Jangan di Klik

Featured Post Today
print this page
Latest Post

Khutbah Peran Orang Tua Dalam Pendidikan


Khutbah
Peran Orang Tua Dalam Pendidikan
Oleh Moh. Dliya’ul Chaq, M. HI.
Di Masjid Babat Jerawat Benowo 23 Maret 2018

إنَّ اْلحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ اَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِناَ مَنْ يَهْدِاللهَ فَهُوَ اْلمُهْتَدُ وَمَنْ يُظْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِياًّ مُرْشِدًا أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ . أللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِ نَا  مُحَمَّدٍ وَعَلى أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ تَسْلِيْماً كَثِيْراً. أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا اْلمُؤْمِنُوْنَ. (إِتَّقُوْا اللهَ)2 حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
اعوذ بالله من الشيطان الرجيم. بسم الله الرحمن الرحيم ﴿ لَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ ﴾

Ma’asyirol Muslimin Rahmakumulloh…
Dalam kesempatan yang berharga ini, marilah kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mengingat Allah, untuk beribadah kepada Allah, untuk intropeksi diri agar ketaqwaan dalam diri kita dapat lebih berkualitas, karena mulia tidaknya kita dihadapan Allah tidak ditentukan dengan seberapa banyak harta kita, seberapa tinggi jabatan kita, seberapa banyak orang yang menghormati kita, seberapa banyak murid kita. Tetapi mulia tidaknya kita dihadapan Allah hanya ditentukan dengan kadar ketaqwaan kita kepada Allah SWT. (Inna Akromakum Indallohi Atqokum). Dan tentunya, bukan hanya saat ibadah sholat jumat saja kita bertaqwa, tetapi di luar shalat jumat pun marilah kita semua termasuk pribadi kami untuk menjaga aktifitas kita agar jauh dari larangan Allah dan selalu berada pada garis perintahNya sehingga setiap aktifitas kita, setiap langkah kita dapat bernilai ibadah. Karena kita dihadirkan ke dunia ini semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah. (Wa Ma Kholaqtul Jinna wal Insa Illa Liya’budun).
Ma’asyirol Muslimin Rohimakumulloh…
Terdapt satu kisah menarik yang diabadikan didalam al-Qur’an, yaitu kisah Nabiyulloh Musa AS bersama dengan Nabiyulloh Khidlir AS. Kisah yang diabadikan dalam surat al-Kahfi ayat 60-82. Dalam masa perjalanan bersama Nabi Khidlir, Nabi Musa dihadapkan pada kejadian-kejadian di luar nalarnya yang membuat Nabi Musa mempertanyakan hal itu. Pertama, Nabi khidlir melubangi perahu bagus yang baru saja ditumpanginya. Kedua, Nabi Khidlir membunuh anak kecil yang sedang bermain. Dan kejadian yang ketiga, saat itu Nabi Khidlir dan Nabi Musa telah berjalan yang sangat jauh, rasa haus dan lapar sudah hampir tidak bisa ditahan. Tiba-tiba beliau berdua dipertemukan oleh Allah dengan sebuah desa kecil. Akhirnya beliau berdua memasuki desa itu mengetuk tiap pintu rumah untuk meminta segelas air dan sesuap makanan. Tetapi tidak satupun penduduk yang memberinya. Namun saat beliau berdua sampai di sebuah rumah yang dindingnya hamper roboh, nabi Khidlir malah mengajak Nabi Musa untuk membenahi dinding itu. Setelah dinding sudah diperbaiki, Nabi Khidlir tidak meminta uph kepada pemilik rumah dan malah mengajak Nabi Musa meneruskan perjalanan, padahal keduanya dalam kondisi membutuhkan makan dan minum. Nabi Musa pun protes meminta Nabi Khidlir untuk meminta upah, tetapi ditolak oleh Nabi Khidlir. Dan inilah akhir kebersamaan beliau berdua. Sebelum berpisah, Nabi Khidlir menjelaskan kejadian-kejadian itu. Dilubanginya perahu itu karena akan dirampas oleh raja yang dlolim jika perahu itu kelihatan bagus sebagamana dalam ayat:
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
Sedangkan dibunuhnya anak kecil itu atas perintah Allah karena anak itu jika hidup sampai dewasa maka akan menjadi mengajak orangtuanya kepada kesesatan. sebagamana dalam ayat:
وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا
Dan yang ketiga sebagaimana dalam ayat:
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
Adapun dinding yang akan roboh itu milik dua anak yatim yang masih kecil. Yang mana di bawah dinding itu terdapat harta simpanan orang tuanya di mana orang tuanya adalah orang yang Sholih. Dan Allah ingin memberikan harta itu pada kedua anak yatim itu kelak ketika keduanya dewasa.
Ma’asyirol Muslimin Rohimakumulloh…
Kisah ini memberikan pelajaran berharga kepada kita semua untuk menapaki kehidupan saat ini.
1.    Sepandai apapun kita, sehebat apapun kita, tidak boleh kita meninggalkan belajar. Sebagaimana hebatnya nabi Musa yang tergolong Rasul Ulul Azmi tetapi tetap belajar kepada Nabi Khidlir.
2.    Belajar tidak hanya mencari pengetahuan, tetapi belajar juga menjadi media untuk melatih kepribadian, melatih hati agar tidak mudah sombong, tidak mudah memposisikan diri lebih pandai dari orang lain, dan melatih agar mudah menerima pendapat atau pengetahuan orang lain. Sebagaimna Nabi Musa menerim penjelasan dari Nabi Khidlir.
3.    Sebagai seorang guru, sebagai orang tua, kita harus mengajak pada kebaikan tanpa pamrih, bahkan memberi contoh adalah cara yang tepat untuk mengajak pada kebaikan. Sebagaimana Nabi Khidlir mengajak dan memberikan contoh membenahi dinding yang akan roboh kepada muridnya, Nabi Musa AS.
4.    Kesholehan dan ketaqwaan orang tua, menjadi jalan rahmat dan rizqi dari Allah bagi anak dan keturunannya.
5.    Kesholehan dan ketaqwaan orang memiliki pengaruh luar biasa terhadap dirinya sendiri, bahkan terhadap anak dan keturunannya. Taqwa ibarat pohon yang ditanam oleh seseorang. Pohon itu, tidak hanya bermanfaat bagi pribadi orang itu, tetapi pohon itu juga bermanfaat bagi anak dan keturunannya, bahkan bermanfaat bagi orang lain dan alam sekitarnya. Pohon durian dan mangga misalnya, yang menanam orang tua, yang menikmati ya orang yang menanam itu dan anak turunnya bahkan para tetangga pun ikut menikmatinya. Bukan hanya untuk dimakan saja manfaat yang diambil dari pohon itu, tetapi untuk berteduh pun bisa, untuk dijual buahnya pun bisa bahkan untuk menjaga ekosistim dan alam yang ada.
Begitulah orang yang bertaqwa. Janji-janji Allah tentang pahala orang yang bertaqwa luar biasa dahsyartnya. Diantaranya:
لَٰكِنِ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا نُزُلًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ۗ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ لِلْأَبْرَارِ
Tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya, mereka akan mendapat surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya sebagai karunia dari Allah. Dan apa yang di sisi Allah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti. (QS. Aali ‘Imran (Ali ‘Imran) [3] : ayat 198)
لَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A’raaf (Al-A’raf) [7] : ayat 96)
Dan banyak lagi janji-janji Allah selain ayat-ayat di atas tentang pahala bagi orang yang bertaqwa. Selain kebaikannya kembali kepada pribadinya, ketaqwaan atau kesholehan seseorang bisa berpengaruh terhadap kehidupan anak dan keturunannya. Sebenarnya tidak perlu dalil al-Qur’an dan hadits yang muluk-muluk untuk membuktikan bahwa kesholehan/ketaqwaan orang tua dapat berpengaruh terhadap kehidupan sang anak. Cukup sebenarnya dengan logika-logika serta pembuktian-pembuktian empiris (pembuktian dalam kenyataan yang telah terjadi):
1.    Orang yang sholeh / orang yang bertaqwa pasti memiliki akhlaq yang bagus sehingga hubungan sosialnya sangat bagus. Maka, orang lain akan memulikan dan menghormati dirinya bahkan anak dan keturunannya. Lihatlah anak kyai, walaupun orang tuanya sudah meninggal, sang anak tetap dihormati. Berbeda dengan orang yang suka menyakiti orang lain yang pastinya tidak bisa digolongkan sholeh atau taqwa. Perilakunya membahayakan dirinya, bahkan orang lain bisa saja melampiaskan ketidaksukaannya bukan hanya pada diri orang itu, tetapi anak dan keluarganya pun ikut menanggung akibatnya.
2.    Orang tua yang sholeh/orang tua yang bertaqwa dalam mendidik anaknya pun dipenuhi dengan nilai-nilai kesalehan dan ketaqwaan. Orang tua yang sholeh mudah membentuk anaknya yang sholeh karena pengalaman keshalehannya. Dan sang anak pun sering merekam aktifitas sholeh sang orang tua sehingga mudah untuk menirukan. Berbeda dengan orang tua yang tidak sholeh maka sang orang tua tidak memiliki pengalaman kesholehan dan sang anak pun lebih sering disuguhi perilaku yang tidak sholeh sehingga rekaman otaknya penuh dengan ketidaksholehan dan akhirnya perilakunya tidak sholeh. Dan orang tualah memang yang menjadi lingkungan terdekat sang anak yang dapat membentuk kepribadian sang anak. Sebagaimana hadits (al-waladu yuladu ‘alalfithroh. fa inna abawahu yuhawwidanihi aw yunashshironihi aw yumajjisanihi).
3.    Orang tua yang sholeh / taqwa intensitas doanya melebihi orang yang tidak sholeh sebab intensitas ibadahnya lebih banyak orang sholeh. Dan seringnya orang berdoa setelah beribadah. Sehingga orang yang sholeh lebih sering berdoa daripada orang yang tidak sholeh. Termasuk mendoakn anaknya, maka lebih banyak doanya orang tua yang sholeh. Dan doa adalah bagian dari cara orang muslim untuk menyelesaikan segala masalah karena orang muslim selalu meyakini bahwa Allah selalu turut serat dalam penyelesaian masalah. Di samping itu, doa orang tua bagi sang anak sangat mustajabah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ
“Ada tiga macam doa yang tidak diragukan bahwa doa itu mustajabah (akan terkabulkan): doa orang yang dizalimi, doa orang safar, dan doa orang tua atas anaknya.” (Shohih HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Maka sejatinya kunci kehidupan dan kemakmuran dunia adalah para orang tua. Sistem pendidikan bagaimanapun tidak akan berhsil membentuk pribadi yang mulia jika tidak disertai dukungan orang tua. Percuma pendidikan mahal, tetapi orang tua tidak memberi contoh kebaikan, orang tua malah sering memaki, mengolok atau ngerasani guru dihadapan anaknya. Maka sang anak akan merasa mendapat dukungan untuk tidak menuruti guru melihat omongan dan sikap orang tuanya terhadap guru. Percuma pendidikan mahal jika orangtuanya tidak mendoakan anaknya. Maka jika ingin merubah dunia menjadi lebih baik, mulailah dari para orang tua yang harus berubah menjadi pribadi yang sholeh, pribadi yang bertaqwa kepada Allah SWT. Dan wahai orang tua, jika ingin mengetahui bagaimana anakmu kelak, bagaimana nasib keturunanmu kelak, maka lihatlah dirimu, lihatlah keshalehan dan ketaqwaan dirimu. Dan ingatlah, siapa yang menanam dilah yang akan memetiknya. (فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ).

إِنَّ أَحْسَنَ الْكَلاَمِ وَأَبْيَنَ النِّظَامِ، كَلاَمُ اللهِ اْلمَلِكِ الْعَلاَّمِ، وَاللهُ يَقُوْلُ، وَبِقَوْلِهِ يَهْتَدِ الْمُهْتَدُوْنَ، مَنْ عَمِلَ صَالحِاً فَلِنَفْسِهِ، وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا، وَمَا رَبُّكَ بِظَلاَّمٍ لِلْعَبِيْدِ. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِىْ الْقُرْأَنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأَيَاتِ وَالذِّكْرِ اْلحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنىِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ تَعَالَى هُوَ جَوَّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرَّاءٌ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
الخطبة الثانية
اَلْحَمْدُ ِللهِ شكرا علي ما أنعم أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ كَمَا أَمَرَ وَألزم، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ شهادة من أمن به وأسلم وحاد من كفر وأرغم ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ: فَيَاأَيُّهَا اْلمُؤْمِنُوْنَ، اتَّقُوْا اللهَ إن الله أمركم بأمر بدأ فيه بنفسه ، وثنى بملائكته وأيه بالمؤمنين من عباده. وقال عز من قائل: إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيْ. يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّواْ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى مَلاَئِكَتِكَ الْمُقَرَّبِيْنَ وَأَنْبِيَائِكَ اْلمُرْسَلِيْنَ وَأَهْلِ طَاعَتِكَ أَجْمَعِيْنَ وَاجْعَلْنَا مِنْهُمْ وارحمنا بِرَحْمَتِكَ يَأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، أَللَّهُمَّ اغْفِرْلَنَا مَا قَدَّمْنَاهُ، وَمَا أَخَّرْنَاهُ، وَمَا أَسْرَرْناَهُ، وَمَا أَعْلَناَّهُ، وَأَحْصَيْتَهُ وَنَسِيْناَهُ، وَعَلِمْتَهُ وَجَهِلْناَهُ، وَلاَتَدَعْ لَنَا أَمَلاً إِلاَّ بَلَّغْتَنَاهُ، وَلاَسُؤْلاً إِلاَّ سَوَّغْتَناَهُ، وَلاَخَيْرًا إِلاَّ أَعْطَيْتَنَاهُ، وَلاَ شَرًّا إِلاَّ كَفَّيْتَنَاهُ.رَبَّناَ اغْفِرْلَناَ وَلِإِخْوَانِناَ الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَ بِاْلإِيمْاَنِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِناَ غِلاًّ لِلَّذِيْنَ أَمَنُوْا رَبَّناَ إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ، رَبَّناَ أَتِناَ فِيْ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِيْ الأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِناَ عَذَابَ النَّارِ.عِبَادَ اللهِ. إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِىْ القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَخْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، فَاذْكُرُواْ اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ، وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.

0 comments

Kuliah Sejarah Peradilan Islam (bag. 2)

Oleh Moh. Dliya'ul Chaq

Mungkin, pertanyaan yang muncul dalam sejarah peradilan Islam adalah "Benarkah bahwa Islam (ajaran dari Allah) menganjurkan keadilan? Lalu apa tujuannya (maqashid syariahnya)?"

Al-Qur'an telah menjustifikasi bahwa Islam menganjurkan keadilan. Dalam banyak ayat telah disebutkan. Di antaranya adalah surat al-hadid ayat 25:
لقد أرسلنا رسلنا بالبينات وأنزلنا معهم الكتاب والميزان ليقوم الناس بالقسط
Inti dari ayat ini adalah bahwa Allah mengutus para Rasul selalu disertai dengan kitab (wahyu) sebagai pedoman, untuk menciptakan keadilan bagi manusia secara umum.

Ayat ini bukanlah justifikasi tanpa bukti. Sejarah mencatat bahwa setiap Nabi yang diturunkan memiliki catatan wahyu dari Allah baik dalam bentuk kitab atau sukhuf. Catatan wahyu itu berfungsi sebagai pedoman atau standard kebaikan secara tertulis. Catatan wahyu itulah yang kemudian menjadi sarana transformasi wahyu sampai kepada umat para nabi. Dengan adanya para rasul serta wahyu yang didapatinya, maka keadilan akan muncul bersanding dengan manusia.

Namun, tabiat manusia menurut Khatib al-Syarbini cenderung pada keburukan atau kedzaliman merupakan alasan logis pentingnya peradilan. Dalam bahasa lain, sebagai makhluk sosial,  manusia cenderung menemui gesekan-gesekan sosial yang berpotensi memunculkan kedzaliman bagi yang lemah. Oleh karenanya, peradilan menjadi keharusan ketika ada manusia. Tentunya tujuan utamanya (maqashid syariah) adalah mendirikan keadilan (menempatkan sesuatu pada tempat dan porsinya masing-masing). Tidak ada yang lain. Jika seandainya saat ini ditemukan kedzaliman pada proses peradilan, maka sejatinya itu adalah kesalahan oknum semata.

Jika seandainya penetapan keadilan dilakukan oleh badan yudikatif, maka itu adalah inovasi yang luar biasa (bid'ah hasanah). Jika saat ini hakim adalah orang2 yang secara khusus diangkat untuk menghakimi, maka itulah inovasi yang sesuai dengan kondisi kemampuan umat. Jika saat ini peradilan dilaksanakan di dalam gedung pengadilan dengan berbagai aturan teknisnya (hukum materiil), maka itulah inovasi luar biasa yang berkesesuaian dengan zaman. Jika semua inovasi dinyatakan bid'ah maka peradilan tidak akan tercapai.

Memang dalam sejarah peradilan islam, lembaga peradilan tidak pernah ada di zaman hidupnya Rasulullah saw, hakim pada saat itu adalah Rasulullah saw yang saat itu juga dapat dinilai sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, proses peradilan pada saat itu samgat sederhana, namun semua itu bukan menunjukkan bentuk peradilan versi Islam. Semangat dan dasar peradilan itulah yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Sedangkan teknisnya diserahkan sepenuhnya kepada umat. Maka kelak, ketika mempelajari sejarah peradilan Islam pasti akan ditemukan inovasi-inovasi (bid'ah-bid'ah) keren di masanya. Namun semua itu hanyalah usaha untuk mempermudah menggapai subtansi maqashidul qadla' berupa mendirikan keadilan.

"Kutiplah artikel ini dengan jujur, dengan menyertakan penulis aslinya. Insya Allah Ilmu anda Barokah"

0 comments

Kuliah Sejarah Peradilan Islam (bag. 1)

Oleh Moh. Dliya'ul Chaq

Ketika mempelajari sejarah peradilan Islam atau Peradilan Islam, di antara pertanyaan yang muncul di masa-masa awal adalah "Kenapa terminologi peradilan Islam menggunakan al-Qadla',  bukan tahkim?".

Kata al-Qadla' digunakan sebagai istilah peradilan dalam Islam karena:
1. Qadla' memiliki konotasi makna "adanya kepastian". Sebagaiamana istilah qadla' dalam ranah ilmu aqidah,  yaitu qadla' dan qadar. Artinya bahwa hukum yg dikeluarkan dari proses peradilan itu memiliki kepastian.
2. Qadla' memiliki konotasi makna "ketetapan dari yang lebih tinggi".  Sebagaimana qadla' Allah terhadap hambanya yang lemah. Artinya bahwa hukum dikeluarkan oleh lembaga yang lebih tinggi. Tingginya lembaga peradilan bahkan kemudian memunculkan kaidah "khukmul hakim yarfa'ul khilaf" (ketetapan hukum dari hakim menghilangkan / menyelesaikan perbedaan hukum).
3. Qadla' memiliki konotasi makna mengikat. Sebagaimana istilah qadla'uddayn (membayar hutang) di mana hutang mengikat orang yang dihutangi untuk membayar. Artinya bahwa hukum yg dikeluarkan dari proses peradilan itu mengikat pihak2 yang berperkara.
4. Qadla' memiliki makna selesai (inha') sebagaimana penggunaan dalam al-Qur'an fa idza qudliyatishsholatu fanyasyiru fil ardli. Artinya bahwa jika hukum sudah dikeluarkan dari proses peradilan itu maka sengketa dinyatakan selesai.

Sementara tahkim memiliki makna arbitrase atau perdamaian atas inisiatif pihak yang bertikai tanpa melibatkan lembaga yang status/posisinya lebih tinggi. Proses tahkim ini cenderung dilanggar oleh pihak yang licik sebab tidak ada pihak ketiga yang mengawal hasil tahkim sebagaimana pemgawalan hasil qadla'. Dan ketika masih muncul perselisihan pasca tahkim maka proses peradilan masih diperlukan. Artinya, proses tahkim bukan proses penyelesaian akhir dari pertikaian.

Ketika makna peradilan Islam dalam berbagai redaksi ulama adalah memutus pertikaian antara dua pihak atau lebih dengan hukum Allah (فصل الحصومة بين الخصمين فأكثر بحكم الله ),  maka al-Qadla' sangat tepat digunakan sebagai terminologi peradilan dalam Islam.

"Kutiplah artikel ini dengan jujur, dengan menyertakan penulis aslinya. Insya Allah Ilmu anda Barokah"

0 comments
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. EKSPLORIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger