan kegiatan tidak hanya di bidang peningkatan pendiidkan pengajaran di sekolah saja, tetapi juga membangkitkan semangat nasionalisme dan cinta tanah air pada kalangan pemuda melalui kursus-kursus organisasi, kepemudaan, dakwah dan perjuangan.
2.    Tashwirul Afkar yang berarti potret pemikiran atau representasi gagasan-gagasan (1918) bergerak di bidang pengembangan pemikiran dengan kegiatan menyelenggarakan diskusi masalah pengembangan pemikiran (bermadzhab) dan masalah-masalah kemasyarakatan. Nama ini hingga sekarang diabadikan sebagai nama Madrasah dan nama Majalah.
3.    Nahdlatul – Tujjar, yang berarti kebangkitan pergerakan para pedagang (1918) bergerak di bidang usaha perdagangan dalam bentuk kegiatan koperasi atau syirkah dengan istilah syirkah al-inan.[2]
Ketiga gerakan terstruktur tersebut hanyalah sebagian kecil dari beberapa gerakan kepedulian ulama’ pesantren terhadap kondisi masyarakat dan bangsa. Namun ketiga gerakan tersebut menunjukkan bahwa telah banyak kajian-kajian yang ada di masyarakat dengan dipandu oleh para ulama’ pesantren. Hal ini dapat menjadi petunjuk bahwa lembaga Bathsul Masa’il sebenarnya telah berkembang di tengah masyarakat muslim tradisionalis pesantren, jauh sebelum tahun 1926 di waktu NU didirikan. Dengan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi atas persoalan-persoalan yang terjadi, maka secara individual mereka bertindak langsung sebagai penafsir hukum bagi kaum muslimin di sekelilingnya.[3]
NU kemudian melanjutkan tradisi itu dan mengadopsinya sebagai bagian kegiatan keorganisasian. Bahtsul Masail sebagai bagian aktivitas formal organisasi pertama dilakukan tahun 1926, beberapa bulan setelah NU berdiri. Tepatnya pada Kongres I NU atau sejak NU didirikan yakni 13 Rabi’ Al Tsani 1345 H/21 oktober 1926 M. Waktu itu dilakukan bathsul masa’il NU yang pertama kali.[4] Walaupun saat itu Lajnah Bahtsul Masail tersebut belum otonom, dalam arti NU belum membentuknya sebagai suatu badan otonom. Pada tingkat nasional, bahtsul masail diselenggarakan bersamaan momentum Kongres atau Muktamar, Konferensi Besar (Konbes), Rapat Dewan Partai (ketika NU menjadi partai) atau Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama. Mulanya Bahtsul Masail skala nasional diselenggarakan setiap tahun. Hal itu terjadi sejak Muktamar I (1926) sampai Muktamar XV (1940). Namun situasi politik yang kurang stabil akibat meletusnya Perang Dunia II, membuat kegiatan Bahtsul Masail yang menyertai Kongres, setelah periode 1940, menjadi tersendat-sendat.
Namun dalam Muktamar XXVIII di Yogyakarta, tanggal 25-28 Nopember 1989, Komisi I (Bahtsul Masail) merekomendasikan kepada PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyyah sebagai lembaga permanen yang khusus menangani persoalan keagamaan.[5] Akhirnya, berdasarkan rekomendasi itu PBNU dengan surat keputusannya Nomor: 30/A.I.05/5/1990.
Dengan demikian, sejatinya NU lahir dari pesantren sehingga NU identic dengan pesantren. Begitupun pesantren identic dengan NU. Namun saat ini telah banyak yang menjadikan ke-identik-an itu menjadi hilang seiring dengan maraknya pesantren-pesantren baru yang meninggalkan ciri khas atau ruh pesantren, yaitu kitab kuning dan bahtsul masail. Terlebih ketika banyak bermunculan lembaga yang dinamakan pesantren tetapi tidak berafiliasi secara ajaran dengan NU. Namun demikian, bahtsul masail tetap identic dengan pesantren NU. Oleh karenanya, maka segala aturan bahtsul masail yang ada di pesantren selalu menginduk pada aturan main bahtsul masail yang ada di NU.

B.     Sejarah Metode Penetapan Hukum Dalam Bahtsul Masail NU

Istilah istinbat dalam bahtsul masail tidak banyak digunakan karena pengertian istinbat mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan hadis. Akan tetapi, istilah istinbath yang dikenal dalam bahtsul masail NU adalah penggalian hukum dilakukan dengan men-tathbiq-kan secara dinamis nash-nash fuqaha.[6] Hal ini dikarenakan ulama’-ulama’ NU meyakini bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan sebagaimana mujtahid pada masa lalu. Sebuah sikap yang arif dan sangat tawadlu’.
Sejak adanya bahtsul masail sampai NU lahir, belum ada system yang ditetapkan terkait tentang pengambilan keputusan. Yang berlaku adalah penyelesaian masalah melalui pencarian terhadap ibarat kitab / karya ulama’ empat madzhab yang sudah ada, yang terkadang jawabannya langsung ditemukan secara jelas dalam teks kitabnya, dan terkadang tidak ditemukan tetapi dilakukan upaya penyamaan masalah yang ada dengan masalah yang telah diselesaikan / tertulis dalam kitab ulama’ salaf. Walaupun selalu terjadi kesepakatan untuk khilaf. Hal ini dikarenakan, selain bahtsul masail belum menjadi lembaga otonom dalam NU sampai tahun 1990, juga pandangan umum bahwa apa yang sudah diputuskan oleh ulama atau qaul al-faqih dipandang selalu memiliki relevansi dengan konteks kehidupan masa kini dan harus dipakai tanpa resesve atau krikik. Qaul ulama yang dikemukakan dalam kitab-kitab rujukan dianggap sebagai kata final. Boleh jadi pandangan demikian juga berkaitan dengan hakikat ilmu itu sendiri. Pada masa lampau ilmu dirumuskan sebagai sesuatu yang diketahui dan diyakini secara tuntas.
Mengenai sistem pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masa’il di lingkungan Nahdlatul Ulama baru disahkan dalam keputusan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama yang diselenggarakan di Bandar Lampung pada tanggal 16-20 Rajab 1412 H./21-25 Januari 1992 M:
A)     Penjelasan Umum
1.      Yang dimaksud dengan kitab adalah al-Kutubul mu’tabarah (redaksi lain: kutub al-madzahib al-arba'ah), yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah.
2.      Yang dimaksud dengan bermadzhab secara qawli adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkup salah satu al-madzahib al-arba'ah.
3.      Yang dimaksud dengan bermadzhab secara manhaji adalah bermadzhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab empat.
4.      Yang dimaksud dengan istinbath jama'iy adalah mengeluarkan hukum syara' dari dalilnya dengan qawaid ushuliyyah secara kolektif.
5.      Yang dimaksud dengan qawl dalam referensi madzhab Syafi'i adalah pendapat imam Syafi'i.
6.      Yang dimaksud dengan wajah adalah pendapat ulama' madzhab Syafi'i.
7.      Yang diamaksud dengan taqrir jama'iy adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul/wajah dalam madzhab Syafi'i.
8.      Yang dimaksud dengan ilhaq (ilhaqul masail bi nazhairiha) adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (menyamakan suatu kasus dengan pendapat yang sudah jadi).

B)     Sistem Pengambilan Keputusan Hukum
1.      Kerangka Analisa Masalah
Dalam memecahkan dan merespon masalah, maka bahtsul masail hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan masalah, antara lain sebagai berikut :
a.   Analisa Masalah (sebab mengapa terjadi kasus) ditinjau dari berbagai faktor antara : ekonomi, politik, budaya, sosial dan lainnya.
b.   Analisa Dampak (dampak positif dan negativ yang ditimbulkan oleh suatu kasus yang sedang dicari hukumnya) ditinjau dari berbagai aspek, antara lain : sosial ekonomi, sosial budaya, sosial politik dan lainnya.
c.   Analisa Hukum (keputusan bahtsul masail tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya disegala bidang), disamping mempertimbangkan hukum Islam, keputusan ini juga memperhatikan hukum yuridis formal. 
2.      Prosedur Penjawaban
Keputusan bahtsul masail dilingkungan NU dibuat dalam kerangka bermadzhab kepada salah satu madzhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qawli. Oleh karena itu prosedur penjawaban masail disusun dalam urutan sebagai berikut :
a.   Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dari kutubul madzahib al-arba'ah dan disana terdapat hanya satu pendapat, maka dipakailah pendapat tersebut.
b.   Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan disana terdapat lebih dari satu pendapat, maka dilakukan taqrir jama'iy untuk memilih salah satu pendapat. Pemilihan itu dapat dilakukan sebagai berikut :
1)     Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahah dan/atau yang lebih kuat.
2)     Khusus dalam madzhab Syafi'i sesuai dengan keputusan muktamar I tahun 1926, perbedaan pendapat diselesaikan dengan cara memilih :
·      Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani (al-Nawawi dan al-Rafi'i)
·      Pendapat yang dipegangi oleh al-Nawawi.
·      Pendapat yang dipegangi oleh al-Rafi'i.
·      Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama'.
·      Pendapat ulama' yang terpandai.
·      Pendapat ulama' yang paling wara'.
3)     Untuk madzhab selain Syafi'i berlaku ketentuan-ketentuan menurut madzhab yang bersangkutan. 
c.   Dalam kasus tidak ada pendapat yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaqul masail bi nazhairiha secara jama'iy oleh para ahlinya. Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq, mulhaqbih dan wajah ilhaq oleh mulhiq yang ahli.
d.   Dalam kasus tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka dilakukan istinbath jama'iy dengan prosedur bermadzhab secara manhaji oleh para ahlinya, yaitu dengan mempraktekkan qawa'id ushuliyyah oleh ahlinya.

Secara garis besar prosedur atau metode penetapan hokum dalam bahtsul masail NU adalah secara hirarki sebagai berikut:
1.      Jika dinilai mencukupi dengan cara menetapkan hokum dengan satu pendapat yang sama (qaul/wajah) di berbagai kitab empat madzhab, maka pendapat tersebut digunakan sebagai jawaban.
2.      Jika ternyata jawaban masalah sangat beragam dari pendapat ulama’ (qaul/wajah), maka dilakukan taqrir jama’i:
a.      Sesuai dengan keputusan MUNAS 1992 di atas maka dilakukan taqrir jama’i untuk memilih satu pendapat yang dinilai lebih maslahat atau lebih kuat serta dengan pertimbangan klasifikasi ulama’ yang sudah di tetapkan di atas.
b.      Dalam praktiknya, ulama’ sering memutuskan dengan sepakat untuk khilaf. Sepertinya hal ini merupakan interpretasi dari yang lebih maslahat.
3.      Jika tidak ada ibaroh kitab atau pendapat ulama’ yang menjelaskan / menjawab secara tekstual tentang permaslahan yang dibahas, maka dilakukan ilhaq atau ilhaqul masail bi nazhairiha secara jama'iy. Yaitu, menyamakan hukum suatu masalah yang belum dijawab oleh kitab dengan masalah serupa yang ada dalam kitab. Sedangkan prosedur ilhaq adalah dengan memperhatikan unsure (persyaratan berikut), yaitu mulhaq bih (sesuatu yang belum ada ketetapan hukumnya), mulhaq alaih (sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya) dan wajh al-ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dengan mulhaq alaih) oleh para mulhiq (pelaku ilhaq) yaitu ahli.
4.      Jika tidak ada penjelasan tekstual dalam kitab dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka dilakukan istinbat jama’i dengan prosedur bermadzhab secara manhaji. Menurut KH. Aziz Masyhuri, Proses istinbath atau manhaj ini adalah setelah tidak dapat dirujukkan kepada teks suatu kitab mu’tabar, juga tidak dapat diilhaqkan kepada hukum suatu masalah yang mirip dan telah terdapat rujukannya dalam suatu kitab mu’tabar maka digunakanlah metode istinbath atau manhajy dengan mendasarkan jawaban mula-mula pada al-Qur’an, setelah tidak ditemukan lalu pada hadits dan begitu seterusnya yang akhirnya sampailah pada jawaban dari qaidah fiqhiyyah “daf’al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih” (menghindari kerusakan lebih didahulukan dari pada upaya memperoleh kemaslahatan). Hal demikian dimungkinkan karena prosedur istinbath hukum bagi metode manhajy adalah dengan mempraktekkan qawaid ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul al-fiqh) dan qawaid fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).[7]

Dalam keputusan MUNAS tahun 1992 tersebut dinilai warga nahdliyin terdapat progress yang luar biasa terkait metode penetapan hokum Bahtsul Masail, yaitu dengan adanya penegasan teoritis dalam hal metode dan prosedur istinbath hukum,terutama upaya penerapan metode manhajy (bermadzbah secara manhaji) dari empat  mazhab yang pada mulanya dalam tataran praktis dan teoritis ulama’ NU hanya berani bermadzhab secara qouli. Kesepakatan tentang sistem pengambilan keputusan bahtsul masail NU tersebut setelah sebelumnya mengalami diskusi panjang dan tarik ulur yang dilakukan oleh akademisi dan ulama’ NU.
Munculnya istilah bermazhab secara manhajy dan timbulnya gagasan untuk mempopulerkannya dapat ditelusuri sejak tahun 1987 ketika intlektual muda NU mengadakan kajian-kajian kritis terhadap kitab kuning, walaupun akhirnya mendapat tanggapan negatif dan hambatan dari beberapa ulama senior dengan melarang pelaksanaan diskusi di kantor PBNU. Namun demikian para intlektual dan ulama’ muda NU tetap mengadakan diskusi-diskusi kritis di tempat lain, di antaranya yaitu di P3M (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat). Melalui diskusi di P3M inilah hasil-hasil diskusi tersebut dipublikasikan oleh Jurnal Pesantren.[8]
Tahun berikutnya (1988) atas dukungan KH. AM. Sahal Mahfudl (Margoyoso-Kajen-Pati) dan KH. Imron Hamzah (Ngelom-Sepanjang-Sidoarjo), para intlektual muda NU mengadakan mudzakarah (seminar) dengan tema “Telaah Kitab Secara Konseptual” di pondok pesantren Watucongol Muntilan Magelang Pada tanggal 15-17 Desember 1988, yang menghasilkan pokok-pokok pikiran berikut; memahami teks kitab harus di barengi dengan konteks sosial historisnya,mengembangkan pengetahuannya melalui kemampuan observasi dan analisis terhadap teks kitab, memperbanyak muqabalah (komparasi mengenai hal-hal yang berbeda)dengan kitab-kitab lain, mengingatkan intensitas diskusi intlektual antara pakar disiplin ilmu terkait dengan materi yang tercantum dalam kitab klasik, dan menghadapkan kajian teks kitab klasik dengan wacana aktual dan bahasa yang komunikatif.[9]
KH. AM. Sahal Mahfudl sendiri menyatakan bahwa kaidah-kaidah pengambilan hukum yang di rumuskan ulama terdahulu masih tetap relevan hingga kini. Jadi yang perlu di lakukan adalah pengembangan fiqh melalui kaidah-kaidah tadi,menuju fiqh yang kontekstual.[10]
Kemudian pada pertengahan Oktober 1989 (menjelang Muktamar XXVIII) di pondok Pesantren Al-Munawir Krapyak di selenggarakan halaqah (sarasehan) mengenai “Masa Depan NU”yang salah seorang pembicaranya adalah Ahmad Qodri Abdillah Azizy,mengagas perlunya redenifisi bermazhab yang kemudian dicetuskan istilah bermazhab fi al-manhaj (mengikuti metodologi).[11]
Selanjutnya dalam Muktamar XXVIII di Yogyakarta, tanggal 25-28 Nopember 1989, bahtsul masail tetap menjadi topic utama sekalipun pada saat itu belum menjadi lembaga otonom NU. Sehingga Komisi I (Bahtsul Masail) merekomendasikan kepada PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyyah sebagai lembaga permanen yang khusus menangani persoalan keagamaan.[12]
Untuk memperkuat wacana pembentukan lembaga permanen itu, pada Januari 1990, berlangsung halaqah (sarasehan) di Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, yang juga merekomendasikan pembentukan Lajnah Bahtsul Masa`il Diniyah. Harapannya, dapat mengkonsolidasi ulama dan cendekiawan NU untuk melakukan ijtihad jama’i. Akhirnya, empat bulan setelah itu, berdasarkan rekomendasi itu dengan surat keputusannya Nomor: 30/A.I.05/5/1990, PBNU membentuk Lajnah bahtsul Masail Diniyah. Namun demikian istilah Lajnah masih menjadi masalah karena dinilai masih mengandung makna kepanitian ad hoc, bukan organ yang permanen. Karena itulah, setelah Muktamar 2004, status “lajnah” ditingkatkan menjadi “lembaga”, sehingga bernama Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama.
Tema selanjutnya yang menjadi topic adalah bermadzhab secara manhaji yang sejak 1987 telah digulirkan di NU utamanya di LBM NU. Dan akhirnya, disepakatilah dalam Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama yang diselenggarakan di Bandar Lampung pada tanggal 16-20 Rajab 1412 H./21-25 Januari 1992 M tentang prosedur pengambilan keputusan hokum dalam bahtsul masail NU yang didalamnya mencakup prosedur bermadzhab secara manhaji.
Selanjutnya dalam muktamar NU ke-31 di Donohudan Solo Jawa Tengah pada 28 November hingga 2 Desember 2004, bahtsul masail NU melaksanakn tindakan progress dengan menetapkan keputusan hokum sambil menyertakan ayat al-Qur’an dan hadits dalam setiap masalah yang dijawab, di mana hal ini sama sekali tidak pernah ada dalam tradis bahtsul masail sebelumnya.
Tahun 2006 pada saat Munas Alim Ulama di Surabaya, para ulama’ menetapkan kalsifikasi atau pengelompokan secara hirarki tentang kitab-kitab empat madzhab. Artinya, pada saat itu, ulama’ NU dalam bahtsul masail mulai melirik madzhab lain yang sejatinya memang telah disahkan dalam ADART NU. Sekalipun madzhab selain syafiiyah diperbolehkan untuk diikuti di kalangan NU sesuai ADART, namun seringkali dalam Bahtsul Masail tidak disentuh sama sekali. Namun usaha dalam munas di Surabaya ini memang akan mengarahkan bahtsul masail pada muqoronatul madzahib dalam setiap rumusan jawaban bahtsul masail NU yang akan datang.
Perjalanan bahtsul masail NU sejak 1992 sampai dengan 2006 terlihat sangat progress dengan munculnya istilah bermadzhab secara manhaji. Dan sejak saat itu format bermadzhab secara manhaji terus diupayakan dengan cara mencantumkan ayat al-qur’an, hadits serta upaya yang mengarah pada muqoranatul madzahib. Bermadzhab secara manhaji terus menjadi topic utama, bahkan sampai muktamar selanjutnya pada 22-29 Maret 2010 di Asrama Haji Hudiang Makasar. Dan pada akhirnya bahtsul masail muktamar NU ke 32 di Makasar tersebut memutuskan sebagai berikut:
1)      Pertanyaan dalam Bahtsul Masail Muktamar NU ke-32 Makasar
a.   Apakah perlu mencantumkan ayat al-Quran, al-Hadits, dan dalil-dalil syara’ lainnya dalam jawaban bahtsul masail NU
b.   Jika memang diperlukan mencantumkan ayat al-Quran, al-Hadits dan dalil-dalil syara’ lainnya, bagaimana formatnya? Apakah menggunakan urutan sesuai dengan tingkat kekuataannya, yaitu al-Quran, al-Hadits, dan dalil-dalil syara’ lainnya kemudian aqwalul ulama, ataukah aqwalul ulama baru kemudian ayat al-Quran, al-Hadits, dan dalil-dalil syara’ lainnya?
c.   Sejauh mana muqaranatul madzahib diperlukan dalam bahtsul masail NU dengan menggunakan kutub mu’tamadah yang telah dirumuskan dalam Munas Alim Ulama NU di Surabaya?
2)      Jawaban dalam Bahtsul Masail Muktamar NU ke-32 Makasar
a.   Pencantuman ayat al-Quran, al-Hadits, dan dalil-dalil syara’ lainnya diperlukan dalam setiap jawaban, karena pada hakikatnya setiap hukum pasti berdasarkan al-Qur’an, al-Hadits dan dalil-dalil syara’ lainnya, dengan ketentuan bahwa ayat al-Qur’an, al-Hadits dan dalil-dalil syara’ lainnya tersebut merupakan bagian dari pendapat Ulama yang terdapat dalam kutub mu’tamadah. Hal ini karena Ulama NU menyadari, bahwa yang mampu berijtihad langsung dari al-Qur’an, al-Hadits dan dalil-dalil syara’ lainnya adalah para mujtahid, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab, di antaranya Tarsyihul Mustafidin.
b.   Aqwalul ulama didahulukan, baru kemudian dilengkapi dengan ayat al-Qur’an beserta tafsirnya, al-Hadits beserta syarahnya, dan dalil-dalil syara’ lainnya karena al-Qur’an, al-Hadits dan dalil-dalil syara’ lainnya dalam pandangan Ulama NU tidak dijadikan sebagai dalil yang mandiri, tetapi meruppakan bagian dari ijtihad ulama.
c.   Muqaranatul madzahib dalam madzhab empat diperlukan untuk memperoleh pendapat yang ansab (lebih sesuai) dengan tetap berpegang pada prinsip عدم تتبع الرخص (tidak ada maksud mencari kemudahan) sejalan dengan AD NU tentang prinsip bermadzhab.
Demikianlah sejarah metode bahtsul masail NU dari awal hingga sekarang. Terlihat jelas adanya dinamika yang menarik dalam bahtsul masail NU. Upaya untuk memenuhi reseptifitas masalah yang terjadi di masyarakt terus diupayakan dengan memunculkan berbagai metode yang dinamis dan moderat.

C.     Teknik Menjawab Efektif Dalam Bahtsul Masail

1.      Pemahaman Soal Secara Utuh & Konteks Soal
2.      Analisis Masalah
3.      Merumuskan Jawaban Awal (Tesktual atau Ilhaq)
4.      Merumuskan Jawaban ke-1 Dengan Ibarat Kitab
5.      Mengkritisi Jawaban ke-1 Dengan Ibarat Kitab & Kaidah Fiqh/Ushul
6.      Merumuskan Jawaban ke-2 Dengan Ibarat Kitab
7.      Mengkritisi Jawaban ke-2 Dengan Ibarat Kitab & Kaidah Fiqh/Ushul
8.      Merumuskan Jawaban ke-3 Dengan Ibarat Kitab
9.      Mengkritisi Jawaban ke-3 Dengan Ibarat Kitab & Kaidah Fiqh/Ushul
10.   Mencari Stressing Jawaban (satu jawaban, tafshil atau khilaf)
11.   Merumuskan jawaban (Mempertimbagkan Konteks)
12.   Memperkuat dengan Ibarat dari Tafsir / Kitab Syarah Hadits
13.   Memperkuat dengan Redaksi Ayat dan Hadits

Teknik seperti di atas ditujukan sebagai upaya memperkuat jawaban oleh masing-masing peserta/kelompok bukan untuk tujuan debat yang dilarang. Gambarannya, ketika kelompok/peserta menjawab dalam bahtsul masail pada sesi I’tidlodl, kemudian pada sesi I’tirodl peserta tersebut diwajibkan oleh moderator untuk memperjelas/memperkuat jawaban dan diminta untuk menjelaskan ketidaksetujuannya dengan jawaban lainnya yang berbeda dengan menyertakan argumntasi yang dapat melemahkan jawaban yang berbeda dengan dirinya tersebut. Selanjutnya, apa yang dilakukan oleh peserta/kelompok tersebut akan dilakukan juga oleh kelompok yang dikritik tadi. Oleh karena itu, jika tidak memiliki persiapan yang kuat dan banyak maka diskusi akan menjadi debat kusir tanpa ada ibarat / pendapat ulama’ yang menguatkan.
Teknik seperti ini diperlukan ketika bahtsul masail dilakukan santri di tingkat pondok pesantren. Gunanya untuk memperluas kahzanah pengetahuan santri tentang materi yang dibahas. Dengan kata lain, untuk pembelajaran santri agar lebih kritis dalam mengamati masalah dan mendalami kitab kuning, bukan untuk mujadalah dalam arti yang sebenarnya.

D.     Metode Diskusi Bahstul Masail (Sidang Bahtsul Masail)

Model Sistem Bahtsul Masail coraknya beragam. Secara garis besar di kalangan Nahdliyin terdapat tiga macam model Bahtsul Masail:
1.      Bahtsul Masail model pesantren yang lebih menonjolkan semangat I’tiradl, yaitu perdebatan argumentatif dengan berlandaskan al-Kutub al-Mu’tabaroh. Dalam hal ini, peserta bebas berpendapat, menyanggah pendapat peserta lain dan juga diberikan kebebasan mengoreksi rumusan-rumusan yang ditawarkan oleh Tim Perumus.
2.      Bahtsul Masail model NU, dalam hal ini lebih menonjolkan porsi I’tidladl yaitu penampungan aspirasi jawaban sebanyak mungkin. Untuk materi dan redaksi rumusan diserahkan pada Tim Perumus. Peserta hanya diberikan hak menyampaikan masukan-masukan seperlunya.
3.      Bahtsul Masail Kontemporer, yaitu Bahtsul Masail yang dimodifikasi. Dimana sebagian peserta yang dianggap mampu, di minta menuangkan rumusan jawaban berikut sumber pengambilan keputusan dalam bentuk makalah. Bahtsul Masail seperti ini kurang diminati oleh kalangan pesantren, karena kesempatan untuk memberikan tanggapan dan sanggahan lebih mendalam sangat terbatas.
Metode diskusi dalam Bahtsul Masail beragam sesuai dengan model-model bahtsul masail yang ada di atas. Untuk kalangan pesantren biasanya ada beberapa tahapan yang dilakukan dalam bahtsul masail:
1.      Pembukaan & Mukaddimah
2.      Tashowwur Masalah
3.      Penyampaian Jawaban (I’tidlodl)
4.      Kategorisasi Jawaban
5.      Perdebatan Argumentatif (I’tirodl)
6.      Pencerahan Refrensi dan/atau perumusan jawaban
7.      Tabyyun
8.      Perumusan Jawaban
9.      Pengesahan
Sekalipun telah dirumuskan beberapa tahapan bahtsul masail seperti di atas, namun tentunya tahapan-tahapan itu biasanya juga akan sedikit berubah ketika permaslahan yang bahas tergolong sangat mudah atau sangat sulit ditemukan jawabannya. Sebagai upaya standarisasi atau pedoman dasar, tahapan-tahapan di atas dapat dijadikan pegangan dalam pelaksanaan bahtsul masail. Berikut adalah penjelasan masing-masing tahapan tersebut.
1.      Pembukaan & Mukaddimah
Dalam sesi ini, moderator harus pandai-pandai mencuri perhatian musyawirin. Tugas utamanya adalah menggambarkan permaslahan dengan sedikit mendramatisir atau menjelaskan pentingnya permaslahan tersebut di bahas di era sekarang.

2.      Tashowwur Masalah
Sesi ini adalah sesi tentang penjelasan secara detail masalah yang dipertanyakan. Yang bertugas adalah sail (penanya) jika ada. Jika tidak maka menjadi tugas moderator untuk menjelaskan.
Target utama dalam sesi ini mendapatkan pemahaman yang utuh tentang soal sehingga ada kesatuan pemahaman masalah di antara para musyawirin, termasuk antara musyawirin dan sail.
Jika memang sangat diperlukan, dapat didatangkan tim ahli. Semisal masalah yang dibahas adalah masalah operasi cesar. Sangat dianjurkan untuk mendatangkan dokter ahli serta beberapa pelaku cesar yang motivasi pelakunya berbeda-beda.

3.      Penyampaian Jawaban (I’tidlodl)
Sesi ini adalah sesi penampungan jawaban dan ibaroh. Jika kelompok peserta terlalu banyak, mungkin tidak semua peserta diberi kesempatan untuk menjawab. Hanya saja ditentukan kesamaan jawaban di antara para musyawirin sehingga moderator bias mengelompokkan jawaban.
Selain ibaroh harus disetorkan pada tim perumus (muharrir), moderator setidaknya mencatat poin-poin penting yang terdapat dalam jawaban dan ibaroh tersampaikan. Oleh sebab itu, moderator haruslah orang yang faham tentang masalah (fiqh) yang dibahas.
Pada sesi ini, peserta hanya diberi hak untuk menjawab dan membacakan ibaroh tanpa harus memberikan tanggapan atau sanggahan.

4.      Kategorisasi Jawaban
Setelah ibaroh dan jawaban terkumpul, maka moderator harus mengkelompokkan jawaban-jawaban yang ada. Lalu menyampaikan kategorisasi / pengelompokan jawaban yang ada dan disampaikan pada seluruh musyawirin agar musyawirin tahu tentang perkembangan jawaban-jawaban yang ada.
Diupayakan, jawaban-jawaban yang ada dikesankan bertentangan antar dua kelompok atau lebih agar pada sesi selanjutnya tercipta diskusi / debat argumentative.

5.      Perdebatan Argumentatif (I’tirodl)
Sesi ini adalah sesi musyawirin saling menguatkan pendapatnya masing-masing, dan saling melemahkan pendapat yang berbeda/bertentangan. Selain itu, moderator harus berupaya “mengadu” musyawirin yang ada.
Selanjutnya musywarin diajak untuk saling melemahkan pendapat kelopmpok lain yang bertentangan. Dalam sesi ini, musywairin ketika melemahkan pendapat kelompok lain harus disertai dengan ibaroh yang melemahkan kelompok lain. Sedangkan kelompok yang dilemahkan diberi waktu untuk menguatkan pendapatnya disertai dengan penjelasan dan ibaroh lain yang menguatkan, bahkan kelompok ini dapat langsung melemahkan balik jawban/ibaroh musyawirin yang melemahkannya. Begitu seterusnya sampai ada yang terlihat dominan.
Dalam sesi ini, moderator harus benar-benar faham materi, bahkan kemungkinan-kemungkinan jawaban pada sesi ini sudah diprediksi oleh moderator sehingga kemungkinan kecil akan mengarah pada jawaban yang salah. Yang boleh terjadi adalah mengarah pada jawaban yang lemah atau yang kuat dan tentunya yang benar menurut fiqh.
Pada sesi ini musyawirin harus mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk memperkuat jawaban dan ibarohnya serta melemahkan jawaban / ibaroh yang bertentangan dengannya.
Sebelum sesi ini dianggap jenuh atau berakhir, moderator harus merumuskan jawaban sementara baik berstruktur jawaban bertentangan, jawaban tafshil atat jawaban khilaf. Lalu disampaikan pada musyawirin apakah musywairin setuju dengan kesimpulan moderator dan apakah musywarin setuju jika perlu pencerahan tim perumus. Semua keputusan harus berdasarkan musyawarah.

6.      Pencerahan Refrensi dan/atau perumusan jawaban
Pada sesi ini, setelah sebelumnya moderator sepakat dengan musyawirin untuk merumuskan/menyimpulkan jawaban sementara dan sepakat untuk menyerahkan masalah pada tim perumus, maka moderator lalu menyerahkan permasalahan pada perumus untuk dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, tim perumus memberikan penjelasan tentang permaslahan yang sedang sulit untuk diselesaikan. Kemungkinan kedua, perumus menyetujui rumusan / menyarankan untuk merubah rumusan jawaban.
Pada sesi ini perumus memberikan kritik terhadap ibarot-ibarot dan jawaban serta poin-poin yang telah di bahas & memberikan masukan-masukan tentang masalah yang dibahas. Selanjutnya perumus memberikan jalan tengah jika terjadi perselisihan pendapat. Atau perumus memberikan usulan rumusan baru yang didasarkan pada ibarot-ibarot dan pendapat musyawirin. Untuk selanjutnya diserahkan pada moderator agar disetujui atau dilakukan pembahasan lanjutan.

7.      Tabyyun
Pada sesi ini, moderator menerima hasil tim perumus dan sampaikan pada musyawirin untuk ditindaklanjuti dalam bentuk persetujuan terhadap rumusan jawaban yang diusulkan perumus, atau menyanggah dengan santun rumusan tim perumus sehingga melanjutkan diskusi dengan musyawirin / tim perumus.
Sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat antara musyawirin dengan tim perumus. Maka perlu ditindaklanjuti oleh tim perumus untuk meluruskan jawaban. Bahkan moderator juga harus pandai mengambil keputusan jalan tengah jika terjadi perbedaan pendapat antara musyawirin dengan tim perumus. Pada praktik umumnya, tim perumus lebih dimenangkan daripada musyawirin, tentunya dengan melihat dan mendengar hasil diskusi antara musyawirin dengan tim perumus.
Jika memang benar-benar terjadi perbedaan pendapat antara tim perumus dengan musyawirin, maka moderator harus segera memutuskan dengan memberikan jalan tengah atau usulan. Bahkan usulan yang terburuk adalah mauquf. Jika sudah diusulkan dan kedua belah pihak telah sepakat, maka dirumuskan redaksi jawaban sekalipun mauquf.

8.      Perumusan Jawaban dan Mauquf
Jika sudah terjadi kesepakatan musyawirin atas masukan tim perumus. Maka moderator mempertegas rumusan agar disetujui oleh tim perumus. Artinya, rumusan jawaban dan keputusan apapun harus didasarkan atas musyawarah mufakat seluruh yang hadir.
Masalah dianggap mauquf apabila dalam waktu satu jam tidak bisa diselesaikan dan semua Musyawirin, Perumus, serta Mushohih tidak berkenan melanjutkan.

9.      Pengesahan
Jawaban masalah di anggap putus dan sah apabila mendapatkan persetujuan Musyawirin, Perumus dan Mushohih dengan cara mufakat. Artinya setelah melalui proses diskusi panjang, termasuk masalah sudah dirumuskan jawabannya oleh tim perumus atau dinyatakan mauquf, maka moderator meminta kepada mushoheh untuk mengesahkan rumusan jawaban. Biasanya, mushohheh mengajak peserta bahtsul masail untuk membaca surat al-fatihah sebagai tanda pengesahan jawaban.

E.     Komponen dan Tugas Komponen Dalam Sidang Bahtsul Masail

Dalam sidang bahtsul masail, biasanya terdapat komponen-komponen yang harus ada, yaitu Moderator, Tim Perumus (Muharrir), Tim Mushohheh, Peserta (musyawirin). Berikut beberapa gambaran tugas masing-masing komponen:
1.      Moderator
a.      Memimpin, menjaga ketertiban, mengatur dan membagi waktu
b.      Member izin, menerima usul dan pendapat Musyawirin
c.      Meminta narasumber / penanya untuk menjelaskan dan menggambarkan masalah sesuai permintaan peserta
d.      Menunjuk peserta untuk menjawab masalah
e.      Meminta kepada penjawab untuk membacakan ta’bir dan dan menerangkan kesimpulannya
f.       Meminta peserta yang pendapatnya tidak sama untuk menanggapi pendapat lain dengan mencari kelemahan jawaban dan kelemahan ta’birnya
g.      Meluruskan pembicaraan yang menyimpang dari pembicaraan
h.      Membacakan kesimpulan jawaban yang telah disepakati oleh Tim Perumus, untuk kemudian ditawarkan lagi kepada peserta
i.       Mengetuk tiga kali bila masalah di anggap selesai dan memohon kepada Mushohih untuk memimpin pembacaan al-Fatihah bersama, sebagai simbol pengesahan
j.       Dalam keadaan dlorurot Moderator dapat menunjuk salah satu peserta untuk menggantikannya
k.      Dilarang:
1)     Ikut berpendapat
2)     Memihak atau tidak obyektif
3)     Mengintimidasi peserta
2.      Tim Perumus
a.     Mengikuti jalannya Bahtsul Masail
b.     Meneliti jawaban-jawaban dan ta’bir yang masuk
c.     Memilih ta’bir yang masuk sesuai permasalahan  yang di bahas
d.     Meluruskan jawaban yang dianggap menyimpang
e.     Memberikan rumusan jawaban dan ta’bir-ta’bir pendukung
f.      Dilarang:
1)     Memaksakan jawaban tanpa ada ta’bir dari peserta
2)     Berbicara sebelum ditunjuk Moderator
3)     Berbicara diluar materi pembahasan
4)     Mengganggu konsentrasi peserta
3.      Tim Mushohih
a.     Mengikuti jalannya Bahtsul Masail
b.     Memberikan pengarahan dan nasehat kepada peserta dan Tim Perumus
c.     Mempertimbangkan dan mentasheh keputusan Bahtsul Masail dengan bacaan al-Fatihah
d.    Dilarang membaca al-Fatihah sebelum ada kesepakatan
4.      Peserta
a.     Menempati arena yang tersedia sebelum acara dimulai
b.     Menjawab masalah dan menyampaikan ta’birnya setelah diberi waktu oleh Moderator
c.     Berbicara setelah diberi waktu oleh Moderator
d.     Menyampaikan ta’bir kepada Tim Perumus
e.     Menghormati dan menghargai peserta lain
f.      Menolak pendapat atau jawaban peserta lain dengan melalui Moderator
g.     Mengajukan usulan, tanggapan dan sangkalan melalui Moderator
h.     Memberikan koreksi terhadap rumusan Perumus
i.       Dilarang:
a)     Keluar dari forum Bahtsul Masail tanpa izin Moderator
b)     Membuat gaduh dalam forum Bahtsul Masail
c)     Berselisih pendapat dengan teman sedelegasi
d)     Berbicara tanpa melalui Moderator atau debat kusir





[1] Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU (Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2004), 15.
[2] M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), 41-45. Lihat juga Martin Van Bruinessen, NU Tradisi; Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKIS, 1994), 34-37.
[3] Imam Yahya’Akar Sejarah Bathsul Masa’il’: Penjelajahan Singkat, dalam Imdadun Rahmat (eds.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bathsul Masa’il, Jakarta:Lakpesdam, 2002, 7-8
[4]Imam Yahya’Akar Sejarah Bathsul Masa’il’: Penjelajahan Singkat, dalam Imdadun Rahmat (eds.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bathsul Masa’il, Jakarta:Lakpesdam, 2002, 3-4.
[5] Ahmad Zahro, Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999, Tradisi Intelektual NU,(Yogyakarta: LkiS, 2004), 3.
[6] KH. AM. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, ( Yogyakarta: LKIS, 2003), 24.
[7] KH. A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Nahdlatul Ulama,(Surabaya: PP. RMI dan Dinamika Press 1997),367
[8] Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-Relasi kuasa. Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS,1994), 222.
[9] Ahmad Zahro, Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999, Tradisi intlektual NU (Yogyakarta: LKiS,2004), 128-129.
[10] KH. AM. Shahal Mahfudl, Nuansa Fiqh Sosial,(Yogyakarta : LKiS,1994), 49.
[11]  Ahmad Qodri A. Azizy, Islam Dan Permasalahan Sosial,(Yogyakarta: LKiS, 2000),10-12 dan 50-54.
[12] Ahmad Zahro, Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999, Tradisi Intelektual NU,(Yogyakarta: LkiS, 2004), 3.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. EKSPLORIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger